Jadi dengan adanya Coca Cola ikut masuk dalam perdagangan PET ini, justru lebih bagus dan menggairahkan para pemulung dan pelapak. Minimal Ada alternatif untuk menjual scrap PET dan tidak mudah lagi dipermainkan oleh industri daur ulang dalam negeri yang juga telah memasang perwakilan perusahaannya di daerah-daerah. Justru perusahaan industri daur ulang akan melakukan usaha bank sampah, bila bermain sendiri.Â
Baca Juga:Â EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah
Harus Mengikuti Regulasi
Sesungguhnya dengan adanya resistensi tersebut, menjadi nampak nyata kesalahan pemerintah dan pihak asosiasi daur ulang. Karena selama ini mereka tidak menata rapi tata kelola sampah di Indonesia. Jadi seharusnya baik perusahaan besar seperti Coca-Cola, Danone itu tidak boleh langsung memasang perwakilan pada garda terdepan. Mereka harus mengikuti sistem yang telah diatur dalam regulasi sampah.
Harus melibatkan bank sampah melalui lembaga bisnis PKPS yang telah di kawal oleh Kementerian Koperasi dan UKM, karena persoalan sampah tidak boleh hanya dipandang dari sudut bisnis semata. Ada masalah sosial, lingkungan atau ekologi yang harus ikut diperhatikan. Memang karakteristik bisnis sampah sangat jauh berbeda dengan bisnis pada umumnya dan jangan disamakan, karena akan rugi sendiri.Â
Apalagi pro-kontra  yang terjadi tersebut hanya mempersoalkan bagian kecil dari sampah plastik, yaitu jenis PET saja. Maka sangat dinyakini bahwa yang terganggu adalah usaha besar pula yang atas namakan dirinya sebagai kelompok usaha kecil. Padahal bisa jadi mereka juga menggunakan dana investasi asing. Inilah kekurangan asosiasi selama daur ulang plastik selama ini karena hanya memikirkan usahanya sendiri, asosiasi hanya dijadikan power politik bisnis.Â
Baca Juga:Â Koperasi Sampah Penggerak Circular Ekonomi Indonesia Bersih
Seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perindustrian (Kemenperind), Kementerian Koperasi dan UKM duduk bersama mengatur masalah ini. Sekaligus menata pelabelan kemasan dan kewajiban perusahaan menarik ex produknya yang berahir dengan sampah. Serta membangun sistem untuk pelaksaanaan EPR, sebagaimana amanat regulasi persampahan. Khususnya Pasal 13,14,15,20,21,44,45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).Â
Banyak juga pendapat yang keliru dalam menyikapi Pasal 15 UUPS, dianggap perusahaan produsen barang/berkemasan hanya berkewajiban menarik atau mengelola sampah ex-produknya yang tidak bisa di hari oleh alam. Padahal semua produknya, termasuk yang bisa di daur ulang wajib diperhitungkan EPRnya.Â
Makanya Pasal 14 UUPS perlu segera dibahas dan diselesaikan agar kemasan produk bisa di label sekaligus memutuskan nilai kemasan setelah jadi sampah untuk menjadi dasar perhitungan di bank sampah atau pengelola sampah garda terdepan di masyarakat.Â
Juga terhadap industri daur ulang melalui asosiasinya, jangan hanya ingin manfaatkan pengelola sampah seakan pengusaha kecil yang merasa terganggu oleh kehadiran perusahaan multinasional.Â