Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

22 April 2020   06:31 Diperbarui: 12 September 2020   01:34 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Program CSR dan EPR memerlukan konsistensi dan komitmen antar pihak secara jujur dan terbuka untuk mendukung keberlanjutan usaha industri dan lingkungan secara sinergis dalam pengelolaan dan pengolahan sampah Indonesia" Asrul Hoesein, Founder Green Indonesia Foundation Jakarta.

Sebenarnya negara pertama memulai program Extended Producer Responsibility (EPR) adalah Swedia. Konsep program dimana perusahaan produk berkemasan berkewajiban mengelola ex produknya atau sisa produk yang berahir dengan sampah.

Dalam laman Wikipedia menyebut bahwa konsep ini pertama kali diperkenalkan secara resmi di Swedia oleh Thomas Lindhqvist dalam sebuah laporan tahun 1990 kepada pemerintah Swedia.

Program EPR akan membuat produsen produk bertanggung jawab untuk seluruh siklus hidup produk dan terutama untuk pengambilan kembali, daur ulang, dan/atau pembuangan akhir dengan kerja sama pihak terkait. 

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia.

Korelasi antara Sampah, CSR dan EPR

Perkembangan isu lingkungan global, perlu dibarengi konsep dan aplikasi terhadap fungsi tanggung jawab sosialnya atau Corporate Social Responsibility  (CSR) sangat terkait dan saling berpengaruh, termasuk di Indonesia.

CSR tidak semata menjadi kewajiban sosial perusahaan, namun juga dikaitkan sebagai konsep pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development) baik pada produksi, maupun terhadap pemasaran usaha dan lingkungan. CSR yang dipakai atau disalurkan secara baik, akan bernilai investasi. 

Namun sayangnya sebagian besar korporasi di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip CSR yang sesungguhnya. Masih banyak perusahaan CSR keliru dalam mendukung pengelola sampah dan/atau bank sampah. Maka keduanya (pemberi dan pemanfaat CSR) tidak mendapat manfaat secara berkelanjutan. 

Mantan Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan kepedulian industri di Indonesia terhadap fungsi CSR parah karena masih kurang dari 50% yang menerapkan program CSR terutama di bidang lingkungan dan persampahan.

Baca juga: Menjadi Pembeda dalam Membangun Tata Kelola Sampah Indonesia

Perlu diketahui bahwa kewajiban perusahaan produsen dalam konsep EPR berbeda dengan CSR. Dana CSR bersumber dari keuntungan perusahaan tiap tahunnya. Sementara EPR lebih luas lagi, artinya CSR yang diperluas. 

Karena perhitungan tanggung jawab EPR berdasarkan dan/atau dari jumlah produk yang berpotensi menjadi sampah. 

Jadi harus dibedakan, keduanya merupakan tanggungjawab yang berbeda dan harus terpisah. Jangan tumpang tindih mengaplikasi antara CSR dan EPR. Bila tidak hati-hati, akan banyak bermasalah dikemudian hari. 

Berpotensi menjadi bancakan korupsi, sebagaima pelaksanaan CSR saat ini, sangat bermasalah. Sesuai pemantauan GiF, banyak perusahaan mempermainkan dan CSRnya sendiri yang mungkin tidak diketahui pemilik perusahaan. 

Permainannya cukup rapi bersama oknum pemerintah dan pemda. Menciptakan program populis pencitraan dengan menggunakan dana CSR. Sering penulis sebut bahwa permainan kotor CSR dimulai dari perusahaan dan menular ke oknum pemerintah dan pemda.

Baca Juga: Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia

Bagaimana EPR di Indonesia?

Landasan menjalankan EPR di Indonesia adalah UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) pada Pasal 15 "Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam"

Penjelasan Pasal 15 pada UUPS lebih jauh mengatakan "Yang dimaksud dengan mengelola kemasan berupa penarikan kembali kemasan untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang"

Untuk memudahkan pelaksanaan EPR, perlu didahului persiapan dengan melaksanakan Pasal 14 "Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya"

Baca Juga: Mengenal Extended Producer Responsibility

Ilustrasi: Penulis di Pesisir Pantai Tanjung Bira, Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan (3/2020). Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Ilustrasi: Penulis di Pesisir Pantai Tanjung Bira, Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan (3/2020). Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Apa Saja Mekanisme EPR

EPR secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk dari pada fasilitas produksi.

EPR didasarkan pada premis bahwa tanggung jawab utama untuk limbah yang dihasilkan selama proses produksi. Termasuk ekstraksi bahan baku dan setelah produk akan dibuang, merupakan tanggung jawab produsen produk.

Tata cara perhitungan tarif retribusi kemasan berdasarkan jenis, karakteristik dan volume sampah. Juga cara mengumpulkan dan menyerahkan kembali sampah seharusnya ditetapkan dalam bentuk peraturan menteri, sebagaimana amanat UUPS.

Kesiapan Suprastruktur dan Infrastruktur

Diperlukan segera aplikasi Pasal 13, 21, 44 dan 45 UUPS untuk menopang Pasal 14 dan Pasal 15 UUPS. Pasal-pasal tersebut harus dilaksanakan secara bersamaan, karena saling terkait.

Proses aplikasi UUPS, juga telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Serta regulasi-regulasi turunannya.

Baca Juga: "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi

Instrumen kebijakan yang dapat diprakarsai oleh pemerintah (lintas kementerian) atau pihak asosiasi terkait untuk mendorong tanggung jawab produsen terhadap pengelolaan sampah adalah:

Instrumen Peraturan: wajib mengambil kembali, minimum standar produk daur ulang; tingkat pemanfaatan bahan kebutuhan sekunder; pemulihan harga atau waktu; standar efisiensi energi; larangan pembuangan dan pembatasan; larangan dan pembatasan bahan; dan larangan terhadap produk.

Instrumen Ekonomi: biaya pembuangan harus dibayar dimuka; retribusi terhadap bahan dasar; menghapus subsidi bahan dasar; deposito atau sistem pengembalian dana, dan prosedur pengadaan produk yang ramah lingkungan berbasis daur ulang. 

Instrumen Informatif: segel atas persetujuan jenis pelabelan lingkungan (Environmental Choice); pelabelan informasi lingkungan (efisiensi energi, konten Chloro Flouro Carbon - CFC, konten daur ulang); peringatan bahaya produk ; pelabelan ketahanan produk.

Sangat jelas bahwa bila Pasal 14 dan 15 UUPS tersebut terlaksana, maka masalah sampah dan lebih khusus "sampah plastik" dapat diselesaikan dengan sebuah sistem tata kelola sampah terintegrasi dan terukur, artinya akan mengarah pada kebenaran solusi sampah secara bertanggung jawab.

Baca Juga: Koperasi PKPS Lokomotif Bisnis Bank Sampah di Tengah Pandemi Covid-19

Tanggung jawab pada limbah yang dihasilkan selama proses produksi bisa dijaga dengan cara yang tepat. Dari segi lingkungan, terutama harus dilakukan oleh pabrik atau industri. 

Sebelum pembuatan suatu produk, harus diketahui terlebih dahulu bahwa limbah yang merupakan hasil dari proses produksi harus ditangani. Begitupun, harus diketahui bagaimana produk ketika dibuang.

Harus ada keterangan kesanggupan perusahaan produsen berkemasan untuk menarik kembali kemasannya. Proses pelaksanaannya dengan melibatkan asosiasi dan PKPS dan bank sampah sebagai wakil pemerintah terdepan.

Perjanjian secara sukarela yang didukung oleh peraturan, perjanjian pemimpin industri ini digunakan untuk menghapuskan bahan yang tidak diinginkan, mendorong desain atau redesign untuk dapat di daur ulang atau memastikan penggunaan kembali atau daur ulang yang sangat tinggi.

Surabaya, 21 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun