"Banyak investor dalam dan luar negeri antri investasi kelola sampah di Indonesia, untuk membangun PLTSa, PSEL, Pirolisis ataupun RDF atau Briket Sampah, karena terpengaruh dapat Tipping Fee sampai Rp.500.000/ton sampah dari pemerintah, itu semua mimpi di siang bolong, selain karena duitnya dari mana? Lalu Perpres 35/2018 PSEL itu cacat hukum karena melanggar UU 18/2008 UUPS" Asrul Hoesein, Founder #GiF Jakarta.
Dalam menyelamatkan para stakeholder, pengusaha investor dalam dan luar negeri, uang rakyat dari APBN/D atas nama bayar tipping fee, industri daur ulang sampah, pengelola bank sampah, pemilik kawasan, serta masyarakat secara umum sebagai produsen sampah, perlu semuanya waspada agar jangan sampai merugi karena salah persepsi dalam investasi.
Termasuk penulis menyimak dan menyikapi beberapa pemberitaan online ahir-ahir ini banyaknya perencanaan dan investasi sektor sampah, termasuk berita di Kompas antara lain "Bekasi Manfaatkan Teknologi Pengelolaan Sampah RDF, Ini Kelebihannya".
Ada juga berita "Paving Blok Ini Terbuat dari Limbah Plastik, Intip Proses Pembuatannya", termasuk instalasi RDF existing di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah "Pengolahan Bahan Bakar Sampah di Cilacap Ditargetkan 200 Ton Per Hari" entah bagaimana beritanya sekarang? Mungkin sudah mangkrak disana.
Sebagai praktisi dan pengamat regulasi sampah di Indonesia, merasa punya tanggungjawab moral dan perlu sedikit menyeimbangkan pemberitaan dan informasi tentang sebab musabab kenapa Indonesia terjadi darurat sampah berkepanjangan, agar para investor bisa lebih berhati-hati dalam investasi, jangan sampai masuk jebakan.
Stop sejenak untuk berpikir dan jangan terburu-buru mengambil keputusan investasi dalam sikapi bisnis atas solusi sampah di Indonesia. Pahami masalah sampah Indonesia kenapa berlarut-larut tidak ada solusi. Kenapa 99,9% semua instalasi olah sampah semua pada mangkrak?
Masalah Bukan Teknologi Tapi Moral
Karena persoalan sampah bukan terjadi pada kekurangan dana dan teknologi atau persoalan pada produk turunan dari proses olah sampah, tapi masalahnya terletak pada moral dari oknum-oknum pemerintah dan pemda yang tidak berniat untuk jalankan UU. NO. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Baca Juga:Â KPK Minta Presiden Revisi Perpres Pengolahan Sampah Jadi Listrik
Sementara kalau regulasi sampah UUPS tidak dijalankan, secara otomatis para pengusaha (dalam dan luar negeri) pasti akan menemui kesulitan dan ahirnya investasi akan merugi. Jangan coba-coba investasi bila tidak ikuti UUPS.
Investor atau pengusaha akan menjadi bulan-bulanan karena ulah para oknum regulator (pemerintah dan pemda) yang memang hanya menginginkan mendapatkan kesempatan untuk jadikan bancakan korupsi dari rencana investasi yang ada. Terjadi dekadensi moral pada oknum penguasa yang menangani sektor sampah, mulai dari pusat sampai ke daerah di seluruh Indonesia.
Dekadensi moral merupakan bentuk-bentuk perubahan sosial atau suatu kondisi moral yang jatuh, jauh dari ciri-ciri kelompok sosial, kondisi merosot, kemunduran yang sementara ataupun kemerosostan yang berlangsung terus menerus (wikipedia).
Penulis coba memberi satu contoh yang membuat para investor tertarik investasi infrastruktur seperti PLTSa, PSEL, RDF, Pirolis dan lain sebagainya. Karena terjadi ketertarikan dalam hitungan ekonominya atas pembayaran tipping fee oleh pemerintah kepada investor yang punya hasil produk olahan dari instalasi yang dibangun.Â
Sebuah matematik keuntungan yang dahsyat "menipu" rakyat. Benar-benar ini bancakan korupsi yang terencana dengan baik. Makanya pihak PLN tidak berani beli listrik yang dihasilkan oleh PLTSa atau PSEL itu. Karena seharuanya murah, tapi dijualnya mahal. Ini fakta, silakan amati pendapat atau saran dari Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK).
Baca Juga:Â KPK Temukan Potensi Kerugian Negara dalam Pengelolaan Sampah Menjadi Listrik
Jangan Bermimpi Tipping Fee
Kenapa investor tertarik karena adanya janji muluk-muluk oleh pemerintah pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (Perpres 35/2018 PSEL).Â
Dalam Perpres 35/2018 PSEL tersebut pemerintah akan memberikan dukungan kepada daerah berupa bantuan biaya layanan pengolahan sampah (BLPS) maksimal sebesar Rp. 500.000 per ton sampah yang diproses melalui teknologi tertentu.
BLPS ini dikenal dengan tipping fee (biaya yang perlu dibayarkan untuk pengembangan energi berbasiskan sampah). Jangan mimpi dapat tipping fee itu. Kalau toh dana itu ada, artinya sengaja diadakan untuk dijadikan bancakan korupsi.
Tapi pertanyaannya dari mana pemerintah pusat mengambil dana untuk bayar tipping fee tersebut, coba baca ulang Perpres 35/2018 PSEL, lalu kalau memang ada dana tersebut, memangnya masuk akal pemerintah mau bayar tipping fee pada investor?
Baca Juga:Â Proyek Sampah Jadi Energi Listrik di Cilegon, KPK: Jangan Ada yang Rugi
KPK Menolak Listrik Sampah
Sebenarnya Pemerintah cq: Kemenko Marves dan para Walikota di Indonesia perlu memperhatikan dan mengikuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak setuju dengan Listrik Sampah PLTSa-PSEL tersebut. Bila pemerintah dan pemda mengikuti, pasti akan menuai bencana.
Dua tahun setelah Perpres 35/2018 PSEL ini dikeluarkan, muncul rekomendasi penolakan dari KPK. Lembaga penegak hukum ini rupanya menganggap ada kerugian negara yang timbul dalam peraturan yang mewajibkan PLN dan Pemda membeli listrik dari PLTSa dengan tarif keekonomian dan membayar bea pengolahan sampah (tipping fee).
Penulis sependapat dengan KPK, karena Pemda yang memberikan bahan baku sampah pada investor yang membangun PSEL tersebut, tapi pemda juga diwajibkan membayar tipping fee, lalu pengusaha yang punya hak menjual listrik kepada pihak ke tiga. Sangat aneh ??? Pemerintah membayar tipping fee, lalu pemerintah (PLN) membeli listriknya.
Juga karena kondisi tersebut, jelas harga jual listrik tentu mahal karena biaya operasional juga tinggi, makanya pihak ketiga (PLN) jelas tidak mampu beli listrik sampah tersebut. Fakta, PLN tidak pernah ikut bertanda tangan di dalam MoU PLTSa maupun PSEL.
Baca Juga:Â Jadi Pilot Project Nasional, PSEL Benowo Hasilkan Listrik hingga 11 Megawatt
Selain PLTSa-PSEL di TPA Benowo Surabaya yang sudah diresmikan Presiden Jokowi, ada 11 kota lain yang ditunjuk dalam Perpres 35/2018, yakni Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Memang benar banyak produk turunan hasil olahan sampah, karena sampah adalah bahan baku yang masih bisa dimanfaatkan setelah menjadi sampah. Tapi sebaiknya para walikota yang ditunjuk dalam Perpres 35/2018 tersebut agar sadar jangan lakukan kesalahan. Ikuti arahan KPK dan stop PSEL-PLTSa, itu proyek akal-akalan yang luar biasa jahat.
Hasil daur ulang sampah, bisa jadi minyak solar, bantal, kasur, boneka, sepatu, baju kaos, textil, pavingblok, lantai, Â batako, tegel, atap, mix aspal, dinding, karpet, briket, ember, pupuk, pakan ternak, energi baru terbarukan, listrik dan sangat banyak lagi.
Tapi masalah darurat sampah Indonesia bukan pada soal kekurangan teknologi cara produksi barangnya. Tapi pada soal pilah dan kumpul yang jadi masalah besar di Indonesia.
Jadi produk apapun yang Anda mau produksi, pasti pemerintah (baca: oknum) mendukung karena mereka merasa tidak terganggu sepanjang Anda tidak menjalankan atau menyentuh pasal-pasal yang dianggap merugikan oleh oknum pemerintah dan pemda.
Baca Juga:Â Pemkot Bekasi Diskusi KPK Terkait Pengolahan Sampah Jadi Energi
Anti UUPS, Karena Ingin Korupsi
Beberapa pasal dalam UUPS, tabu bagi oknum pemerintah? Yaitu Pasal 12,13 dan 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, karena pasal itu menghentikan sampah ke TPA.
Kalau sampah sudah tidak ada ke TPA setidaknya beberapa pos anggaran pemerintah daerah akan terhapus. Hal ini yang ditakutkan para oknum-oknum penguasa dan pengusaha yang menguasai TPA.
Dana apa saja itu bisa terhapus? Biaya kumpul - angkut sampah dan dorong sampah di TPA (438 TPA di Indonesia umumnya masih open dumping). Padahal sejak tahun 2013, pola open dumping di TPA seharusnya di stop (amanat UUPS).
Ada juga dana proyek pengadaan prasarana dan sarana (sapras) persampahan, honor-honor yang susah terdeteksi, petik dana retribusi di perusahaan, perumahan dan di masyarakat sampai petik dana dari tukang grobak sampah di lingkungan.
Juga dana tak terkira besarnya di TPA yang jarang orang ketahui yaitu Dana Kompensasi Warga Terdampak TPA, atau sering disebut Dana Bau untuk warga sekitar TPA yang terdampak merasakan bau sampah TPA.
Banyak juga dana-dana proyek sampah dari kementerian dan termasuk bantuan dari dana perusahaan CSR bergabung dalam satu mata rantai yang sangat berpotensi di korupsi.
Baca Juga:Â Ini Alasan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Ditolak
Termasuk pembangunan Pusat Daur Ulang (PDU) dari Kementerian LHK, TPS3R dari Kementerian PUPR, Proyek-proyek Aspal mix Plastik dan bangunan instalasi sampah dari CSR perusahaan-perusahaan besar. Semua potensi jadi bancakan korupsi (coba perhatikan jenis-jenis bangunan dan perbantuan yang saya sebut diatas), umumnya mangkrak di daerah, karena hanya dijadikan bancakan korupsi.
Termasuk juga dana-dana perbantuan kepada para pengelola sampah seperti bantuan atau subsidi ke pengelola bank sampah, pemulung sampah, karena semua ini ada dananya dari pemerintah dan perusahaan CSR yang sangat potensi untuk jadi bancakan korupsi.
Jadi kesimpulannya, stoplah dulu selalu memamerkan produk-produk olah sampah, itu tidak ada pengaruhnya bagi perbaikan tata kelola sampah. Itu hanya dijadikan tirai untuk tetap melancarkan aksi korupsi di persampahan yang sangat luar biasa.
Baca Juga:Â Lima Alasan Perpres Listrik Berbasis Sampah Digugat
Jadi bila ingin fokus selesaikan sampah sambil berbisnis secara baik di persampahan tanpa merugikan orang lain atau tanpa korupsi, maka absolut jalankan regulasi sampah. Bagi stakeholder yang tidak sepakat dengan UUPS, berarti bisa diduga bagian dari konsfirasi jahat.
Ada 7 pasal penting dalam UUPS yang harus dijalankan oleh stakeholder sampah yaitu; Pasal 12,13,14,15,21,44 dan 45 UUPS.
Namun Pasal 16 UUPS yang menjadi mandat UUPS yang absolut dilaksanakan oleh pemerintah karena itu yang menjadi pemicu untuk melaksanakan pasal-pasal penting yang telah saya sebutkan tersebut.
Jakarta, 18 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H