Sekaligus mengajak semua pihak pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengambil hikmah dari Hardiknas dan Covid-19. Sebagai langkah awal dari basis terjadinya perubahan paradigma, mulai hari ini, GiF mengganti nama "pemulung" sampah menjadi "pekerja"Â sampah.
Kenapa terjadi Indonesia darurat sampah karena adanya kesengajaan atau kekeliruan sikap pemangku kepentingan persampahan yang katanya memberi edukasi tapi nyata itu adalah bersubstansi pembodohan atau pembohongan publik saja. Karena tidak ada kolaborasi efektif para pihak, makanya hanya terjadi edukasi yang subyektif.
Mungkin karena dianggap si pemulung sampah atau yang mengurus kerja sampah ini dianggap bodoh, dianggap sebuah pekerjaan hina. Bisa jadi pula para elit dan pengusaha berpikir bahwa semua orang dianggap terpaksa jadi pekerja pemulung sampah karena tidak dapat pekerjaan lain.
Baca Juga:Â Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
Pekerja Sampah Butuh Kejujuran Birokrasi
Mas Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Diharap segera masuk ke ruang pekerja sampah, tapi harus jujur dan jangan seperti yang lain hanya pencitraan pada Presiden Jokowi.Â
Agar sahabat-sahabat kita yang selama ini mengurus dan/atau bekerja sebagai pemulung atau pekerja sampah bisa mendapat pendidikan dan pengajaran. Bukan hanya sekedar seremoni atas nama perlindungan dan/atau cinta bumi.Â
Dalam mengambil sebuah kebijakan, tentu Mas Nadiem selaku Mendikbud perlu mendapat tambahan informasi atau second opinion. Selain info dari koleganya Dr. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar terjadi pertimbangan informasi untuk tidak salah kebijakan.
Baca Juga:Â Lingkaran Setan Solusi Sampah Plastik Indonesia
Sejarah Kelam Tata Kelola Sampah
Begini Mas Nadiem, babak baru pengelolaan sampah di Indonesia dimulai sejak 12 tahun lalu, saat Presiden ke-6 SBY yang didampingi Wapres Jusuf Kalla (SBY-JK) menerbitkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).