Sebuah pola hidup yang tidak perlu ada pelarangan, karena tetap dilakukan juga oleh manusia dari masa ke masa dan itu akan berlaku sampai ahir zaman, itu natural saja.
Kita, bangsa Indonesia dan bahkan bangsa diberbagai benua, sudah memiliki kecenderungan dalam menentukan pilihannya berdasarkan kesamaan.
Baik itu kesamaan agama, tujuan atau target, kelompok, institusi, agama, suku, ras maupun komunitas. Itu sudah menjadi standar hidup yang normal alias lumrah.
Artinya tidak bisa diseragamkan keinginan, apalagi dalam memilih pemimpin, sebutlah dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2024.
Hal tersebut sekaligus menunjukkan sebuah praktik politik identitas yang menjadi hal lumrah dalam perjalanan politik demokrasi di tanah air kita Indonesia.
Kalau kita mampu kelola dengan cerdas aroma dari politik identitas itu, bisa tidak akan menimbulkan gejolak permasalahan yang akan diragukan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa serta kelangsungan demokrasi itu sendiri.
Justru yang harus dicerdaskan dalam menghadapi politik identitas adalah masyarakat. Publik atau masyarakat harus dimotivasi untuk kritis.
Cegah Praktek Negatif Politik Identitas
Kita di Indonesia memang aneh, seakan trauma pada politik identitas, tapi abai didepan matanya sendiri terjadi korupsi. Korupsi itu bukankah sebuah praktek busuk dari politik identitas itu sendiri?
Korupsi, terjadi karena adanya kesamaan pikiran dan perbuataan negatif, yang akan memaksa terjadinya kesamaan sikap ingin menguasai atau merampok uang rakyat.
Bukankah itu masuk kategori politik identitas dengan praktek tersembunyi, dibanding takut pada politikus yang kampanye dengan strategi politik identitas, yang dilakukan secara terbuka.