Pejabat kementerian dan lembaga kita terlalu asyik hanya berpikir belanja dari sumber yang sudah ada, APBN. Tidak kreatif.
Apa akibatnya, kita selalu kelabakan ketika menghadapi gejolak harga minyak dunia, yang membawa pengaruh besar pada asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Ketidaksiapan dalam menghadapi fenomena gejolak harga minyak dunia tersebut akhirnya berimbas pada penyesuaian harga BBM dalam negeri.
BBM di Indonesia menjadi mahal, yang pada gilirannya diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok. Tidak ada cara lain untuk mengatasi persoalan minyak yang ketersediaannya secara cepat.
Masyarakat kalangan bawahlah yang akhirnya terkena imbasnya, korban. Lalu datanglah tawaran program bantuan langsung tunai (BLT) yang digulirkan agar masyarakat tetap produktif.
Namun sayangnya, kebijakan ini cenderung tidak dapat dilepaskan dari persepsi masyarakat terhadap persoalan politik pencitraan.
Dana BLT yang dibagikan kepada masyarakat kalangan bawah dianggap sebagai sarana untuk kepentingan politik yang sempit. BLT juga sangat rawan dipermainkan.
Pada akhirnya, langkah untuk menyiasati kenaikan harga minyak dunia tidak hanya sebatas pada persoalan teknologi dan ekonomi semata, tapi lebih kepada persoalan kepemimpinan (leadership).
Pemimpin harus memiliki kemampuan memobilisasi seluruh potensi bangsa Indonesia untuk sama-sama melangkah guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara bersama.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, berani dan visioner, yang mau dan mampu membawa bangsa Indonesia keluar dari kebiasaan konsumsi energi secara boros dan menjadi lebih efisien.
Terlebih pemimpin yang mampu memanaje tim yang tidak korup, Indonesia juga rusak parah karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sangat marak. Mulai dari kementerian sampai ke desa-desa.