"Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) merupakan simpul atau suprastruktur yang akan membantu infrastruktur para pengelola sampah dalam menjalankan bisnis yang berharmonisasi dengan amanat UU. No. 18 Tahun Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) yang mutlak bergotong royong" Â Asrul Hoesein, Direktur Eksekutif GiF Jakarta.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari 83 820 desa/kelurahan di 514 kabupaten kota dan 34 provinsi dengan jumlah penduduk 270,20 Jiwa (BPS 2020), dengan luas daratan Indonesia sebesar 1,9 juta km2, maka kepadatan penduduk Indonesia sebanyak 141 jiwa per km2. Dari sanalah bersumber atau beredarnya produk-produk yang berahir dengan sampah. Maka disana pula potensi timbulan sampah akibat pemasaran produk dan penduduk sebagai konsumennya.
Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) yang mengamanatkan pengelolaan sampah secara desentralisasi atau pengelolaan sampah di sumber timbulannya. Maka dibutuhkan suprastruktur atau sebuah simpul penggerak ekonomi sampah atau rumah bisnis bersama berupa kelembagaan usaha yang dimiliki secara gotong-royong, agar bisa bahu-membahu sebagai pendukung infrastruktur para pengusaha industri produk berkemasan dan para pengelola sampah untuk menjalankan amanat regulasi persampahan secara sempurna atau win-win solusi.
Namun sebelumnya itu harus kita ketahui bahwa, ada dua hal yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa, khususnya dalam membangun ekonomi dan social berbasis sampah yaitu infrastruktur dan juga suprastruktur.
Infrastruktur adalah sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat , sebagai  layanan dan fasilitas yang diperlukan. Sementara suprastruktur merupakan produksi yang bersifat non-materi yang berasal dari ide masyarakat antara lain, Lembaga-lembaga politik, Hukum atau Undang-undang, Agama, Budaya, Pemikiran, Ekonomi, Filsafat dan Etika.
Manjadi pertanyaan adalah, mana yang lebih penting infrastruktur atau suprastruktur bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Tentu yang lebih penting adalah suprastruktur. Yang mana dalam membangun perekonomian bangsa Indonesia ini, harus diawali dengan pengembangan suprastruktur, sehingga masyarakat sudah terbentuk etika, ide yang bagus, pemikiran yang jernih dan maju, dan lembaga-lembaga yang membantu masyarakat dalam mengembangkan suprastruktur masyarakat Indonesia yang akan membantu masyarakat mengembangkan perekonomian mereka.
PKPS Rumah Bisnis BersamaÂ
Konsep awal Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) awalnya tercetus pada tahun 2013 yaitu bernama Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS), penulis bermaksud melakukan transpormasi atau restorasi ekonomi bank sampah.Â
Dimana ditemukan fakta bahwa progres bank sampah tidak seirama UUPS baik secara sosial maupun ekonomi. Sehingga tidak ada sinergitas antar pemangku kepentingan, khususnya perusahaan produsen berkemasan dengan para pengelola sampah ex produk yang bekerja mengelola sampah di garis terdepan dan termasuk para pengusaha industri daur ulang. Kesemuanya masing-masing bergerak parsial tanpa harmonisasi, sehingga tidak semua sampah atau ex-produk terdeteksi atau terpilih dalam pilahan para pengelola sampah.
Baca Juga:Â Presiden Jokowi Absolut Melakukan Transformasi Bank Sampah dan TPS3R
Selain maksud terciptanya PKPS ini secara subyektif sebagai poros circular economi, juga secara makro penulis sekaligus ingin merestorasi perkoperasian Indonesia yang terpuruk.Â
Target semua ini akan menjadikan koperasi Indonesia masuk dalam deretan 5 besar koperasi di Asia, minimal dalam jangka waktu 5-10 tahun kedepan, bisa mengikuti keberhasilan Koperasi China, Jepang dan Korea Selatan yang sangat maju karena dikelola secara benar dan professional.
PKPS sesungguhnya tidak lahir prematur, cukup panjang analisa dan perjalanannya. Setelah penulis melewati perenungan dan pengalaman panjang dalam suka duka "bisnis" dipersampahan. Jauh sebelum tahun 2013 telah fokus mempelajari kegagalan demi kegagalan dalam urusan tata kelola sampah yang dilakoni penulis secara langsung serta secara khusus mengamati regulasi dalam kaitan pada circular economi berbasi 3R.
Termasuk mengamati keberadaan bank sampah konvensional dan bank sampah versi regulasi yang sangat jauh melenceng dari yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah (pemda) dan pelaku-pelaku bank sampah itu sendiri. Termasuk mengamati peran dan keberadaan Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI) tidak memberi pengaruh dan inovasi terhadap bank sampah yang berbasis regulasi.
Seharusnya bank sampah versi regulasi difasilitasi full oleh pemerintah sebagai wakil terdepan perintah dalam merubah paradigm kelola sampah di masyarakat. Berbeda bank sampah konvensional yang ada sebelum adanya Permen LH No 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah.Â
Bank sampah konvesional yang didirikan murni masyarakat jelas tidak bisa melakukan tugasnya full sebagai wakil pemerintah, karena mereka tidak difasilitasi oleh pemerintah, artinya posisi mereka sama saja swasta murni seperti usaha pelapak atau usaha pendaur ulang, yang tidak bisa dipaksakan menjalankan misi pemerintah dalam pengelolaan sampah.
Dalam kondisi carut-marut bank sampah yang semakin hilang dari misinya, lahir bank sampah induk (BSI) yang didukung oleh pemerintah, seakan eksistensi BSI ini akan menolong bank sampah. Namun sangat disanksikan karena aktifitasnya dipastikan akan mengambil alih kegiatan bank sampah atau akan menjadi pesaing bank sampah karena kepemilikan BSI juga terbatas pada orang-orang tertentu saja.
BSI juga tidak bankcable atau bukan lembaga bisnis resmi sesuai regulasi, ahirnya semakin kacau antara bank sampah dan BSI. Jadi BSI hampir tidak punya kelebihan dibanding bank sampah bila ditinjau dari sudut kelembagaan dalam pengelolaan usaha berbasis sampah.
Baca Juga: Koperasi Sampah "PKPS" sebagai Poros Circular Ekonomi
PKPS Merupakan Sistem Ekonomi Sampah
Berdirinya PKPS sebagai tidak lanjut dari Memorandum of Understanding (MoU) yang pernah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia melalui Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) dengan Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Kementerian LHK) pada tahun 2016 serta diperkuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) dengan Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Kementerian LHK) pada tahun 2017.
Selain kebijakan pemerintah tersebut diatas antara Kementerian LHK dan Kemenkop UKM, juga berkaitan dengan hal transpormasi bank sampah sebagai perekayasa sosial dan perekayasa ekonomi di masyarakat dan ikut pula melakukan transpormasi BSI dalam menjalankan pola circular economi berbasis 3R (Reduce, Reuse dan Recycle), jadi kehadiran PKPS lebih merupakan penggerak atau suprastruktur untuk membantu infrastruktur para pengelola sampah dari hulu ke hilir secara kolaborasi dalam kepentingan makro.Â
Karena kepentingan mikro para pengelola sampah akan bekerja pada ruang dan waktunya masing-masing sesuai kepentingan internal. Jadi PKPS lebih akan bekerja sebagai simpul untuk menjadi penghubung atau integrasi pengelolaan sampah seluruh Indonesia yang penduduknya terpencar diberbagai pulau.
Kemenkop dan UKM pada awal tahun 2018 melakukan pembahasan dengan penulis sebagai penemu konsep PKPS secara detail atas keberadaannya sebagai suprastruktur atau sistem yang berharmonisasi dengan UUPS, maka Kemenkop dan UKM selanjutnya atas permintaan penulis mengadakan Focus Group Diskusi (FGD) yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha, (24/4/2018) dengan tema Bank Sampah Sebagai Entity Bisnis Koperasi (Baca Beritanya di sini)
Penulis meminta kepada Kemenkop dan UKM agar menghadirkan stakehorder yang terlibat dari awal sejak MoU dan PKS antara KLHK dan Kemenkop tersebut sebagai peserta FGD dimana hadir antara lain para pelaku Bank Sampah dari beberapa wilayah yang ada di Indonesia, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang langsung dihadiri oleh Ketua Harian Dekopin, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Indonesia (APDUPI), Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), dan juga hadir Pengelola TPA Bantar Gebang. Narasumber dari KLHK, Kementerian Koperasi dan UKM, juga Penulis selaku penginisiatif PKPS yang juga sebagai Direktur Green Indonesian Foundation Jakarta memberikan pemaparan secara detail tentang PKPS.
Ditemukan kesimpulan pada FGD Bogor tersebut, bahwa sesungguhnya bukan lembaga bank sampah yang membentuk koperasi, tapi anggotanya yang membentuk koperasi secara primer dalam satu wilayah kabupaten dan kota. Selanjutnya akan berjenjang dengan membentuk Pusat Koperasi Skunder (Puskopas) di tingkat Provinsi dan Induk Koperasi PKPS (Inkopas) di tingkat nasional.
Sementara bank sampah tetap dipertahankan sebagai lembaga perekayasa social dan harus berdiri di setiap desa dan kelurahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Selanjutnya seluruh bank sampah yang ada di setiap desa/kelurahan berjejaring dalam aktifitas bisnisnya sebagaimana karakteristik dari bahan produk sampah yang beraneka-ragam. Sementara aktifitas social bank sampah tetap mereka berjalan masing-masing program yang berbeda dalam wilayahnya guna merubah paradigma masyarakat sekitarnya.
Baca Juga Bank Sampah di Ujung Tanduk Bila Tidak Bertransformasi
PKBS Berubah Menjadi PKPS
Pada tahun 2019, penulis selaku penginisiatif PKPS kembali berdiskusi dengan Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) Ir. Luhur Pradjarto di Kantor Kemenkop dan UKM Jakarta, dimana saat ini beliau menjabat selaku Staf Ahli Bidang Hubungan antar Lembaga (Kemenkop dan UKM).
Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM mengusulkan agar nama PKBS (Primer Koperasi Bank Sampah) dirubah menjadi Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS). Prasa kata "bank" diganti "pengelola" untuk lebih memperluas cakupan pendiri, anggota dan pengurus sekaligus melebarkan wilayah kegiatan usaha dan status pada calon anggota koperasi atau pengelolaan yang tidak terbatas pada anggota bank sampah saja untuk menjadi pendiri PKPS.Â
Penulis setuju usulan Pak Luhur tersebut, mengingat pengelola sampah masih bercampur-baur kelembagaannya, belum ada lembaga secara khusus menjadi partner pemerintah sebagai wakil terdepan untuk melakukan misi sosial atau sebagai perekayasa sosial untuk bekerja khusus merubah paradigma masyarakat dalam kelola sampah, sebagaimana amanat UUPS. Â
Satu keuntungan waktu usulan perubahan tersebut karena belum ada satupun daerah di Indonesia yang mendirikan PKBS, nanti setelah perubahan nama menjadi PKPS, sebagaimana telah dilaksanakannya FGD PKPS oleh Kemenkop dan UKM di Surabaya, maka berdirilah untuk pertama kalinya PKPS Surabaya secara resmi. Lalu menyusul berdiri satu per satu PKPS pada beberapa kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sampai tulisan ini diturunkan sudah 11 PKPS di Indonesia telah melengkapi administrasi badan hukumnya dan kabupaten/kota lainnya sementara berproses dalam mendirikan PKPS.
Baca Juga:Â Kemenkop dan UKM Dorong Pengelolaan Sampah Melalui PKPS
Target PKPS Indonesia
Membaca kondisi karut-marut persampahan di Indonesia sejak 12 tahun adanya UUPS yang belum memiliki system atau suprastruktur tata kelola secara baku sampai sekarang. Maka seharusnya seluruh kementerian dan lembaga yang ada dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga, untuk sepakat melaksanakan dan mendukung pendirian PKPS di setiap kabupaten/kota di Indonesia. Karena infrastruktur pengelolaan sampah memang harus didukung suprastruktur kelembagaan koperasi primer yang berjejaring dan berjenjang seluruh Indonesia.
PKPS sebagai suprastruktur sangat stratejik dan dibutuhkan kehadirannya dalam mengawal infrastruktur pengelola sampah untuk mensinergikan amanat regulasi sampah UUPS, terkhusus dalam membantu perusahaan industry produk berkemasan dalam menjalankan kewajiban Extanded Produser Resfonsibility (EPR) sesuai pada Pasal 15 UUPS, sekaligus PKPS yang posisinya berjejaring dan berjenjang di seluruh Indonesia.
Maka PKPS sebagai lembaga rekomended terhadap perusahaan EPR kepada pemerintah dalam menerima insentif Pasal 21 Ayat 1(a) pada kaitannya dengan sebaran produk dan ex-produk (sampah) yang terkelola oleh para pengelola sampah yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena semua pihak pengelola sampah hulu-hilir wajib menerima insentif dan sekaligus menerima disinsentif bila lalai menjalankan kewajibannya.
PKPS selain akan mengawal tata kelola sampah Indonesia sebagai poros sirkular ekonomi sampah, juga memiliki target mengembalikan roh atau nama baik perkoperasian Indonesia yang jatuh terpuruk selama ini. Target PKPS setidaknya masuk 5-10 besar koperasi tangguh di Asia, mengikuti  keberhasilan Koperasi Pertanian National Agricultural Cooperative Federation (NACF) Korea Selatan atau koperasi di Jepang dan China.
Bila peduli pada Indonesia, peduli pada bumi atau terkhusus dalam pencegahan sampah yang tercecer, maka marilah semua pihak memahami masalah dan karakteristik sampah serta karakteristik bisnis sampah yang berbeda dengan bisnis lainnya. Maka segera melakukan perubahan yang lebih baik lagi sebagaimana amanat UUPS.
Rawasari, 16 Juni 2021
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI