Mohon tunggu...
Hassanah
Hassanah Mohon Tunggu... Freelancer - Just a sister

Si penyuka ketenangan, aroma hujan, dan suara katak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Atas Rakit yang Membawa Kami Pada Suatu Senja

19 Juni 2023   22:24 Diperbarui: 19 Juni 2023   22:37 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pabila suatu ketika kau dibawa mengunjungi rumah orang tua kekasihmu, kira-kira, apa yang menjadi desahanmu lolos di tengah-tengah kegagapanmu? Dan kemudian kau temukan ketidakadilan pada langit di sana.

Bersaksikan langit yang mengoranye pekat kala itu, tercetus ajakan Jangkang, kekasihku yang bekerja buruh di pabrik santan kelapa, ke kampung halamannya setelah sakit bapaknya tak kunjung sembuh. Lelaki suku itu, begitu aku menjulukinya di awal pertemuan kami, menatap lekat ke arahku dengan harapan di matanya. Dia bertanya, bagaimana? Dan lalu aku memikirkan jawaban yang sekiranya tidak menyakitinya, juga kemungkinan-kemungkinan yang bisa aku pilih.

Aku dan Jangkang ialah pasangan yang tidak cocok menurut orang-orang. Hubungan kami sering disandingkan dengan kisah Si Cantik dan Buruk Rupa. Bagiku Jangkang itu sungguh menawan dengan segala apa pun yang dilakukannya untukku. Dan dia juga berkata bahwa namaku sudah memikatnya sejak mula-mula.

Jangkang kembali berujar setelah es pokat kami diletakkan di meja oleh pegawai kafe, "Apa kau takut bertemu Bapak-Mamakku? Aku tak memaksa kalau itu mengganggumu." Jelas terlihat dia kecewa, tetapi ditutupinya dengan senyuman saja.

"Kapan berangkatnya?"

Wajahnya langsung semringah. Matanya bak melahirkan bintang-bintang dalam sekejap. Kemudian dia menjawab, "Dua hari lagi. Kita akan naik bus dan disambung dengan kapal kecil, lalu rakit menuju desa."

"Menarik. Aku jadi tak sabar. Dan sebenarnya aku tidak pernah naik rakit."

"Rumahku di sana tidak begitu istimewa sebenarnya, tapi kuyakin kau akan menyukai alamnya."

Kami pun menikmati sepoi angin yang membawa aroma gerimis di sisa kencan kami yang tak lagi kuhitung jumlahnya. Sesekali dia melirikku dan kemudian tersenyum. Mungkin dia tidak percaya kalau aku akan memenuhi ajakannya. Atau mungkin juga ada sesuatu di wajahku tapi dia enggan mengatakannya. Akan tetapi, aku suka senyuman yang disembunyikannya itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun