Pemerintah dan Pemerintah Daerah (pemda) sepertinya kebal menerima usul dari masyarakat, padahal mereka wajib menerima saran atas tanggung jawab, sebagai bentuk partisipasi.
Memang masyarakat melalui LSM, Asosiasi dan komunitas lainnya diikutkan dalam pembahasan. Tapi senyatanya hanya formalitas belaka saja, kehendak oknum penguasa dan pengusaha yang mampu ABS/AIS yang berlaku, ahirnya tetap mangkrak juga.
Pada prinsipnya, pemerintah dan pemda tidak rela menjalankan pengelolaan sampah kawasan untuk mengikuti regulasi sampah, karena tetap ingin menikmati status quo dengan membuang sampah di TPA. Karena pengelolaan di TPA banyak pos anggaran yang dapat dikelola, nah disanalah diduga terjadi permainan atas biaya pengumpulan di sumber, distribusi ke TPA, sampai dana-dana pengelolaan di TPA mudah dipermainkan.
Sebenarnya aparat penegak hukum (APH) sudah seharusnya melakukan penyelidikan dan penyidikan (Lidik), karena semuanya itu merupakan penyalahgunaan jabatan (abuse of power) sebagai bagian dari korupsi karena abaikan azas manfaat.
Baca Juga:Â Koperasi Sampah "PKPS" sebagai Poros Circular Ekonomi
Teknologi Berbasis Kawasan
Regulasi persampahan yang ada yaitu UU. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), sangat jelas dalam Pasal 12,13,45 dengan substansinya pengelolaan sampah secara desentralisasi dengan partisipasi masyarakat dan pemilik kawasan.
Berpedoman pada UUPS tersebut, maka peletakan teknologi harus berbasis kearifan lokal dengan basis desentralisasi. Tentu dengan maksud pengelolaan sampah harus melibatkan atau dengan konsep "kepemilikan" oleh masyarakat dan/atau bersama investor atau pemilik kawasan, bukan hanya dimiliki dan/atau dikuasai seenaknya atau dimiliki oleh kelompok tertentu saja atau investor.
Baca Juga:Â Imposible Listrik Sampah PLTSa-PSEL di Indonesia
Lebih penting harus diketahui oleh investor pemilik modal atau teknologi, bahwa urusan sampah sama sekali tidak boleh lepas dari pemerintah, namun pemerintah pula tidak boleh memonopoli pengelolaan dan pengolahan sampah.