KPK Menolak Listrik Sampah
Sebenarnya Pemerintah cq: Kemenko Marves dan para Walikota di Indonesia perlu memperhatikan dan mengikuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak setuju dengan Listrik Sampah PLTSa-PSEL tersebut. Bila pemerintah dan pemda mengikuti, pasti akan menuai bencana.
Dua tahun setelah Perpres 35/2018 PSEL ini dikeluarkan, muncul rekomendasi penolakan dari KPK. Lembaga penegak hukum ini rupanya menganggap ada kerugian negara yang timbul dalam peraturan yang mewajibkan PLN dan Pemda membeli listrik dari PLTSa dengan tarif keekonomian dan membayar bea pengolahan sampah (tipping fee).
Penulis sependapat dengan KPK, karena Pemda yang memberikan bahan baku sampah pada investor yang membangun PSEL tersebut, tapi pemda juga diwajibkan membayar tipping fee, lalu pengusaha yang punya hak menjual listrik kepada pihak ke tiga. Sangat aneh ??? Pemerintah membayar tipping fee, lalu pemerintah (PLN) membeli listriknya.
Juga karena kondisi tersebut, jelas harga jual listrik tentu mahal karena biaya operasional juga tinggi, makanya pihak ketiga (PLN) jelas tidak mampu beli listrik sampah tersebut. Fakta, PLN tidak pernah ikut bertanda tangan di dalam MoU PLTSa maupun PSEL.
Baca Juga:Â Jadi Pilot Project Nasional, PSEL Benowo Hasilkan Listrik hingga 11 Megawatt
Selain PLTSa-PSEL di TPA Benowo Surabaya yang sudah diresmikan Presiden Jokowi, ada 11 kota lain yang ditunjuk dalam Perpres 35/2018, yakni Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Memang benar banyak produk turunan hasil olahan sampah, karena sampah adalah bahan baku yang masih bisa dimanfaatkan setelah menjadi sampah. Tapi sebaiknya para walikota yang ditunjuk dalam Perpres 35/2018 tersebut agar sadar jangan lakukan kesalahan. Ikuti arahan KPK dan stop PSEL-PLTSa, itu proyek akal-akalan yang luar biasa jahat.
Hasil daur ulang sampah, bisa jadi minyak solar, bantal, kasur, boneka, sepatu, baju kaos, textil, pavingblok, lantai, Â batako, tegel, atap, mix aspal, dinding, karpet, briket, ember, pupuk, pakan ternak, energi baru terbarukan, listrik dan sangat banyak lagi.
Tapi masalah darurat sampah Indonesia bukan pada soal kekurangan teknologi cara produksi barangnya. Tapi pada soal pilah dan kumpul yang jadi masalah besar di Indonesia.
Jadi produk apapun yang Anda mau produksi, pasti pemerintah (baca: oknum) mendukung karena mereka merasa tidak terganggu sepanjang Anda tidak menjalankan atau menyentuh pasal-pasal yang dianggap merugikan oleh oknum pemerintah dan pemda.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!