Senyum Jangkang adalah hal pertama yang aku lihat dengan latar tepian laut dan pohon-pohon kelapa di belakangnya. Dia kembali berkata bahwa kami harus segera menaiki rakit sebelum petang menyudahi tugasnya dan digantikan oleh malam.
Dan lalu, untuk pertama kalinya, aku menaiki rakit. Ini tidak seperti rakit yang ada di dalam bayanganku; yang terbuat dari susunan melebar bambu-bambu. Bagiku, ini seperti perahu dengan atap pada sebagiannya seperti perteduhan. Lelaki di atas, yang kata Jangkang adalah rakit, menyeru agar kami segera naik. Kemudian rakit, aku ikut menamainya begitu, bergerak dengan bantuan mesin motor di bagian belakang.
Tak pernah aku sangka, cakrawala di kampung halaman kekasihku memiliki warna oranye seindah ini. Aku benar-benar kagum. Ternyata, di daerah terluar Provinsi Riau, ada pulau dengan pemandangan secantik ini.
"Kau suka?"
Aku menoleh pada Jangkang. "Hem."
Jangkang lalu tersenyum. "Inilah tempat tinggalku, tempat tinggal orang tuaku. Tempat orang-orang Suku Akit yang semulanya adalah suku pertama di pulau ini."
"Jangkang, bolehkah aku bertanya?"
Jangkang mengangguk. Tak lupa senyumnya yang menawan ikut diperlihatkannya.
"Kenapa namanya Suku Akit?"
"Aku belum cerita, ya?" Jangkang tergelak. Gemericik air yang juga menyiprati kami menambah kesan perjalananku. "Akit, itu diambil dari kata rakit. Ya, dulu suku kami mendiami rakit-rakit dan membangun rumah papan di atasnya. Sebab mencari ikan adalah pekerjaan tetua kami kala itu. Dulu, mana ada mesin motor seperti itu," dagunya menunjukkan pemilik suara paling dominan pada rakit kami, "jadi tidak bisa pulang-pergi dalam satu hari. Dan anak-anak serta istri kepala keluarga akan tinggal di sana bersama-sama."
Aku terdiam entah berapa menit. Menghirup aroma laut dan senja bersamaan sambil menutup mata. Setelah agak puas, barulah aku melayangkan pandang pada kekasihku itu lagi.
"Tapi sepertinya itu asyik juga. Anak-anak dan ibu-bapaknya akan selalu bersama-sama."