"Mestinya uang negara itu diprioritaskan untuk subsidi masyarakat yang kurang mampu. Dan pemerintah saat ini harus buat keputusan dalam situasi sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan subsidi BBM," kata Jokowi dikutip dari keterangan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Sabtu (3/9).
Seharusnya pemerintah melalui lintas kementerian lembaga, seharusnya lebih kreatif dan berkreasi menggali sumber-sumber pembiayaan non APBN atau lebih mengoptimalkan dana corporate sosial responsibility (CSR).
Ataupun misalnya menggali dana Koefisien Kelebihan Bangunan (KKB) untuk disalurkan ke masyarakat melalui pembangunan suprastruktur dan infrastruktur, dengan mendorong masing-masing pemerintah daerah (pemda) dengan kebijakan lokal.
Indonesia kalau hanya berpikir dan bertindak standar, diprediksi tidak akan bisa berkembang menuju ke arah (status) negara modern. Bila hanya selalu berdasar atau mengharap hidup pada sumber dana dari APBN/D saja.
Karena bila demikian, ada kekurangan pembiayaan di APBN/D otomatis harus menarik atau mengalihkan lagi subsidi-subsidi sektor vital seperti mencabut subsidi BBM, sama seperti mencabut subsidi pupuk untuk petani.
Gejolak BBM Fenomena Global
Realisasi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) telah melampaui batas yang ditetapkan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022, sebesar USD63 per barel.
Bahan Bakar Minyak atau BBM, tentu berkaitan dengan biaya energi transportasi, barang, dan jasa. Hanya saja, pemerintah harus berperan untuk mengendalikan dan intervensi pasar.
Adanya situasi (perang) politik menyebabkan minyak global mengalami kenaikan. Rata-rata realisasi ICP hingga Maret 2022 sudah mencapai USD98,4 barel.
Ini jauh dari asumsi APBN. Bayangkan harga kontrak LPG Aramco (Contract Price Aramco/CPA) mencapai USD839 per metrik ton dari asumsi awal hanya USD569 per metrik ton.
Pemerintah Mutlak Kreatif
Pemerintah harus kreatif kendalikan naik-turunnya minyak dunia. Jadi saat harga minyak dunia turun, Pemerintah jangan buru-buru menurunkan harga, sehingga saat harga minyak global naik lagi, Pemerintah tak perlu menaikkan lagi, itu kuncinya.
Di luar negeri, misalnya Malaysia, saat harga minyak dunia turun mereka tak menurunkan harga, melainkan sisanya disimpan sebagai cadangan, lalu waktu minyak naik cadangan itu dijadikan subsidi. Sehingga harga BBMnya tetap stabil.
Kalau pemerintah tidak krearif untuk memunculkan pola kendali dan intervensi pasar, maka bisa dipastikan bahwa kenaikan BBM itu hanya sebuah trik halus untuk menarik modal atau uang dari rakyat, untuk menutup yang bolong.
Hal kenaikan BBM, satu peran yang tak kalah penting harus dilakukan Pemerintah, adalah mengintervensi pasar, agar harga barang dan jasa tak mudah naik.
Selama ini persepsi harga barang naik mengikuti harga BBM, padahal terkadang BBM belum naik namun harga di Pasar sudah naik. Pasti sekarang pasca kenaikan BBM, secara otomstis diikuti kenaikan kebutuhan bahan pokok masyarakat.
Regulasi Migas dan EBT
Perlu ada aturan yang mewajibkan setiap perusahaan migas untuk menyisihkan dana yang diperoleh dari energi minyak bumi untuk pengembangan migas.
Melakukan efisiensi konsumsi minyak dan menggalakkan pemakaian sumber energi alternatif.
Apalagi Indonesia memiliki sumber daya alam alternatif yang melimpah di luar minyak bumi, seperti sampah, angin, crude palm oil/CPO), surya (solar energy), metanol, panas bumi, batubara, dan lain sebagainya.
Sayangnya, hingga saat ini Indonesia ternyata tetap tidak mampu memanfaatkan anugerah Tuhan yang berlimpah itu sebagai sumber energi alternatif secara maksimal.
Pejabat kementerian dan lembaga kita terlalu asyik hanya berpikir belanja dari sumber yang sudah ada, APBN. Tidak kreatif.
Apa akibatnya, kita selalu kelabakan ketika menghadapi gejolak harga minyak dunia, yang membawa pengaruh besar pada asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Ketidaksiapan dalam menghadapi fenomena gejolak harga minyak dunia tersebut akhirnya berimbas pada penyesuaian harga BBM dalam negeri.
BBM di Indonesia menjadi mahal, yang pada gilirannya diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok. Tidak ada cara lain untuk mengatasi persoalan minyak yang ketersediaannya secara cepat.
Masyarakat kalangan bawahlah yang akhirnya terkena imbasnya, korban. Lalu datanglah tawaran program bantuan langsung tunai (BLT) yang digulirkan agar masyarakat tetap produktif.
Namun sayangnya, kebijakan ini cenderung tidak dapat dilepaskan dari persepsi masyarakat terhadap persoalan politik pencitraan.
Dana BLT yang dibagikan kepada masyarakat kalangan bawah dianggap sebagai sarana untuk kepentingan politik yang sempit. BLT juga sangat rawan dipermainkan.
Pada akhirnya, langkah untuk menyiasati kenaikan harga minyak dunia tidak hanya sebatas pada persoalan teknologi dan ekonomi semata, tapi lebih kepada persoalan kepemimpinan (leadership).
Pemimpin harus memiliki kemampuan memobilisasi seluruh potensi bangsa Indonesia untuk sama-sama melangkah guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara bersama.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, berani dan visioner, yang mau dan mampu membawa bangsa Indonesia keluar dari kebiasaan konsumsi energi secara boros dan menjadi lebih efisien.
Terlebih pemimpin yang mampu memanaje tim yang tidak korup, Indonesia juga rusak parah karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sangat marak. Mulai dari kementerian sampai ke desa-desa.
Indonesia harus mampu melahirkan sebuah kebijakan energi nasional yang terencana. Bagaimanapun kebijakan energi hari ini akan menentukan nasib Indonesia di masa mendatang.
Segera kembangkan secara massif di seluruh Indonesia, EBT. Sumbernya sangat melimpah. Tidak ada jalan lain, kecuali mendorong setiap daerah untuk berkreasi dalam mengembangkan potensi EBTnya, itu absolut.
Bagaimana pendapat Anda?
Jakarta, 5 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H