Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Ini Merek Kemasan Plastik Mengotori Bumi dan Laut

28 Juli 2022   07:09 Diperbarui: 28 Juli 2022   07:13 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemasan produk menjadi sampah mengotori bumi, akibat lalai jalankan UU Sampah. Sumber: DokPri

"Tanggung jawab produsen yang diperluas, atau biasa disebut dengan Extended Producer Responsibilty (EPR), merupakan suatu mekanisme atau kebijakan dimana produsen produk berkemasan diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah." [1]

Sangat miris membaca pemberitaan Tempo.co berjudul "Kemasan Unilever, Indofood, dan Mayora Penyumbang Pencemaran Sampah Plastik Terbanyak" (26/7).

Sebenarnya perusahaan pencemar bumi dengan merek-merek yang kita ketahui bersama, selama ini mereka "merasa" telah menjalankan tanggungjawabnya melalui Corporate Social Responsibility (CSR), bukan Extanded Producer Responsibility (EPR), karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang EPR sebagai landasan hukumnya.

Termasuk masalah CSR, juga mereka salah kaprah. Diduga ada - spekulasi jahat - terjadi kongkalikong antara perusahaan industri produk berkemasan dengan konspirasi asosiasi menjadi mediator, sehingga dana CSR dijadikan modal usaha anggotanya berkedok bank sampah atau pelapak. [2]

Ada juga perusahaan mendirikan yayasan sendiri untuk menjalankan CSR secara subyektif sehingga menguntungkan perusahaan (diduga ini permainan oknum perusahaan dan pemerintah) dan masyarakat hanya dijadikan obyek penderita. Sementara dana CSR itu adalah Hak Rakyat. [3]

Aparat penegak hukum diharapkan masuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas permainan dana-dana CSR. Diduga terjadi bancakan korupsi antara oknum perusahaan, asosiasi dan pemerintah pusat serta pemerintah daerah (pemda). Hal ini semua menjadikan Indonesia darurat sampah yang berkepanjangan.

Baca Juga: Biaya Sampah Bukan dari APBN/D dan Retribusi, Tapi dari EPR dan CSR

Kenapa sampah kemasan Indofood, Mayora, Unilever, Danone, dan Wings, dll mengotori bumi dan Siapa yang salah?

Karena semua lalai terhadap kewajibannya menjalankan regulasi sampah, baik oleh pemerintah, pemda maupun perusahaan industri produk berkemasan.

Industri produk berkemasan atau produsen fast moving consumer goods (FMCG), seperti Indofood, Mayora, Unilever, Danone, dan Wings menduduki peringkat puncak penyumbang pencemaran sampah kemasan plastik di Indonesia.

Perusahaan dipastikan tidak bisa menunjukkan transparansi atas keseriusan serta tanggung jawabnya dalam mengatasi sampah plastik kemasan yang diakibatkan oleh produksinya.

Terjadinya sampah ini akibat perusahaan produk tidak bertanggungjawab, abaikan Pasal 12,13 dan 45 UUPS. Sumber: DokPri
Terjadinya sampah ini akibat perusahaan produk tidak bertanggungjawab, abaikan Pasal 12,13 dan 45 UUPS. Sumber: DokPri

Baca juga: EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah

Diduga perusahaan ikut dibantu oleh oknum KLHK dan kementerian serta lembaga lainnya, sengaja menghindari regulasi sampah untuk tidak mengembalikan dana konsumen yang telah membayar kemasan tersebut melalui kewajiban EPR. Dicatat bahwa EPR itu dibayar oleh rakyat (baca: konsumen).

Karena baik perusahaan maupun pemerintah sama-sama menghindar atau tidak mau menjalankan amanat UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) yang berlaku di Indonesia. 

Jadi persoalan sampah di Indonesia disebabkan oleh oknum pemerintah dan perusahaan, sementara asosiasi tidak berfungsi sebagai mitra pemerintah dan pelindung konsumen. [4]

Terjadinya pencemaran atas kemasan plastik yang mengotori bumi, timbul karena Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, itu merupakan peta buta, tanpa rambu. [5]

Ayo ketahui, kenapa buta?

Baca juga: Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia

Dalam Permen P.75/2019, produsen memiliki kewajiban untuk membuat dokumen peta jalan pengurangan sampah sampai 2030.

Sebuah perintah dari Pemerintah cq: Kenenterian Lungkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada perusahaan industri berkemasan melalui Permen P.75/2019, sangat keliru atau cacat hukum.

Sangat jelas perusahaan tidak akan bisa membuat dokumen tersebut secara obyektif karena pedomannya tidak ada untuk menjalankan regulasi persampahan. Disini diduga keras terjadi gratifikasi oleh perusahaan kepada oknum pejabat elit lintas kementerian yang berkompeten.

Baca juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Sebagaimana amanat Pasal 15 UUPS, dijelaskan bahwa Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

Sementara Pasal 15 UUPS tidak bisa dijalankan tanpa sebelumnya pemerintah dalam hal ini Menteri LHK dan lintas kementerian melaksanakan mandat Pasal 16 UUPS.

Coba kita simak bunyi Pasal 16 UUPS adalah "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, tata cara pelabelan atau penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dan kewajiban produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan peraturan pemerintah."

Baca juga: Bank Sampah, EPR, dan Kantong Plastik Berbayar

Berdasarkan Pasal 16 UUPS, maka sangat jelas Permen LHK No P.75 Tahun 2019 itu melabrak UUPS, maka Permen tersebut wajib hukumnya dicabut atau tidak boleh menjadi pedoman pelaksanaan Pasal 15 UUPS atau sering disebut sebagai tanggungjawab EPR.

Maka peta jalan Permen LHK P.75 Tahun 2019 itu tidak berguna sebagai regulasi untuk mendorong perluasan tanggung jawab produsen atau EPR atas krisis sampah plastik di Indonesia.

Makanya publik termasuk lembaga swadaya masyarakat dan jurnalistik tidak bisa mendapatkan transparansi informasi isi dari dokumen peta jalan baik dari produsen maupun KLHK, maka sepanjang itu pula informasi EPR tertutup.

Ya, itulah penulis sebut atau beri istilah bahwa Permen LHK No P.75 Tahun 2019 tersebut merupakan peta buta yang harus dicabut dan patut digugat.

Jakarta, 28 Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun