''Bintang selalu ada saat aku memutuskan untuk keluar dari rumah, saat berpikir dunia ini sangat sepi, saat aku ragu dengan tali atau pil, saat kau memarahiku di bulan pertama, lalu saat ibuku menikah lagi. Bahkan saat kau memberikan hari libur kepadaku, padahal tidak ada warna merah di kalender. Menurutku, bintang itu ... teman. Bukankah kita bebas menunjukkan sisi terburuk kita kepada teman?'' dia membagi ceritanya untuk pertama kalinya sejak setahunan ini mengenalnya. Ah, kau ingat, dulu kau jarang mengobrol dengannya.
''Teman?'' Kau diam sejenak. ''Teman, ya?'' Kau hening kembali, lalu berkata, ''bukankah orang-orang biasanya menunjukkan sisi terburuknya kepada hujan?" Kau mengingat senyum memilukan seseorang sebelum melayangkan pertanyaan.
''Dulu. Ya, dulu aku pernah menyukainya cukup lama. Tapi, dia mengkhianatiku.''
Hening. Dadamu bergemuruh lagi kali ini. Perempuan di sebelahmu mungkin tidak menyadarinya, tapi kau semakin ingin mengobrol lebih lama dengannya.
Dia menoleh, lalu sedetik kemudian tersenyum. ''Kau ... bosan? Kembalilah ke kamarmu jika bosan.''
Kau ingin membalas senyum itu, tapi rasanya aneh. Tiba-tiba kau iri pada bintang yang tampak seperti ketombe yang berjatuhan di atas kemeja hitam salah satu pegawaimu.
''Aku suka malam. Jadi, tidak masalah jika sedikit dingin.'' Akhirnya kau membagi ceritamu.
''Malam, ya? Aku tidak suka.'' Dia mengatakannya dengan tegas kemudian kembali menatap langit, atau mungkin bintang, entahlah, kau tidak akan pernah bisa menebak isi pikiran dan hatinya.
''Kenapa? Bukankah kau menyukai bintang?"
Dia menutup mata dan menarik napas dalam. Sejenak, dia menahannya. ''Apakah aku tidak boleh menyukai satu hal saja?'' pertanyaanmu dijawab dengan sebuah pertanyaan.
''Kupikir kau juga akan menyukai malam karena bintang.''