"Sebuah pertanda, 350 tahun Indonesia tidak dijajah Belanda, tapi diajari - dipaksa cerdas - untuk membangun diri, peradaban, merdeka. Isyarat, tepatnya di tepian kanal Universitas Leiden, grafiti potongan epik Aksara Lontara Bugis La Galigo terpampang megah di Negeri Kincir Angin."
Sesungguhnya Indonesia tidak dijajah oleh Belanda, bahkan "mengajari atau memaksa" bangsa Indonesia agar cerdas, disiplin, maju dan berkembang melalui penggalian sumber daya alam yang kaya di Indonesia.Â
Ya benar, dipaksa. Tapi dipaksa atau kerja rodi agar belajar disiplin, tanggung jawab dan berintegritas. Hal yang baik, boleh boleh saja dipaksa.
Mungkin memang bangsa kita baru bisa sadar dan cerdas serta disiplin bila dikerasi atau diberi sanksi. kita harus akui keegoisan dan keserakahan kita yang ditunjukkan tanpa rasa malu melakukan penjajahan pada bangsa sendiri dengan cara yang licik, korupsi.
Justru pada HUT 77 RI, yang perlu kita sadari dan introspeksi bersama adalah penjajahan itu datang dari bangsa sendiri. dengan cara lebih keji terhadap rakyat, korupsi. Ini menjadikan Indonesia belum merdeka, rakyat terus dijajah.
Sebagaimana dinarasikan oleh Ir. Soekarno, saat Hari Pahlawan 10 November 1961 adalah "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."Â dan ini fakta, dirasakan sekarang, tanpa rasa malu mrnghianati bangsa sendiri, demi materi.
350 tahun, sesungguhnya Belanda tidak menjajah Indonesia, tapi mereka membangun moral dan infrastruktur di segala bidang. Banyak sisi positif yang bisa dipetik, bukan hanya Indonesia, tapi seluruh bangsa dan negara.
Fakta dan sejarah membuktikan, dari sejumlah peninggalan masa kolonial yang sampai saat ini masih kokoh berdiri dan dipertahankan serta direflikasi. Berarti ada energi positif dari kolonial.
Sebut misalnya Museum Kereta Api Lawang Sewu di Semarang Jawa Tengah, Benteng Rotterdam Somba Opu di Makassar, Sulawesi Selatan, bangunan bangunan kuno lainnya di seluruh Indonesia yang masih dipertahankan.
Lebih monumental lagi, Istana Bogor, selain dijadikan kediaman resmi Presiden Indonesia, juga dengan Kebun Raya yang mengelilinginya, sampai saat ini banyak bisa dipelajari, ilmu tentang peradaban kehutanan dan pertanian dan lainnya.
Bisa belajar banyak disana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian atau riset dalam membangun bangsa Indonesia, agar bangkit dan merdeka seutuhnya.
Malah pengaruh positifnya sangat kuat, misalnya banyak bangunan rumah, restoran dan lainnya saat ini dibangun dengan mengikuti model atau struktur bangunan kolonial. Itu pertanda pengaruh positif yang luar biasa bila dihayati, karena mengikuti arah peradaban.
Memang benar, secara kasat mata kita Indonesia terjajah di masa kolonial. Tapi hikmahnya sangat banyak, mengajarkan kita untuk cerdas dan disiplin dalam menghadapi relung-relung hidup kehidupan yang dinamis.
Mengajari bangsa tentang, pertanian, teknologi, bisnis atau dagang, kerukunan umat beragama, mengajari bangsa ini menghargai sejarah, kolonial tahu kekurangan itu. Sehingga kita diajari dengan cara paksa, rodi.
Kolonial sesungguhnya mengajari pola hidup menghormati yang tua dan menyanyangi yang mudah, priyayi. Namun kita salah adopsi terhadap sikap atau mental priyayi itu, dengan selalu ingin dihormati saja. Tidak paham atas makna berpikir kritis. [kompasiana]
Bagaimana kolonial memandang Indonesia yang sangat kaya budaya, sumber daya alam dan lainnya yang harus dikembangkan, mereka datang ke Indonesia dan selama 350 tahun dan lalu kita merdeka, 77 tahun lalu.
Belanda Promosikan Indonesia
Satu bukti hubungan positif Indonesia-Belanda, di Kota Leiden ada jejak sejarah Indonesia disana. Di mural gedung Koninklijk Instituut voor, Taal Land, en Volkenkunde, atau KITLV. Pada dinding bagian depan gedung dengan aksara Bugis Lontara La Galigo.
Terpampang tulisan aksara lontara yang terkenal itu berbunyi: polena pelele winru, tenrikutuju mata, padanna sulisa. Artinya saya telah berkelana menebar ilmu, tak pernah kumelihat keindahan seperti sulawesi (Indonesia).
Tulisan Aksara Lontara Bugis La Galigo tersebut, bahwa Belanda ingin katakan kepada dunia, bahwa belajar dan investasilah di Indonesia, disana ada jejak sejarah yang positif untuk bisa dijadikan acuan untuk maju dan berkembang.
Adapun makna kalimat tersebut bahwa, ia telah berkelana dan mengunjungi berbagai tempat atau daerah, namun belum pernah ia melihat keindahan seperti yang ada di Sulawesi. Kalimat ini penuh makna konstruktif untuk bangsa Indonesia dan dunia.
Karena yang tertulis adalah huruf lontara, maka dipastikan daerah yang dimaksud adalah Sulawesi Selatan, Indonesia.Â
Pasti banyak tidak menyangka bahwa aksara Lontara Bugis La Galigo itu asalnya dari Indonesia. Pasalnya Lontara miliki aksara yang jauh beda dari Latin.
Hubungan sejarah panjang Indonesia-Belanda membuat setidaknya dengan karya sastra besar Indonesia terpampang megah di Belanda, negeri kincir angin yang merupakan sahabat Indonesia.
Sejatinya, ini adalah bentuk pengakuan Belanda akan keindahan dan kekayaan Nusantara. Pendeknya, potongan La Galigo tunjukan elemen moral keterpesonaan. Belanda jatuh cinta pada Indonesia, dan kita patut apresiasi itu. Artinya jangan lupakan sejarah.
Narasi dalam bentuk Lontara Bugis ini sebenarnya bisikan emosi Belanda yang tidak dapat terucapkan dan hanya melalui narasi seni lokal Nusantara yang dicat besar besar dekat perpustakaan kampus mereka di Belanda.
Sedikit tentang La Galigo, epik mitologi dari Sulawesi Selatan, menjadi naskah terpanjang di dunia dan sebagai Memory Of The World yang telah disahkan serta diakui UNESCO, dengan 13.000 baris teks dan 12.000 manuskrip folio.
Sebagai bukti dan fakta sejarah bahwa Belanda dan Indonesia adalah kawan yang saling membutuhkan. Bukan bangsa penjajah, tapi mentor disiplin Indonesia. Begitupun Indonesia, bukan negara terjajah, tapi murid yang "dipaksa"Â cerdas dan disiplin.
Dengan perbedaan yang ada, mari kita bangkit, belajar disiplin dari peninggalan kolonial. Agar kita bisa bangkit melawan penjajahan negeri sendiri, berantas korupsi. Agar Indonesia bisa merdeka seutuhnya.
Deli, 16 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H