Sangat jelas perusahaan tidak akan bisa membuat dokumen tersebut secara obyektif karena pedomannya tidak ada untuk menjalankan regulasi persampahan. Disini diduga keras terjadi gratifikasi oleh perusahaan kepada oknum pejabat elit lintas kementerian yang berkompeten.
Baca juga:Â Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia
Sebagaimana amanat Pasal 15 UUPS, dijelaskan bahwa Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Sementara Pasal 15 UUPS tidak bisa dijalankan tanpa sebelumnya pemerintah dalam hal ini Menteri LHK dan lintas kementerian melaksanakan mandat Pasal 16 UUPS.
Coba kita simak bunyi Pasal 16 UUPS adalah "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, tata cara pelabelan atau penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dan kewajiban produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan peraturan pemerintah."
Baca juga:Â Bank Sampah, EPR, dan Kantong Plastik Berbayar
Berdasarkan Pasal 16 UUPS, maka sangat jelas Permen LHK No P.75 Tahun 2019 itu melabrak UUPS, maka Permen tersebut wajib hukumnya dicabut atau tidak boleh menjadi pedoman pelaksanaan Pasal 15 UUPS atau sering disebut sebagai tanggungjawab EPR.
Maka peta jalan Permen LHK P.75 Tahun 2019 itu tidak berguna sebagai regulasi untuk mendorong perluasan tanggung jawab produsen atau EPR atas krisis sampah plastik di Indonesia.
Makanya publik termasuk lembaga swadaya masyarakat dan jurnalistik tidak bisa mendapatkan transparansi informasi isi dari dokumen peta jalan baik dari produsen maupun KLHK, maka sepanjang itu pula informasi EPR tertutup.
Ya, itulah penulis sebut atau beri istilah bahwa Permen LHK No P.75 Tahun 2019 tersebut merupakan peta buta yang harus dicabut dan patut digugat.
Jakarta, 28 Juli 2022