Setelah rencana revisi Permen LH 13/2012 gagal, muncul lagi kebijakan berupa Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah dan hampir materinya sama saja ingin menguatkan substansi revisi Permen LH tersebut dengan menambah embel produk akal-akalan saja yaitu PLTSa (pembangkit listrik sampah). Sementara Perpres 18/2016 tentang PLTSa sudah dicabut oleh Mahkamah Agung.Â
Paling aneh Perpres No. 97 Tahun 2017 ini karena dari 15 kementerian dan lembaga (K/L) yang ada dalam Jaktranas Sampah tersebut. Lagi-lagi Kementerian Pertanian (Kementan) tidak dimasukkan. Padahal Kementan ini sangat penting karena sampah Indonesia lebih didominasi oleh sampah organik (70-80%).
Selain ada PLTSa juga dalam Jaktranas Sampah muncul atau menjadi sasaran adalah plastik sekali pakai (PSP). Berdasar wacana PSP inilah, lahir dan bergaung issu plastik dengan berbagai muatan politik ekonomi seperti PPn Plastik daur ulang, cukai kantong plastik. Semua wacana ini dikemas dengan bungkusan cantik atas nama ramah lingkungan.
Baca Juga:Â Asrul Founder Green Indonesia Foundation, Bicara Sampah di Menko Ekonomi
Strategi Berbasis Pembodohan
Setelah Jaktranas Sampah dipegang oleh Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marivest) sebagai Kordinator Nasional dan Menteri LHK sebagai Ketua Harian Jaktranas. Bermunculanlah lintas K/L menciptakan program-program instan dengan tema ramah lingkungan dan disertai para LSM dan rombongan penggiat sampah dadakan, juga ikut artis-artis dimanfaatkan dalam momentum semu tersebut.
Genderang bertalu-talu bagaikan sebuah group orkestra tanpa nada dasar. Artinya tanpa sistem, hanya berdasar "kekuasaan" semata. Sponsor juga semakin ramai dari perusahaan dan asosiasi saling mendukung lintas K/L dalam kekeliruan menatap regulasi (baca: Perang Plastik dan Kertas, Akibat Kekeliruan Membaca Regulasi Sampah)
Dirigen dalam hal ini pihak KLHK yang bisa jadi didukung oleh Kemenko Marivest, salah dan keliru memahami dalam tata kelola sampah yang menyorot subyektif plastik dengan tema besar " tidak ramah lingkungan" karena tidak bisa terurai dalam waktu cepat. Sebuah alasan konyol dan klize tanpa memahami regulasi. Â
Disinilah letak misterius pembohongan publik besar-besaran atas nama "ramah lingkungan" karena tanpa melirik dan memahami UUPS, atas keberadaan Pasal 15. Seharusnya pasal tersebutlah yang bisa mengatasi sampah apa saja. Termasuk dan lebih khusus sampah kemasan sisa produk berkemasan yang berahir dengan sampah.
Paling seru dan teristimewa langkah KLHK yang tidak patah semangat dalam liku-liku perjuangannya membela misteri KPB. Pada tanggal 15-16 April 2018 di Banjarmasin, Direktur Pengelolaan Sampah PSLB3 KLHK melakukan Lokakarya Strategi Pemda Dalam Pengurangan Sampah Kantong Plastik. Â
Sangat jelas KLHK mendorong pemda untuk melarang penggunaan kantong plastik konvensional dan memberi ruang pada plastik berjenis oxium. Sekaligus bermaksud melindungi kebijakan misteri KPB. Lucu kan, KLHK itu satu sisi melarang kantong plastik, namun dilain sisi membiarkan ritel menjual kantong plastik (KPB), ada apa ?Â