Terjadi protes atau pro-kontra dari lembaga swadaya masyarakat dan industri berbahan baku daur ulang plastik khususnya ex sampah plastik botol mineral atau PET (Polyethylene Terephthalate) kepada kegiatan usaha kelola sampah plastik PET oleh perusahaan besar multinasional yang ada di Indonesia. Hal ini sebagaimana pemberitaan yang ada di website Adupi "Masuknya Coca-Cola ke Bisnis Daur Ulang Dipertanyakan"Â
Akibat masuknya perusahaan raksasa PT. Coca Cola Indonesia ke bisnis daur ulang PET dengan menggandeng perusahaan multinasional Dynapack Asia (Dynapack), Hal ini dianggap oleh industri daur ulang nasional mengganggu usaha kecil.Â
Usaha kecil yang mana sebenarnya, karena industri yang menggunakan scrap PET adalah industri skala besar nasional juga. Bukan industri skala UKM, sebagaimana dilansir dalam pemberitaan tersebut. Mungkin kalau ditelusuri, juga menggunakan dana investasi asing oleh perusahaan yang dominasi penggunaan bahan plastik PET.Â
PT. Coca Cola  termasuk penghasil sampah kemasan. Bersama kelompokmya telah menginisiasi pembentukan Packaging Recovery Organization (PRO), yakni sebuah organisasi untuk mengelola sampah kemasan dalam mendorong penerapan circular economy, untuk mengatasi persoalan banyaknya sampah kemasan yang belum bisa dimanfaatkan dengan baik. PRO dibentuk bersama beberapa perusahaan yang tergabung dalam Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE).
PT. Coca-Cola sebagai perusahaan raksasa dianggap tidak pantas masuk ke bisnis berbahan baku sampah plastik PET tersebut. Dianggap tidak etis, lucu juga menghubungkan hal etis disini, karena memangnya selama ini industri daur ulang sudah berlaku etis dalam pengelolaan sampah. Sementara apa yang dilakukan oleh PT. Coca Cola sama saja dengan PT. Danone Indonesia dan PT. Kemasan Ciptatama Sempurna, PT. Unilever Indonesia dan lainnya yaitu ingin menarik sampah dari ex produknya sendiri.Â
Baca Juga:Â Indonesia Darurat Sampah, Birokrasi dan Asosiasi Abaikan Regulasi
Jadi persaingan ini sebenarnya membuktikan bahwa industri daur ulang plastik tidak memiliki binaan pengelola sampah garda terdepan, kecuali mungkin perwakilan usahanya sendiri yang tersebar di daerah untuk membeli scrap PET. Karena kelihatan risau dan ketakutan tidak mendapatkan barang scrap PET. Â Bisa jadi pula sudah tidak leluasa lagi seenaknya menentukan harga scrap PET, karena ada pengusaha "pelapak berdasi" yang baru menjadi saingannya.
Sebenarnya dengan adanya Coca-Cola atau Danone atau siapa saja yang ingin berbisnis sampah, Â itu akan memberi keuntungan para pemulung, pelapak, bank sampah asal tersistem sesuai regulasi. Sekaligus memberi peringatan atau perhatian kepada industri daur ulang plastik untuk introspeksi, bahwa selama ini memang mereka kurang ikut berperan terhadap perbaikan pengelolaan sampah di Indonesia.
Perlu juga diketahui bahwa apa yang dilakukan sendiri oleh Coca-Cola, Danon, Unilever, PT Tetra Pak Indonesia, Arta Boga Cemerlang (Orang Tua Group) dan lainnya itu bukan pula masuk kategori melaksanakan Extaended Produsen Responsibility (EPR). Karena bukan dengan cara demikian mengaplikasi EPR. Tapi bisa saja mereka melakukan ujicoba, sebelum pemerintah menentukan sistem baku EPR di Indonesia.Â
Baca Juga:Â Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR
Kadin dan Fungsi AsosiasiÂ