Selain kebijakan pemerintah tersebut diatas antara Kementerian LHK dan Kemenkop UKM, juga berkaitan dengan hal transpormasi bank sampah sebagai perekayasa sosial dan perekayasa ekonomi di masyarakat dan ikut pula melakukan transpormasi BSI dalam menjalankan pola circular economi berbasis 3R (Reduce, Reuse dan Recycle), jadi kehadiran PKPS lebih merupakan penggerak atau suprastruktur untuk membantu infrastruktur para pengelola sampah dari hulu ke hilir secara kolaborasi dalam kepentingan makro.Â
Karena kepentingan mikro para pengelola sampah akan bekerja pada ruang dan waktunya masing-masing sesuai kepentingan internal. Jadi PKPS lebih akan bekerja sebagai simpul untuk menjadi penghubung atau integrasi pengelolaan sampah seluruh Indonesia yang penduduknya terpencar diberbagai pulau.
Kemenkop dan UKM pada awal tahun 2018 melakukan pembahasan dengan penulis sebagai penemu konsep PKPS secara detail atas keberadaannya sebagai suprastruktur atau sistem yang berharmonisasi dengan UUPS, maka Kemenkop dan UKM selanjutnya atas permintaan penulis mengadakan Focus Group Diskusi (FGD) yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha, (24/4/2018) dengan tema Bank Sampah Sebagai Entity Bisnis Koperasi (Baca Beritanya di sini)
Penulis meminta kepada Kemenkop dan UKM agar menghadirkan stakehorder yang terlibat dari awal sejak MoU dan PKS antara KLHK dan Kemenkop tersebut sebagai peserta FGD dimana hadir antara lain para pelaku Bank Sampah dari beberapa wilayah yang ada di Indonesia, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang langsung dihadiri oleh Ketua Harian Dekopin, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Indonesia (APDUPI), Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), dan juga hadir Pengelola TPA Bantar Gebang. Narasumber dari KLHK, Kementerian Koperasi dan UKM, juga Penulis selaku penginisiatif PKPS yang juga sebagai Direktur Green Indonesian Foundation Jakarta memberikan pemaparan secara detail tentang PKPS.
Ditemukan kesimpulan pada FGD Bogor tersebut, bahwa sesungguhnya bukan lembaga bank sampah yang membentuk koperasi, tapi anggotanya yang membentuk koperasi secara primer dalam satu wilayah kabupaten dan kota. Selanjutnya akan berjenjang dengan membentuk Pusat Koperasi Skunder (Puskopas) di tingkat Provinsi dan Induk Koperasi PKPS (Inkopas) di tingkat nasional.
Sementara bank sampah tetap dipertahankan sebagai lembaga perekayasa social dan harus berdiri di setiap desa dan kelurahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Selanjutnya seluruh bank sampah yang ada di setiap desa/kelurahan berjejaring dalam aktifitas bisnisnya sebagaimana karakteristik dari bahan produk sampah yang beraneka-ragam. Sementara aktifitas social bank sampah tetap mereka berjalan masing-masing program yang berbeda dalam wilayahnya guna merubah paradigma masyarakat sekitarnya.
Baca Juga Bank Sampah di Ujung Tanduk Bila Tidak Bertransformasi
PKBS Berubah Menjadi PKPS
Pada tahun 2019, penulis selaku penginisiatif PKPS kembali berdiskusi dengan Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) Ir. Luhur Pradjarto di Kantor Kemenkop dan UKM Jakarta, dimana saat ini beliau menjabat selaku Staf Ahli Bidang Hubungan antar Lembaga (Kemenkop dan UKM).
Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM mengusulkan agar nama PKBS (Primer Koperasi Bank Sampah) dirubah menjadi Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS). Prasa kata "bank" diganti "pengelola" untuk lebih memperluas cakupan pendiri, anggota dan pengurus sekaligus melebarkan wilayah kegiatan usaha dan status pada calon anggota koperasi atau pengelolaan yang tidak terbatas pada anggota bank sampah saja untuk menjadi pendiri PKPS.Â
Penulis setuju usulan Pak Luhur tersebut, mengingat pengelola sampah masih bercampur-baur kelembagaannya, belum ada lembaga secara khusus menjadi partner pemerintah sebagai wakil terdepan untuk melakukan misi sosial atau sebagai perekayasa sosial untuk bekerja khusus merubah paradigma masyarakat dalam kelola sampah, sebagaimana amanat UUPS. Â