Bila pers juga sudah berpihak atau sudah subyektif dalam ranah demokrasi, maka kiamat Indonesia. Kalau media sudah bisa dibeli, maka hancurlah sebuah tatanan berbangsa dan bernegara, rakyat sudah menjadi sapi perah oligarki.
Pengalaman empiris penulis, yang juga masuk dalam wilayah industri jurnalistik. Kondisi pers saat ini, publik sudah mulai skeptis juga. Dianggap pers terlalu murah dipengaruhi oleh dunia konvensional alias subyektifitas.
Kepercayaan publik juga terhadap dunia pers sudah mulai luntur. Ayo kita sesama kompasianer plus admin atau manajemen redaksi Kompasiana, mari bersama kita tegakkan pilar keempat demokrasi ini.
Ditengah pesatnya zaman dan penyebaran informasi yang tak terbatas, Negara sangat membutuhkan kehadiran pers, kehadiran kita dengan prespektif yang jernih.
Pers diharapkan turut ambil peran dalam melawan kekacauan informasi, berita hoax, ujaran kebencian yang mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Termasuk pers sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme atau kedzaliman dari oknum penguasa dan pengusaha terhadap rakyat.
Pers juga harus bisa menciptakan masyarakat yang sehat, dalam arti sehat jiwa dalam mencerna informasi.
Pers juga bekerja atas nama kepentingan kepentingan publik mulai dari isu politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan aspek pertahanan dan keamanan.
Kondisi pasca reformasi, hampir semua pilar demokrasi itu pudar, termasuk pers, bebas tanpa batas, semuanya sudah diduga masuk di wilayah abu-abu.
Maka Indonesia saat ini yang dikerangkeng oleh kondisi koruptif para oknum pejabat pusat sampai daerah, keberadaan pers yang independen sangat dibutuhkan, bukan memihak.
Jurnalis dan termasuk kita di Kompasiana ini adalah sebagai atau tergolong pewarta warga, yang juga sangat stratejik untuk memberi perannya selaku pilar keempat demokrasi.