"Urusan sampah ini juga sudah ingin kita selesaikan, ingin kita kerjakan. Jadi gubernur juga sama, tapi sampai sekarang, sampai hari ini saya belum mendengar ada progres yang sudah nyata dan jadi," Presiden Joko Widodo.
Sudah beberapa kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan Rapat Terbatas (Ratas) Kabinet membahas khusus masalah sampah, tapi para menteri-menteri pembantu Jokowi tidak memberi umpan balik solusi yang benar sampai sekarang.
Bahkan Presiden Jokowi telah mengumpulkan belasan kepala daerah dan para menteri kabinet kerja dan menginginkan berbagai pihak yang terlibat untuk memberi solusi terkait urgensi pengelolaan sampah di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai leading sektor persampahan sangat tidak jujur sikapi produk industri berbasis daur ulang dalam mengatasi masalah sampah. Akhirnya tersandera urusan plastik saja. Tidak ada kemajuan dalam urusan sampah secara umum.
Begitu pun Kementerian Perindustrian (Kemenperind) juga tidak bisa mengendalikan industri bahan baku daur ulang plastik dan industri berbahan baku lainnya berbasis plastik original.
Pada akhirnya, para industri di obok-obok oleh KLHK. Akibat dari produk industri yang berahir jadi sampah.
Baca Juga:Â Presiden sesalkan ratas soal sampah tanpa kemajuan berarti
Diperparah, asosiasi daur ulang dan asosiasi bank sampah sebagai komunitas yang strategis mengawal pengelolaan dan pengolahan sampah juga ikut terlena atas ulah oknum-oknum KLHK dan kementerian lainnya yang mainkan peran antagonis dalam urusan sampah.
Dalam menyelesaikan masalah sampah di Indonesia, sama sekali tidak ada amanat dalam UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) yang menyorot atau menyuruh menghentikan atau mengurangi penggunaan produk. Hanya ada mengurangi sampah, antara produk dan sampah artinya sangat berbeda.
Mengelola sampah (dalam konteks plastik atau kemasan plastik dan lainnya) sangat lengkap penjelasannya dalam Pasal 15 UUPS "Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam"
Ditambahkan lagi dalam penjelasan Pasal 15 pada UUPS lebih jauh mengatakan "Yang dimaksud dengan mengelola kemasan berupa penarikan kembali kemasan untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang"
Begitu juga KLHK, kelirulah bila mendukung salah satu produk atas nama ramah lingkungan, karena disamping tidak ada aturan tersebut dalam UUPS, juga pemerintah tidak boleh mendukung salah satu produk saja. KLHK janganlah menjadi promotor produk tertentu.Â
Paling penting dilakukan oleh berbagai pihak dalam memenuhi standar daur ulang adalah saling koordinasi. Terutama berkaitan produk kemasan yang susah di daur ulang, harus dilakukan redesign agar bisa di daur ulang. Inilah prinsip atau aplikasi reduce pada 3R.
Bukan reduce dalam makna "melarang" produk untuk hindari sampah. Penerapan sistem 3R (Reduce, Reuse dan Recycle) menjadi salah satu solusi dalam menjaga lingkungan.
Seharusnya asosiasi daur ulang harus tegas mengambil sikap dan meluruskan masalah tersebut. Atau jangan sampai KLHK tidak memahami adanya pemulung, pelapak, bank sampah dan industri daur ulang yang banyak orang bekerja dalam pengelolaan sampah. Sampai KLHK tanpa rasa dan akal menyerang terus rentetan aktifitas daur ulang yang ada didalamnya.
Namun dipastikan bahwa ada oknum-oknum KLHK yang getol menyerang plastik itu, hanya ingin mengamankan kebijakan KPB yang lebih dahulu menciptakan masalah melalui issu plastik terurai atau ramah lingkungan, dan terindikasi terjadi penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat Ditjen PSLB3-KLHK sejak tahun 2016 sampai sekarang.
Baca Juga:Â Emosi Jokowi Meluap saat Bahas Sampah di Rapat Terbatas
Belum selesai polemik Kantong Plastik Berbayar (KPB), muncul perang plastik oxo menghantam plastik konvensional (basis plastik daur ulang) dengan berbagai cara.
Plastik Oxo menghantam plastik konvensional karena menganggap produknya ramah lingkungan. Hanya itu alasannya, padahal tidak ada plastik yang ramah lingkungan, semua meninggalkan jejak mikroplastik, termasuk plastik Oxo.Â
Setelah plastik oxo yang juga didukung lintas menteri keteteran memainkan perannya selama bertahun-tahun bersama para entertainernya atau juru kampanye dari berbagai pihak.
Sekarang KLHK dan lintas menteri mendorong lagi produk kemasan yang berbahan kertas, konon katanya 100 % berbahan baku kertas tanpa unsur plastik dalam produksinya. Semua berbahan baku organik kayu.
Tapi produk ini juga tidak ramah lingkungan, karena harus babat hutan dulu. Disamping harga produknya mahal dan pasti konsumen alias rakyat yang dibebankan. Hanya dengan alasan mudah terurai, sudah dijadikan alasan solusi sampah. Padahal bukan demikian cara pandang dalam solusi sampah.
Baca Juga:Â Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR
Paling mengherankan dan menghawatirkan sikap KLHK yang selalu memacu dan mendorong pengurangan dan/atau pelarangan penggunaan produk plastik di masyarakat dalam mengantisipasi sampah.
Pada berita di agrofarm.co.id "Produsen Dipacu Kurangi Sampah Plastik" sepertinya Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik (USO) kurang memahami strategi mengatasi sampah, tanpa harus mematikan atau menyingkirkan produk lainnya.
KLHK dan kementerian serta institusi lainnya tidak boleh berpihak pada produk kelompok usaha tertentu demi menyingkirkan produk plastik dalam mengurai masalah sampah.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga jangan diam para industri daur ulang diserang mati-matian oleh sesama industri. Harusnya Kemenperin memanggil para pengelola industri untuk duduk bersama. Kalau terjadi perang produk seperti itu, semuanya akan rugi.
Jangan mau diobok-obok oleh KLHK hanya karena tidak memahami tata cara kelola sampah, atau diduga ada kepentingan lain dibalik ambisiusnya KLHK menyuarakan "ramah lingkungan" alias "mudah terurai", semuanya ini tidak benar adanya.
Menang jadi arang kalah jadi abu, pepatah itu yang bisa diberikan pada lintas menteri, industri dan asosiasi serta seluruh pengikut setianya. Bila kekeliruan dan kebodohan ini tidak dihentikan. Mungkin aparat penegak hukum yang harus menghentikannya.
Penulis tidak habis pikir, cara apa lagi yang bisa diberikan kepada pemangku kepentingan (stakeholder) sampah, sehingga bisa sadar dan kembali pada jalan yang benar. Sangat jelas dan runtun pedoman kelola sampah dalam regulasi.
Baca Juga:Â Produsen Dipacu Kurangi Sampah Plastik
Dunia persampahan Indonesia semakin memberi tanda ketidakpastian. Pemerintah dan Pemerintah Daerah (pemda) semakin menunjukkan kekakuan sikap dalam mengurai permasalahan sampah, tata kelola sampah - waste management - Indonesia.Â
Karena KLHK yang tidak menunjukkan keseriusannya dalam mengerjakan kewajibannya sebagai regulator yang baik. Kelihatan menyembunyikan masalah.
Pemerintah dan pemda masih berdasar pada suka tidak suka dalam menerima saran dan pendapat dari masyarakat.Â
Apalagi yang namanya kritis atau koreksi, sama sekali diabaikan. Makanya sampai sekarang masih stag dalam membangun sistem tata kelola sampah.Â
Kalau KLHK menganggap plastik bermasalah, kenapa Presiden Jokowi meresmikan pabrik baru polyethylene (PE) milik PT. Chandra Asri Petrochemical Tbk (Chandra Asri) di Cilegon (6/12/2019).Â
Menambah kapasitas pabrik baru PE sebesar 400 ribu ton per tahun menjadikan total kapasitas sebesar 736 ribu ton per tahun. Bukankah bertambahnya produksi bahan baku ini ikut menambah pula sampah?
Produsen sampah sebenarnya adalah para industri bahan baku dan industri yang memproduksi produk berkemasan (apa saja bahan dasarnya) baik original dan maupun ex sampah.
Melarang penggunaan plastik jelas salah, namun sampah dari sisa produknya yang harus dikelola dengan melibatkan produsen bahan baku dan industri produk berbahan baku original dan daur ulang serta industri produk berkemasan.Â
Baca Juga:Â Jokowi Resmikan Pabrik Baru Chandra Asri Rp 5 T di Cilegon
Saran Solusi Komprehensif
Dalam opini sebelumnya, penulis memberi saran agar Presiden Jokowi duduk bersama dengan lintas menteri dan lembaga swadaya yang kompeten dalam bidang "tata kelola sampah" untuk bahas UUPS khususnya Pasal 13, 14, 15,21,44 dan 45.
Agar semua pihak bisa berbenah atas kegagalan pengelolaan sampah oleh kementerian terkait, khususnya KLHK dan Kementerian PUPR, sekaligus menciptakan Sistem Tata Kelola Sampah Indonesia yang benar sesuai UUPS.
Sudahilah aksi "pembodohan publik" terurai atau wacana tidak terurai (issu murahan tentang ramah lingkungan) dalam urusan sampah. Karena tidak ada substansi tersebut dalam urusan mengelola sampah dalam UUPS. Perdebatan ramah lingkungan itu hanya jalan menuju "pembohongan publik" yang luar biasa, untuk melindungi produk tertentu saja.
Surabaya, 25 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H