Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terbitkan UU Omnibuslaw Persampahan Indonesia

9 Juni 2021   09:45 Diperbarui: 9 Juni 2021   10:47 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kondisi sampah di Indonesia sudah tidak terkendali. Sumber: Dok.Pribadi #GiF


"Presiden Jokowi perlu segera menerbitkan Omnibuslaw Persampahan Indonesia demi menyatukan lintas sektor dalam menata kelola sampah Indonesia" Asrul Hoesein, Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation Jakarta.

Menelusuri perjuangan Menteri Negara Lingkungan Hidup  Ir. Rachmat Witoelar pada era Presiden'Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2018 yang berinisiatif ingin menerbitkan undang-undang (UU) Extanded Producer Responsibility (EPR) tapi ditolak oleh DPR RI dengan alasan bahwa belum ada UU induk persampahan untuk dijadikan dasar pelaksanaan EPR.

Maka pada tahun yang sama MenegLH Ir. Rachmat Witoelar tidak kehabisan akal, maka KemenegLH dengan sigap drafting dan mengusulkan kepada DPR RI sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang pengelolaan sampah. Ahirnya terbitlah UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) yang kita kenal sampai sekarang. UUPS ini sangat kondusif dan mengakomodasi semua pihak (stakeholder) persampahan di Indonesia.

Baca Juga: Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi  Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia 

UUPS sejak diterbitkan tahun 2008 dan sampai 2021 belumlah diaplikasi secara utuh, khususnya pasal-pasal substansif yang mengharuskan pengelolaan sampah di sumber timbulannya (Pasal 12,13 dan 45 UUPS). Walau UUPS telah dilengkapi beberapa regulasi turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, serta regulasi lainnya.

Pada tahun 2012 dimasa KemenegLH dijabat oleh Prof. Kambuaya, telah menerbitkan PerMen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah, dimana di dalam Permen LH tersebut telah disebutkan pelaksanaan EPR, untuk memfollowup rencana Ir. Rachmat Witoelar sebelumnya. Pada masa itu direncanakan pelaksanaan secara efektif EPR pada tahun 2022. Artinya terjadi penundaan 10 tahun, demi melakukan persiapan khususnya terhadap perusahaan EPR dan perbaikan infrastruktur sampah terdepan. Sehingga saat ini sisa satu tahun lagi harus dilaksanakan kebijakan EPR tersebut.

Kebijakan EPR ini sangatlah penting, karena dari pos dana inilah menjadi sumber dana utama dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Artinya pembiayaan persampahan harus digali dari sumber yang tidak berasal dari pajak yang terhimpun. Maka selain dana CSR, sebagai sumber dana lingkungan dan sampah tentu yang harus diaplikasi segera adalah kebijakan EPR itu sendiri. 

Baca Juga: Gubernur Jakarta dan Bali Keliru Sikapi Sampah Plastik  Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia (Kompasiana: 23 Januari 2018) 

Perlu diketahui bahwa semua negara di dunia menggunakan dana EPR sebagai sumber utama pembiayaan pengelolaan sampah, disamping CSR atau dana lain yang bersumber dana dari non pajak. Bila ada dana dari pajak terhimpun, hanya peruntukan sebagai biaya bangunan percontohan suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan sampah, selain sosialisasi serta biaya monitoring dan evaluasi atau biaya tak terduga lainnya. 

Dalam pelaksanaan pengelolaan sampah melalui UUPS sejak 2008 sampai 2021, kelihatan semakin jauh dari aplikasinya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai leading sector persampahan sepertinya setengah hati untuk menjalankan UUPS. Walau telah dilengkapi turunan regulasi pendukung lainnya seperti Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jaktranas Sampah).

Begitu juga Kementerian Kordinator Kemaritiman sebagai kordinator nasional Perpres No. 97 tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah, kurang melakukan kordinasi yang intenst pada stakeholder terkait dalam mencari dan menemukenali solusi darurat sampah Indonesia. Hampir semua usulan-usulan dari masyarakat kurang ditanggapi. Hanya mendukung program-program yang tidak membumi alias mis regulasi.

Perpres Jaktranas Sampah ini juga bermasalah besar karena Kementerian Pertanian (Kementan) tidak dimasukkan didalamnya. Padahal Kementan ini sangat penting karena karakteristik sampah Indonesia didominasi oleh sampah organik yang berpotensi menjadi pendukung atau penopang pembangunan pertanian organik Indonesia.

Baca Juga: Pemerintah Perlu Merevisi Undang-undang Pengelolaan Sampah  Meluruskan Arah Bank Sampah sebagai Perekayasa Sosial dan Bisnis  

Pengelolaan sampah Indonesia malah semakin parah sejak tahun 2015 karena akibat kebijakan yang sangat keliru oleh KLHK yang didukung oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dengan mengeluarkan kebijakan Kantong Plastik Berbayar atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPB-KPTG) pada tahun 2016. Karena resistensi yang muncul atas KPB-KPTG tersebut, ahirnya berdampak negatif dengan digulirkannya Issu Ramah Lingkungan yang diduga berasal dari oknum KLHK itu sendiri.

Berdasarkan pada issu miring atas pemahaman yang keliru tentang ramah lingkungan tersebut muncullah kebijakan-kebijakan yang mis regulasi dari UUPS dengan terbitnya beberapa peraturan Bupati/Walikota dan Gubernur tentang larangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP) yang khusus menyorot kantong plastik, sedotan plastik dan PS-FOAM. Kenapa tidak menyorot jenis PSP lainnya yang banyak bersumber dari kemasan-kemasan produk?

Terjadilah perang bisnis antar produk atau kepentingan semu oleh penumpang gelap atas kebijakan KPB-KPTG itu yang kelihannya ingin ditutupi masalahnya. Maka terjadilah pembiaran masalah sampai saat ini, ahirnya Indonesia sepertinya kehilangan arah dalam menyelesaikan masalah sampah. Sehingga terbaca ada kecenderungan perusahaan-perusahaan EPR ingin pula menghindari kewajiban EPR, sebagaimana amanat Pasal 15 UUPS dengan memanfaatkan carut marut issu ramah lingkungan.

Baca Juga: Kenapa Bank Sampah Mati Suri?   Youtube Kenapa Bank Sampah Mati Suri? 

Ahirnya apa yang terjadi sampai hari ini adalah tidak adanya konsentrasi lintas menteri dan lembaga dalam menangani permasalahan sampah. Terjadi ego sektoral, mulai dari lintas Kementerian dan Lembaga sampai berimbas ke daerah-daerah. Sehingga Indonesia sampai hari ini masih dalam status darurat sampah.

Penulis sebagai pengamat dan pengawal regulasi persampahan di Indonesia yang juga merupakan Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation (#GiF) Jakarta dan Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya, mengusulkan kepada pemerintah bahwa dalam waktu jangka pendek segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang EPR dimana pelaksanaan EPR secara efektif akan dimulai dan di launching oleh Presiden Jokowi pada tahun 2022, sementara sampai hari ini belum ada landasan utama untuk melaksanakan EPR sesuai amanat UUPS.

Baca Juga: Human Error dalam Pelaksanaan CSR  Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR  Kebijakan Prematur Pergub Jakarta Larangan Kantong Plastik  

Serta dalam jangka waktu panjang, #GiF dan Yaksindo meminta kepada Presiden Jokowi dan DPR RI segera merencanakan dan menerbitkan Omnibuslaw Persampahan Indonesia.

Kenapa harus Omnibuslaw ? 

Sangat beralasan bahwa persampahan Indonesia sebagaimana dalam Perpres 97 Tahun 2017 tentang Jaktranas Sampah setidaknya ada 16 kementerian dan lembaga yang bertugas mengurus persampahan, selain menyatukan perusahaan dalam sebuah sistem pelaksanaan EPR sehingga mudah dalam pengendaliannya.

Selain itu pula dalam urusan sampah mutlak terjadi kolaborasi antar pihak. Khususnya pelibatan masyarakat dan perusahaan secara utuh dan paripurna, bukan pemerintah atau pemda yang menjadi eksekutor. Hal keterlibatan pemda sebagai eksekutor menjadikan sampah Indonesia menjadi masalah.

Berarti senyatanya ego sektoral dalam lingkup K/L dan pemda harus segera dihentikan dengan melakukan sinergitas stakeholder dengan cara menerbitkan Omnibuslaw Persampahan Indonesia untuk berdampingan dengan UU. No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja menuju Indonesia Bersih Sampah 2025 sesuai target pemerintah sendiri yang telah dirubah dari tahun 2020 tanpa alasan, artinya jangan sampai berubah lagi ke 2030 dan seterusnya. Apa kata dunia ???

Jakarta, 9 Juni 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun