Kelompok pengumpulan (ekonomi) merangkul semua kelompok pemilahan (sosial), Dua kelompok besar (sosial dan ekonomi) ini sering terjadi kesalahan managemen karena terjadi penggabungan kelembagaan. Karena terjadi monopoli dan ahirnya meninggalkan pemilik bahan baku dalam usaha ekonomimya.
Pada kondisi ini terjadi stagnasi pengumpulan yang berimbas dengan tidak adanya keberlanjutan bisnis dalam memperoleh manfaat ganda pada bidang sosial dan ekonomi secara bersamaan. Pengumpulan akan stagnasi bila ada terputus rantai sosialnya yang diakibatkan oleh aktifitas ekonomi terputus oleh monopoli dengan mengabaikan kepemilikan dalam kegiatan usahanya.
Baca Juga:Â Koperasi Sampah "PKPS" sebagai Poros Circular Ekonomi
Kelompok sosial (pemilahan) dalam urusan persampahan sama wajibnya dibentuk dengan kelompok ekonomi (pengumpulan). Rantai nilai sosial dan ekonomi tersebut, semuanya memegang peranan penting yang masing-masing harus diagregasi. Lalu mereka disatukan pada satu kesatuan untuk menjalankan roda ekonomi sampah yang bercircular untuk membina usaha agar berkelanjutan.
Kelompok sosial wajib dibentuk karena politik anggaran dari proses pengelolaan sampah yang menghendaki demikian atau nir laba yang dikehendaki oleh manajemen tata negara dalam pertanggungjawabannya. Tanpa label lembaga sosial, maka CSR rawan diterima.Â
Karena menerima CSR seharusnya berlabel atau cap basah lembaga sosial. Itulah perbedaan bank sampah konvensional dengan bank sampah versi regulasi yang menjadi wakil pemerintah terdepan. Dimana seharusnya pengelola bank sampah digaji oleh pemerintah atau perusahaan dimana mereka didirikan.
Tanpa kelompok sosial yang diwajibkan tersebut, berakibat terjadinya permainan curang dalam perolehan anggaran pada aktifitas sosialnya (CSR). Maka disana akan terjadi stagnasi kegiatan ekonomi, karena ada kecacatan dalam mengelola sosialnya. Maka penguasa dan pengusaha akan  dengan mudah permainkan dana-dana CSR. Permainan CSR ini banyak terjadi dan dilakonkan oleh pengusaha dan di suppor oleh penguasa yang korup.
Terjadi dualisme kelembagaan yang tidak bisa dibedakan antara sosial dan ekonomi, kecacatan ini akan merugikan semua pihak, bukan hanya pengelola sampah terdepan. Tapi semua stakeholder sampah hulu-hilir, termasuk industri produk berkemasan dan industri daur ulang. Hanya sebagian kecil yang diuntungkan, diduga permainan ini diperankan oleh elit asosiasi yang menjadi mediator CSR.
Baca Juga:Â Sampah Pintu Stratejik Bangun Ekonomi Hijau Indonesia
Sementara kelompok sosial tersebut juga membutuhkan kelompok ekonomi, agar status sosial bisa tetap dipertahankan untuk mengikuti arah politik anggaran pemerintah dan perusahaan pada pengelolaan sampah dalam menghindari temuan pelanggaran dalam memanfaatkan dana rakyat yang harus masuk melalui pintu sosial.Â
Ingat bahwa dana CSR adalah dana yang diperuntukkan oleh rakyat, bukan untuk dibelanjakan dalam kepentingan negara dan oknum-oknum di dalam perusahaan. Elit perusahaan banyak sekali yang mempermainkan dana CSR perusahaannya sendiri. Mereka menciptakan program kongkalikong antara perusahaan dan pemerintah dengan memasang tameng bank sampah sebagai pemanfaat CSR.