KLHK dan lintas kementerian lainnya yang terkait mengurus sampah, hanya gonjang-ganjing membicarakan sampah plastik sekali pakai (PSP) yang tidak berujung dan malah diduga berpotensi menciptakan komplik horizontal antar industri dan pengelola sampah.
Baca Juga:Â Pengurangan Sampah Plastik Produsen, Pegiat Lingkungan Tuntut Keterbukaan Informasi Peta Jalan
EPR merupakan kewajiban perusahaan untuk menjamin keberlanjutan lingkungan hidup atau bisa disebut kepedulian perusahaan pada lingkungan atau Corporate Sosial Responsibiliy (CSR) yang diperluas.
Diperluas dalam arti bahwa, CSR diambil dari keuntungan bersih perusahaan perseroan terbatas yang ditentukan oleh pemerintah sekitar 2 persen, 2,5 persen, atau 3 persen dari keuntungan perseroan yang diatur melalui kebijakan tersendiri.
Sementara EPR bukan ditentukan dari keuntungan perusahaan, tapi nilai dari harga kemasan/barang yang berahir menjadi sampah. Artinya dana EPR lebih besar daripada CSR. EPR mutlak untuk biaya pengelolaan sampah yang bersumber dari uang rakyat (Baca: konsumen).
"Hingga saat ini Pemerintah cq: Kementerian LHK belum punya persiapan. Mulai dari bagaimana EPR akan dipungut sampai ke proses penyaluran EPR setelah dipungut" Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.
Baca Juga:Â Apa Kabar Peta Jalan Pengurangan Sampah Plastik Produsen
Pemberlakuan EPR di Indonesia seharusnya efektif tahun 2022, sesuai target yang telah dibuat oleh pemerintah SBY-JK tahun 2012, pada tahun tersebut disepakati penundaan 10 tahun, berarti tahun 2022 seharusnya berlalu efektif.
Disinilah, Menteri LHK Siti Nurbaya wajib dipertanyakan komitmen kenegarawanan dalam kepemimpinannya di KLHK dalam mendampingi Presiden Jokowi, kenapa mengabaikan EPR ini dan adakah intervensi dari pihak luar? Apakah Presiden Jokowi tahu masalah EPR?
Namun sampai sekarang, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf belum menyentuh serius tentang kewajiban pemerintah untuk memberlakukan EPR ini dalam mengantisipasi sampah. Padahal EPR ini sangat penting diantara yang terpenting.