"Belajar memang tidak selalu mudah, tetapi inilah saatnya kita berinovasi. Saatnya kita melakukan berbagai eksperimen. Inilah saatnya kita mendengarkan hati nurani dan belajar dari Covid-19," Mendikbud Nadiem (2/5)
Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2020 tahun ini dilakukan di tengah Covid-19. Secara khusus, Kemendikbud juga mengangkat tema "Belajar dari Covid-19" sebagai tema Hardiknas 2020.
Hardiknas bertepatan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pandemi Covid-19 dan bulan puasa Ramadan 1441H/2020M (2/5) sepi tanpa kegiatan seremoni lagi sebagaimana biasanya. Semoga bangsa ini bisa memetik hikmah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Terima kasih kehadiranmu pandemi Covid-19, engkau telah merubah paksa semua aktifitas manusia yang tidak manfaat. Kecuali engkau tidak istirahatkan para pemulung atau pekerja sampah. Karena sampah tetap harus diurus dan dikelola dengan baik. Begitu Adil dan Bijaksana Yaa Allah... Tuhan Ymk.
Hardiknas, tidak ada lagi "memanfaatkan" atau cipta gerakan sapu-sapu bersih pada pantai, jalan, sungai atau ruang publik lainnya dengan alasan "cinta bumi". Padahal semua itu hanya pencitraan dan sebuah momentum agar bisa mengeluarkan anggaran.
Seharusnya saat ini melakukan refleksi atas sejauh mana kita memberi arti pada dunia pendidikan Indonesia yang jauh tersungkur dari negara lain. Karena hampir semua bidang kerja terjadi penyelewengan alias korupsi masif pusat dan daerah, termasuk korupsi dana berbasis pengelolaan sampah.Â
Baca Juga:Â Bagaimana bila Pekerja Sampah Mogok Mengurus Limbah Medis Covid-19?
Keterangan Video: Survey sampah oleh GiF di masa PSBB Covid-19 di Surabaya (30/4)
Ganti Nama Pemulung Menjadi Pekerja
Penulis sebagai Founder Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta, lembaga swadaya yang selama ini eksis mengawal jalannya regulasi sampah di Indonesia. Ingin mencoba merefleksi Hardiknas 2020 atas masalah 'edukasi' yang terkait tata kelola sampah Indonesia yang sakit parah dan perlu restorasi.Â
Sekaligus mengajak semua pihak pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengambil hikmah dari Hardiknas dan Covid-19. Sebagai langkah awal dari basis terjadinya perubahan paradigma, mulai hari ini, GiF mengganti nama "pemulung" sampah menjadi "pekerja"Â sampah.
Kenapa terjadi Indonesia darurat sampah karena adanya kesengajaan atau kekeliruan sikap pemangku kepentingan persampahan yang katanya memberi edukasi tapi nyata itu adalah bersubstansi pembodohan atau pembohongan publik saja. Karena tidak ada kolaborasi efektif para pihak, makanya hanya terjadi edukasi yang subyektif.
Mungkin karena dianggap si pemulung sampah atau yang mengurus kerja sampah ini dianggap bodoh, dianggap sebuah pekerjaan hina. Bisa jadi pula para elit dan pengusaha berpikir bahwa semua orang dianggap terpaksa jadi pekerja pemulung sampah karena tidak dapat pekerjaan lain.
Baca Juga:Â Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
Pekerja Sampah Butuh Kejujuran Birokrasi
Mas Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Diharap segera masuk ke ruang pekerja sampah, tapi harus jujur dan jangan seperti yang lain hanya pencitraan pada Presiden Jokowi.Â
Agar sahabat-sahabat kita yang selama ini mengurus dan/atau bekerja sebagai pemulung atau pekerja sampah bisa mendapat pendidikan dan pengajaran. Bukan hanya sekedar seremoni atas nama perlindungan dan/atau cinta bumi.Â
Dalam mengambil sebuah kebijakan, tentu Mas Nadiem selaku Mendikbud perlu mendapat tambahan informasi atau second opinion. Selain info dari koleganya Dr. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar terjadi pertimbangan informasi untuk tidak salah kebijakan.
Baca Juga:Â Lingkaran Setan Solusi Sampah Plastik Indonesia
Sejarah Kelam Tata Kelola Sampah
Begini Mas Nadiem, babak baru pengelolaan sampah di Indonesia dimulai sejak 12 tahun lalu, saat Presiden ke-6 SBY yang didampingi Wapres Jusuf Kalla (SBY-JK) menerbitkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Tahun demi tahun berjalan UUPS, semakin dilengkapi regulasi turunannya berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri dan Dirjen, Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur, Perda dan Peraturan Bupati serta Walikota sampai pada Peraturan Desa (2008-2020).
Secara regulasi sungguh sudah sangat bagus dan lengkap untuk melaksanakan amanatnya dalam rangka menata-kelola persampahan di Indonesia. Namun sayangnya, para birokrat pemangku kepentingan (stakeholder) tidak taat menjalankan regulasi yang telah dibuat Dan diundangkan, jauh panggang dari api.Â
Baca Juga:Â Pengelolaan Sampah Masih Buruk dalam 100 Hari Jokowi Maruf
Pembangkangan UUPS oleh Birokrasi
Apa yang terjadi pada pengelolaan sampah, sangat menyedihkan. Birokrasi pusat dan daerah justru bukan ingin melaksanakan perintah atau amanat regulasi. Tapi malah akan melabraknya, dengan cara menerbitkan kebijakan-kebijakan baru yang menghambat regulasi UUPS itu sendiri.
Beberapa kebijakan yang melabrak regulasi adalah, pencabutan Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (tanpa alasan) pada tahun 2016. Padahal aturan ini sangat penting sebagai pedoman kerja dalam pengelolaan sampah di daerah untuk melaksanakan UUPS.
Penulis ketahui akar masalah pencabutan Permendagri 33/2010 tersebut, setelah terhambatnya rencana liar atas terbit dan terlaksananya Surat Edaran Dirjen PSLB3 KLHK Desember 2015 (I) dan Februari 2016 (II) alas hak pelaksaanaan penjualan atas Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB). Dana KPB ini masih misteri sampai sekarang.Â
Selain ingin melindungi KPB, setelah Permendagri 33/2010 dicabut. Juga muncul rencana KLHK akan merevisi Permen LH No. 13 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah 3R melalui Bank Sampah (2016). Jelas dengan membaca draf revisi, KLHK bermaksud ingin melegalkan Bank Sampah Induk (BSI) sebagai payung bisnis bank sampah. Jelas keliru besar karena BSI bukan lembaga bisnis resmi yang diakui dalam UU di Indonesia.
Baca Juga:Â Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi
Suplemen Artikel, Penulis-GiF di Hari Pendidikan Nasional (2/5) membagi gratis "e-Book Bank Sampah, Masalah dan Solusi" Download di Sini. atau di Sini.Â
Muncul Jaktranas Sampah
Setelah rencana revisi Permen LH 13/2012 gagal, muncul lagi kebijakan berupa Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah dan hampir materinya sama saja ingin menguatkan substansi revisi Permen LH tersebut dengan menambah embel produk akal-akalan saja yaitu PLTSa (pembangkit listrik sampah). Sementara Perpres 18/2016 tentang PLTSa sudah dicabut oleh Mahkamah Agung.Â
Paling aneh Perpres No. 97 Tahun 2017 ini karena dari 15 kementerian dan lembaga (K/L) yang ada dalam Jaktranas Sampah tersebut. Lagi-lagi Kementerian Pertanian (Kementan) tidak dimasukkan. Padahal Kementan ini sangat penting karena sampah Indonesia lebih didominasi oleh sampah organik (70-80%).
Selain ada PLTSa juga dalam Jaktranas Sampah muncul atau menjadi sasaran adalah plastik sekali pakai (PSP). Berdasar wacana PSP inilah, lahir dan bergaung issu plastik dengan berbagai muatan politik ekonomi seperti PPn Plastik daur ulang, cukai kantong plastik. Semua wacana ini dikemas dengan bungkusan cantik atas nama ramah lingkungan.
Baca Juga:Â Asrul Founder Green Indonesia Foundation, Bicara Sampah di Menko Ekonomi
Strategi Berbasis Pembodohan
Setelah Jaktranas Sampah dipegang oleh Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marivest) sebagai Kordinator Nasional dan Menteri LHK sebagai Ketua Harian Jaktranas. Bermunculanlah lintas K/L menciptakan program-program instan dengan tema ramah lingkungan dan disertai para LSM dan rombongan penggiat sampah dadakan, juga ikut artis-artis dimanfaatkan dalam momentum semu tersebut.
Genderang bertalu-talu bagaikan sebuah group orkestra tanpa nada dasar. Artinya tanpa sistem, hanya berdasar "kekuasaan" semata. Sponsor juga semakin ramai dari perusahaan dan asosiasi saling mendukung lintas K/L dalam kekeliruan menatap regulasi (baca: Perang Plastik dan Kertas, Akibat Kekeliruan Membaca Regulasi Sampah)
Dirigen dalam hal ini pihak KLHK yang bisa jadi didukung oleh Kemenko Marivest, salah dan keliru memahami dalam tata kelola sampah yang menyorot subyektif plastik dengan tema besar " tidak ramah lingkungan" karena tidak bisa terurai dalam waktu cepat. Sebuah alasan konyol dan klize tanpa memahami regulasi. Â
Disinilah letak misterius pembohongan publik besar-besaran atas nama "ramah lingkungan" karena tanpa melirik dan memahami UUPS, atas keberadaan Pasal 15. Seharusnya pasal tersebutlah yang bisa mengatasi sampah apa saja. Termasuk dan lebih khusus sampah kemasan sisa produk berkemasan yang berahir dengan sampah.
Paling seru dan teristimewa langkah KLHK yang tidak patah semangat dalam liku-liku perjuangannya membela misteri KPB. Pada tanggal 15-16 April 2018 di Banjarmasin, Direktur Pengelolaan Sampah PSLB3 KLHK melakukan Lokakarya Strategi Pemda Dalam Pengurangan Sampah Kantong Plastik. Â
Sangat jelas KLHK mendorong pemda untuk melarang penggunaan kantong plastik konvensional dan memberi ruang pada plastik berjenis oxium. Sekaligus bermaksud melindungi kebijakan misteri KPB. Lucu kan, KLHK itu satu sisi melarang kantong plastik, namun dilain sisi membiarkan ritel menjual kantong plastik (KPB), ada apa ?Â
Setelah diadakan Lokakarya Kantong Plastik di Banjarmasin, bermunculanlah kebijakan pemerintah daerah dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur dan Walikota/Bupati tentang pelarangan penggunaan kantong plastik dan/atau plastik sekali pakai (PSP) di beberapa daerah di Indonesia, terahir DKI Jakarta ikut melarang penggunaan PSP.Â
Baca Juga:Â Meluruskan Arah Bank Sampah sebagai Perekayasa Sosial dan Bisnis
Refleksi Edukasi Persampahan
Dalam merefleksi Hardiknas tahun 2020 yang bertepatan bulan Ramadan dan masa kedaruratan kesehatan atas wabah pandemi Covid-19, penulis mencoba kembali menggugah Presiden Jokowi melalui Mas Nadiem Mendikbud dan 14 K/L plus Kementan.
Para stakeholder tersebut ditambah para LSM atau non LSM serta NGO luar negeri serta seluruh asosiasi agar segera kembali ke jalan yang benar. Mari kita amanah menjalankan tugas dan fungsi masing-masing, agar rakyat dan bangsa Indonesia keluar dari cara-cara pendidikan dan pengajaran yang salah.
Berhentilah bohongi rakyat dengan intrik murahan dengan menjual wacana ramah lingkungan. Cukuplah Anda semua bertahan selama 5 Tahun (2015-2020) melakukan rencana strategi pembenaran. Tapi nyatanya juga Anda gagal menembus batas.
Karena masih ada kelompok kecil rakyat Indonesia yang konsisten mempertahankan kebenaran dan Anda tidak bisa beli. Justru Anda tersandera saat ini, sepertinya terselip makna bahwa tidak bisa berbuat lagi dan hanya menunggu bom waktu itu meledak.
Petiklah pelajaran berharga dari pesan moral yang diturunkan Tuhan Ymk melalui pandemi Covid-19. Pesan moralnya adalah kita jangan mau konsumsi makanan kotor, artinya jangan ambil hak orang lain. Rezeki tidak akan tersesat mencari pemiliknya.
Surabaya, 9 Ramadan 1441 (2/5/2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H