; hassanah
''Kenapa kau suka keluar di jam segini?'' Kau duduk di sebelah perempuan berjaket dengan rambut tergerai, di atas amben tua. Matamu menatapnya dari samping, lalu mengikuti arah pandangannya.
''Untuk melihat bintang.''
''Bintang?''
''Ya, bintang.''
''Kenapa?''
''Karena aku menyukainya.''
Hening. Dia menoleh dan mendapatimu tengah menatapnya. Alismu sedikit naik sehingga ada gelombang samar di keningmu.
''Tapi wajahmu tidak menunjukkan itu,'' kau berujar secara spontanitas.
Dia menekuk kaki, lalu memeluknya. Bibirnya mengatup, manyun, kemudian dehaman meluncur begitu saja. Bulatan cokelat terang pada biji matanya menyorot sudut kanan atas, lalu sudut kiri bawah, lalu dia berkedip. Kau merasa dadamu bergemuruh saat itu juga.
''Bintang selalu ada saat aku memutuskan untuk keluar dari rumah, saat berpikir dunia ini sangat sepi, saat aku ragu dengan tali atau pil, saat kau memarahiku di bulan pertama, lalu saat ibuku menikah lagi. Bahkan saat kau memberikan hari libur kepadaku, padahal tidak ada warna merah di kalender. Menurutku, bintang itu ... teman. Bukankah kita bebas menunjukkan sisi terburuk kita kepada teman?'' dia membagi ceritanya untuk pertama kalinya sejak setahunan ini mengenalnya. Ah, kau ingat, dulu kau jarang mengobrol dengannya.
''Teman?'' Kau diam sejenak. ''Teman, ya?'' Kau hening kembali, lalu berkata, ''bukankah orang-orang biasanya menunjukkan sisi terburuknya kepada hujan?" Kau mengingat senyum memilukan seseorang sebelum melayangkan pertanyaan.
''Dulu. Ya, dulu aku pernah menyukainya cukup lama. Tapi, dia mengkhianatiku.''
Hening. Dadamu bergemuruh lagi kali ini. Perempuan di sebelahmu mungkin tidak menyadarinya, tapi kau semakin ingin mengobrol lebih lama dengannya.
Dia menoleh, lalu sedetik kemudian tersenyum. ''Kau ... bosan? Kembalilah ke kamarmu jika bosan.''
Kau ingin membalas senyum itu, tapi rasanya aneh. Tiba-tiba kau iri pada bintang yang tampak seperti ketombe yang berjatuhan di atas kemeja hitam salah satu pegawaimu.
''Aku suka malam. Jadi, tidak masalah jika sedikit dingin.'' Akhirnya kau membagi ceritamu.
''Malam, ya? Aku tidak suka.'' Dia mengatakannya dengan tegas kemudian kembali menatap langit, atau mungkin bintang, entahlah, kau tidak akan pernah bisa menebak isi pikiran dan hatinya.
''Kenapa? Bukankah kau menyukai bintang?"
Dia menutup mata dan menarik napas dalam. Sejenak, dia menahannya. ''Apakah aku tidak boleh menyukai satu hal saja?'' pertanyaanmu dijawab dengan sebuah pertanyaan.
''Kupikir kau juga akan menyukai malam karena bintang.''
''Apakah kau bisa menyukai seseorang karena dia adalah temannya temanmu? Bagiku, menyukai satu hal itu sudah cukup. Lagi pula, masa depan bukanlah halaman terakhir sebuah buku.''(*)
Pekanbaru, 26 Juni 2023
Hassanah, gadis kelahiran Aceh yang besar di Riau memiliki setumpuk impian untuk menyemangatinya. Si penyuka suara rintik hujan dan nyanyian katak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H