Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pers Pilar Keempat Demokrasi, Masihkah Kompasiana Independen?

12 Oktober 2022   17:47 Diperbarui: 12 Oktober 2022   17:55 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Regional Kompas

Empat pilar demokrasi di Indonesia antara lain adalah Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan Pers. Kenapa pers ada diantara tiga pilar tersebut, karena pers bisa memberi cahaya pada semuanya.

Lembaga eksekutif adalah pemerintahan, legislatif sebagai lembaga yang membuat undang-undang sekaligus mengawasi kinerja pemerintah, sementara yudikatif berfungsi sebagai lembaga kehakiman. 

Selanjutnya, pilar keempat yang juga sangat penting adalah pers atau media. Kenapa pers bisa dianggap sebagai pilar keempat demokrasi? 

Karena pers atau media harus lebih netral dan bebas dari unsur kekuasaan negara, berbeda dengan tiga pilar sebelumnya yang semuanya berorientasi pada kekuasaan.

Bersih dan kotornya eksekutif, legislatif dan yudikatif itu akan bisa dipengaruhi atau pers bisa memengaruhi atau memberi sinaran positif dan begitu juga sebaliknya, bisa pudar bila pers ikut pudar.

Posisi pers sangat stratejik dalam menata hidup kehidupan berdemokrasi atau maju mundurnya demokrasi, ada di pena insan pers, selain ketiga pilar demokrasi yang ada.

Harapan Rakyat, Sisa di Pers

Hampir pasti harapan masyarakat saat ini sudah pudar pada eksekutif, legislatif dan yudikatif, sisa ada sedikit cahaya pada jurnalistik atau pers, itupun hampir pudar.

Pers berperan besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dan menjaga kondisi bangsa dalam keadaan kondusif.

Kalau pers sudah subyektif atau tidak profesionalisme lagi, maka rakyat tidak ada lagi tempat bergantung, tiada tempat untuk mengadu.

Bila pers juga sudah berpihak atau sudah subyektif dalam ranah demokrasi, maka kiamat Indonesia. Kalau media sudah bisa dibeli, maka hancurlah sebuah tatanan berbangsa dan bernegara, rakyat sudah menjadi sapi perah oligarki.

Pengalaman empiris penulis, yang juga masuk dalam wilayah industri jurnalistik. Kondisi pers saat ini, publik sudah mulai skeptis juga. Dianggap pers terlalu murah dipengaruhi oleh dunia konvensional alias subyektifitas.

Kepercayaan publik juga terhadap dunia pers sudah mulai luntur. Ayo kita sesama kompasianer plus admin atau manajemen redaksi Kompasiana, mari bersama kita tegakkan pilar keempat demokrasi ini.

Ditengah pesatnya zaman dan penyebaran informasi yang tak terbatas, Negara sangat membutuhkan kehadiran pers, kehadiran kita dengan prespektif yang jernih.

Pers diharapkan turut ambil peran dalam melawan kekacauan informasi, berita hoax, ujaran kebencian yang mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Termasuk pers sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme atau kedzaliman dari oknum penguasa dan pengusaha terhadap rakyat.

Pers juga harus bisa menciptakan masyarakat yang sehat, dalam arti sehat jiwa dalam mencerna informasi.

Pers juga bekerja atas nama kepentingan kepentingan publik mulai dari isu politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan aspek pertahanan dan keamanan.

Kondisi pasca reformasi, hampir semua pilar demokrasi itu pudar, termasuk pers, bebas tanpa batas, semuanya sudah diduga masuk di wilayah abu-abu.

Maka Indonesia saat ini yang dikerangkeng oleh kondisi koruptif para oknum pejabat pusat sampai daerah, keberadaan pers yang independen sangat dibutuhkan, bukan memihak.

Jurnalis dan termasuk kita di Kompasiana ini adalah sebagai atau tergolong pewarta warga, yang juga sangat stratejik untuk memberi perannya selaku pilar keempat demokrasi.

Kompasiana sebagai rumah bersama, namun penanggungjawab artikel tetap kepada penulis yang bersangkutan. Mari kita semua menjadi obor pada kegelapan demokrasi.

Indonesia terancam atau bisa jadi kita sudah berada pada suasana perang asimetris, perang pembodohan. Saatnya kita harus cerdaskan rakyat dengan informasi produktif mencerah dan kritis.

Indonesia butuh manusia yang kritis, agar para oknum, khususnya koruptor atau antek-antek oligarki di Indonesia, bisa tidak leluasa memakan bangsanya sendiri.

Lawas di Kompasiana

Penulis sudah cukup lama berada di Kompasiana, sejak 19 Juni 2009, hampir bersamaan lahirnya Kompasiana. 

Kalau tidak salah postingan pertama saya "Disiplin Anggaran Kunci Sukses Otonomi Daerah" namun karena aktifitas padat, maka saya juga jarang posting.

Diharapkan Kompasiana tidak terpengaruh pada kondisi pers yang sudah mulai abu-abu atau bersifat subyektif, membela yang salah, tidak boleh terjadi.

Walau saya jarang di Kompasiana, tapi cukup memantau bagaimana jiwa atau profesionalisme kompasiana terhadap internal dan eksternal, sejak lahir sampai sekarang.

Dunia dan/atau insan pers serta komunitas jurnalistik sangat mudah terbaca bila berlaku konvensional, sangat kelihatan atau mudah dinilai atas subyektif dan obyektifnya.

Bila Kompasiana tidak independen, kompasianer bisa ikut kalang kabut menyalurkan kreatifitas dalam penulisan atau pemberitaan yang sifatnya obyektif. Tidak akan tertarik menulis yang sifatnya kritis.

Ayo Kompasiana, tunjukan independensi serta profesionalisme jurnalistik internal dan eksternal. Jadilah rumah bersama yang profesional, untuk bersama.

Independen mulai dari internal menuju eksternal. Ajari kami kompasianer agar berlaku profesional dan independen baik sesama kompasianer maupun pada sidang pembaca serta taat etika jurnalisme secara umum, demi hidupnya demokrasi Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda?

Jakarta, 12 Oktober 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun