"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 72)
Memasuki masa dua belas tahun sejak Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) diundangkan oleh pemerintah dan selanjutnya diterbitkan berbagai macam regulasi turunannya yang juga bersumber dari lintas kementerian dan lembaga.Â
Patut disyukuri bahwa regulasi tersebut cukup ideal dalam membangun tata kelola sampah. Namun pemerintah dan pemda masih status quo. Â Kenyataannya belum ada progres yang terbangun berupa sebuah sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan di seluruh Indonesia yang bisa dipedomani dan ditaati oleh masyarakat.
Penulis tidak akan menjelaskan secara detail regulasi apa saja yang sudah melengkapi UUPS sebagai regulasi induk persampahan. Sudah ratusan judul tulisan yang ada di lapak kecil penulis di kompasiana ini. Baik berupa fakta maupun opini yang bersifat kritik dan solusi sudah tersampaikan kepada pemerintah dan masyarakat dengan berbagai cara dan momentum yang tepat sesuai ruang dan waktunya.
Sudah banyak penjelasan yang penulis sampaikan tentang masalah dan Solusi sampah. Baik melalui online maupun offline atau media cetak dan elektronik. Termasuk telah menerbitkan buku "Bank Sampah, Masalah dan Solusi" yang dilaunching oleh Rektor Universitas Hasanuddin Makassar. Insya Allah kedepan beberapa buku yang akan diterbitkan. Masih dalam editing di dapur penerbit dan pecetakan.
Penulis yang juga selaku penggiat dan pemerhati regulasi sampah selalu berusaha konsisten berada dijalur yang kritis dan solutif dan semaksimalnya dapat memberi gaya pemaparan presentase atau penjelasan yang juga bervariasi berdasar potensi daya tangkap atau klasifikasi pendidikan termasuk pada posisi jabatan agar tidak bias dan tidak terpengaruh secara subyektif.Â
Mulai dari masyarakat, mahasiswa, LSM atau NGO, sekolah dasar sampai perguruan tinggi, penjabat desa atau lurah, camat, bupati, walikota dan gubernur sampai kepada pejabat setingkat menteri dan juga pada RI-1 dan RI-2. Semua sudah penulis berikan porsi informasi atas kondisi tata kelola sampah Indonesia beserta solusinya.
Apa yang terjadi selanjutnya ?
Setidaknya penulis dapat berkesimpulan bahwa bukan perilaku atau paradigma atau mindset (pola pikir) masyarakat yang bermasalah atau yang perlu diluruskan. Tapi justru pola pikir dan perilaku birokrasi penguasa atau pembelajar yang menjadi mitra penguasa tersebut yang perlu direstorasi dalam menyikapi masalah sampah.
Hampir semua birokrasi leading sector sampah terjangkit penyakit hedonisme yang minus integritas. Sikap amanah sebagai khlalifah dimuka bumi atau pelayan serta panutan masyarakat sudah hilang ditelan sampah. Urat malu mereka sepertinya sudah putus dan hancur lebur atas pengaruh duniawi. Sebagaimana istilahnya mereka bisa disebut sudah bermuka tembok demi meraih ambisius demi pemenuhan syahwat kuasa dan materi.
Memang sangat lucu sekaligus sangatlah aneh, menjengkelkan dan mengharu biru dalam urusan sampah bila dikaitkan dengan tugas dan tanggungjawab. Karena mereka hanya bersandiwara saja dalam menghadapi situasi Indonesia darurat sampah. Berpura-pura tidak mau tahu apa seh perintah dan amanat UUPS. Sangat nampak diwajah mereka atas "kebohongan" yang dibuat-buat secara kolaboratif, massif dan terstruktur.
Para pengambil keputusan baik di pusat maupun daerah, hanya bermaksud mengabulkan keinginan subyektifnya. Bukan benar-benar ingin menemukan solusi untuk mengentaskan atau profesional menangani problem sampah yang mendera bangsa. Hanya wacana dan pencitraan semata. Tidak tanggung-tanggung menghabiskan dana rakyat atas gerakan instan yang dibuatnya atas nama penyelamatan lingkungan.Â
Hebat menyakinkan publik namun mengandung kebohongan. Pada senyatanya mereka merasakan pula kebohongannya dengan fakta seakan menyandera dirinya sendiri. Mereka pada membisu dan bungkam tidak bisa berkata-kata lagi dan lagi dengan obyektif didepan publik. Kecuali mampu berceloteh pada kelompoknya sendiri secara semu atau subyektif.
Kenapa lucu dan aneh ?
Yaa.... anehlah, karena pemerintah dan pemda kelihatan muka serius bekerja. Menghimbau dan/atau "katanya" mengedukasi masyarakat. Kelihatan bersusah payah memberi solusi dengan merumuskan dan menerbitkan kebijakan disegala tingkatan pemerintahan agar masyarakat terhipnotis lalu bisa taat pada aturan persampahan. Tapi semua itu omong kosong karena memang tidak punya niat menjalankan amanat regulasi, terlebih amanah dari Tuhan Ymk.
Semua kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemda, sebenarnya hanya kamuflase atau abal-abal saja dan sesungguhnya terbaca sangat bertentangan dengan keinginannya sendiri yang justru oleh mereka atau pembuat regulasi tersebut tidak menghendaki solusi yang dibuatnya. Termasuk solusi yang diberikan oleh masyarakat. Sebagus apapun itu solusi pasti ditolak, karena memang tidak menginginkan perbaikan.
Birokrasi penguasa sesungguhnya tetap menginginkan status quo (paradigma lama) tanpa ingin mengindahkan UUPS yaitu tetap menginginkan sampah diangkut dan dibuang cara open landfill ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA). Karena dengan proses konvensional itu, mereka dapat mengukuhkan strategi dan rencana kotornya dalam mengatasi sampah secara subyektif.
Maka itulah sebabnya semua kebijakan yang terbit sesudah tahun 2015 sampai sekarang mati suri dan lumpuh, tanpa ada perubahan mendasar dalam tata kelola sampah Indonesia. Terlebih setelah resistensi besar terjadi atas dugaan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh Dirjen PSLB3-KLHK terhadap kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) yang berlaku atau program memetik uang rakyat sejak tahun 2016 sampai sekarang atas nama penyelamatan lingkungan. Sebuah perlakuan mistakes atau hina dina yang mereka tidak sadari.
Dana KPB-KPTG sampai sekarang belum diaudit dan dipertanggungjawabkan oleh Ditjen PSLB3-KLHK sebagai leading sector kebijakan bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO). Diduga dana ini telah mengalir kepada oknum-oknum tertentu dalam bentuk gratifikasi. Jumlah dana tersebut diprediksi sudah triliunan rupiah.
Misteri kebijakan KPB-KPTG inilah menjadi sebab akibat atau motivasi lahirnya issu plastik ramah lingkungan yang bergentayangan sampai sekarang. Walau semua komponen tidak percaya atas kritis atau protes penulis bahwa KPB-KPTG inilah penumpang aseli issu plastik. Fakta bahwa oknum KLHK sangat stres bila mendapat koreksi terhadap masalah ini.Â
Oh, siapa penumpang gelap KPB-KPTG ?Â
Banyak sudah menjadi penumpang gelap dan memanfaatkan indikasi kasus KPB-KPTG ini sejak tahun 2016. Seperti plastik jenis oxium yang mengklaim dirinya ramah lingkungan. Padahal tidak ada jenis plastik apapun yang ramah lingkungan dan mampu terurai tanpa mikroplastik. Semua jenis plastik mengandung atau menyisakan mikroplastik.Â
Penumpang gelap lainnya misalnys proyek imposible aspal mix plastik, program gerakan insidentil atas olah sampah oleh berbagai pihak. Termasuk pemda ikut meramaikan sekaligus memanfaatkan issu plastik ini agar borok pengelolaan sampah di daerah tidak tercium oleh aparat penegak hukum. Setidaknya tetap melanggengkan pengelolaan sampah di TPA.Â
Termasuk ada asosiasi besar di Indonesia  yang ingin ikut berenang dalam lumpur maksiat atau ingin turut ramai memanfaatkan carut-marut KPB-KPTG dengan mengorbangkan lingkungannya sendiri. Parah benar  issu plastik ini sehingga terjadi politik belah bambu.Â
Akibat semua itu, terjadilah kehampaan solusi yang justru kebijakannya tidak bersolusi, malah akan lebih merusak wajah tata kelola sampah atau waste manajemen Indonesia. Karena semua pihak seakan terstruktur rapi membohongi masyarakat, karena hampir semua komponen bersatu dalam kegelapan pada ketidakpatuhan terhadap regulasi UUPS.
Pemda kabupaten dan kota pasti senang-senang saja dalam kondisi ini karena pihak  PSLB3-KLHK memang mendorong sebuah solusi semu terhadap larangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP) atau kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik.Â
KLHK nampak justru terbaca atau seakan "sengaja" tidak memahami masalah atau mungkin lebih tepat dikatakan hanya ingin memutar-balik fakta kebenaran agar misteri KPB-KPTG tidak terungkap. Tapi justru sesungguhnya masalah ini yakin tidak akan bisa lolos untuk dibiarkan tanpa melalui sebuah pertanggungjawaban kepada rakyat dan hukum yang berlaku.
Kenapa demikan ?
Karena kalau UUPS atau kebijakan yang dikeluarkan itu dijalankan dengan baik dan benar untuk pengelolaan sampah di sumber timbulan sampah, maka secara otomatis sampah akan di kelola oleh masyarakat sekitar 80% Dan sisanya sekitar 20% berupa residu ke TPA landfill.
Artinya dana-dana pengelolaan dan pengolahan sampah baik berasal dari APBN/D, CSR maupun dana hibah lainnya itu sebagian besar jatuhnya pada masyarakat. Tidak ada lagi potensi bermain untuk menjadikan dana sampah yang banyak sumbernya tersebut sebagai bancakan korupsi para penguasa dan pengusaha mitra yang mendukungnya.
Termasuk bila sampah dikelola pada sumber timbulannya tersebut, maka sampah jelas berkurang ke TPA, paling banyak sekitar 20% residu sampah yang tidak bisa dikelola oleh masyarakat di sumbernya. Selanjutnya menjadi kewajiban pemerintah dan pemda untuk mengelolanya di TPA Control Landfill untuk daerah kecil-sedang atau Sanitary Landfill untuk kota besar-metropolitan.
Sementara banyak sumber pembiayaan sampah mulai dari pengumpulan, pengangkutan sampai pengelolaan di TPA atau pada Pusat Daur Ulang (PDU) yang bergerak dibangun oleh pemerintah yang seakan sengaja dibuat kabur agar mudah dipermainkan alias menjadi bancakan korupsi oknum pejabat birokrasi pusat dan daerah.
Seperti yang sangat rawan adalah "dana kompensasi warga terdampak TPA" sampai sekarang dana-dana ini belum banyak menyentuh warga terdampak TPA, seperti biaya hidup, asuransi kesehatan atau kematian, biaya perbaikan lingkungan, air minum, perbaikan rumah atau biaya pindah rumah dari area TPA ke zona diluar TPA.
Semuanya hal itu menjadi makanan empuk oknum pemerintah bila UUPS tidak dijalankan sesuai amanatnya. UUPS tersebut sangatlah bagus, justru sesungguhnya tidak perlu direvisi. Walau ada inisiatif Senator DPD-RI untuk melakukan perbaikan. Dimana penulis juga telah diundang menjadi narasumber pada RDPU di Komite II DPD-RI di Senayan Jakarta (22/1)
Berarti itu alasan utama birokrasi menghindari UUPS ?
Ya benar, itu menjadi alasan utama birokrasi dan mitra sepermainannya agar jangan sampai UUPS dijalankan dengan jujur dan berkeadilan. Karena "permainan dana sampah" bisa dikatakan sudah tamat alias the end bila UUPS berjalan. Kantong penguasa dan pengusaha korup bisa kering dari dana sampah yang sangat banyak itu.
Memang sampah itu berbau menyengat, tapi duitnya lebih menyengat lagi dan sangat banyak peminatnya. Sampai susah menemukan orang-orang yang konsisten, jujur dan berani bicara apa adanya dalam urusan sampah. Semua mudah terpengaruh atau dipengaruhi bujuk rayu setan. Urusan sampah ini sangat mudah menarik manusia menjadi sampah. Aneh Tapi nyata.
Jadi kesimpulannya apa ?
Sikap oknum pemerintah pusat dan pemda dalam urusan sampah adalah seperti banci...... AC-DC. Itulah fakta yang terjadi. Secara dejure kelihatan mengikuti regulasi tapi secara depacto justru menolak solusi berbasis regulasi.
Maka orang-orang benar dalam dunia persampahan tidak memiliki ruang. Kalau hendak masuk dalam lingkaran oknum pemerintah dan pemda yang bersifat atau berkarakter pecundang, maka harus menjadi sampah manusia terlebih dahulu dan harus mampu mengikuti tradisi oknum yang menghalalkan segala cara.
Lalu birokrasi punya solusi apa ?
Solusi yang diinginkan pemerintah dan pemda tersebut yaitu solusi yang tidak bersolusi. Wow keren kan !!! Artinya cukup dukung saja oknum tersebut dalam "pembenaran" yang telah dan/atau akan dibuatnya sesuai ego sentris mereka yang ingin menyembunyikan sebuah masalah besar dalam bisnis plastic dan kertas.
Sementara keahlian atau kebenaran solusi dari masyarakat tidak dibutuhkan. Oknum-oknum tersebut lebih cerdas.....eh salah, oknum itu lebih picik dan licik dalam urusan sampah. Jadi mereka hanya butuh barisan orang-orang terpelajar tapi punya sifat pecundang.
Bagaimana Peran Asosiasi ?
Yaa.... perlakuan asosiasi sama saja oknum pemerintah yang bersifat AC-DC, umumnya komunitas mereka hanya menjadi lembaga pembenar. Hampir semua asosiasi atau lembaga berkaki dua alias sangat takut bicara apa adanya. Dalam wacana memang semua menyebut dirinya peduli lingkungan, peduli rakyat. Tapi senyatanya tetap mendahulukan kepentingan kelompok atau usaha pribadi masing-masing.
Hampir tidak ada yang berani mengoreksi secara terbuka atau inklusif kepada oknum pemerintah dan pemda. Mungkin takut dikatakan tidak sopan bila mengoreksi penguasa. Ahirnya saling memanfaatkan pada kondisi terburuk dan terpuruk tersebut.Â
Artinya Elo silakan teriak, kami di asosiasi atau di komunitas biar diam-diam saja makan didalam, menunggu perjuangan Elo ya. Asosiasi butuh bantuan Elo, tapi takut dicap sebagai pendukung Elo. Jadi kami menunggu bola muntah atas perjuangan Elo.
Apakah asosiasi terlalu banyak ?
Yaa.. Hal itu pula kelihatan menjadi tumpang tindih, pemerintah tidak bisa membedakan antara asosiasi, ikatan, federasi, himpunan atau komunitas lainnya dalam keberadaan mereka untuk meminta saran atas pengambilan kebijakan.Â
Semua komunitas atau lembaga dianggap sama saja eksistensinya. Ahirnya tidak ada lembaga atau asosiasi dipersampahan ini yang bisa menjadi filter rakyat, pemerintah dan pemda serta pengusaha sendiri dalam aktifitasnya.Â
Seperti diduga bahwa pengelola asosiasi tidak memahami eksistensi dari asosiasi itu sendiri. Mereka sepertinya tidak paham berorganisasi atau berasosiasi. Maka keberadaan asosiasi tidak dirasakan olehnya, baik pengurus atau anggota asosiasi sendiri dan terlebih kepada pemerintah sebagai regulator dan masyarakat yang menjadi konsumennya. Semua lepas tanpa ikatan yang kuat. Maka jangan heran bila mafia bergentayangan di persampahan.
Hampir seperti jeruk makan jeruk saja. Asosiasi sudah tidak berfungsi sebagai dinamisator dan katalisator dalam keberadaannya sebagai mitra sejajar pemerintah dan sekaligus sebagai pengayom anggota dan masyarakat konsumennya secara umum.
Bagaimana Idealnya Pengelolaan SampahÂ
Yaa... Â Pemerintah dan pemda absolut harus jalankan regulasi sampah dengan baik, khususnya Pasal 13,21,44 dan 45 UUPS. Semua elemen pengelola sampah hulu-hilir agar mendesak Presiden Jokowi dan Wapres KH. Ma'ruf Amin untuk memerintahkan 16 kementerian dan lembaga yang ada dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah. Perpres ini juga lumpuh karena Kementerian Pertanian tidak dimasukkan.Â
Pemerintah dan pemda mutlak menjadi penanggungjawab utama dalam urusan sampah. Pemerintah dan pemda sebagai regulator dan fasilitator, sementara masyarakat atau pengusaha sebagai pengelola atau eksekutor yang tentu harus bermitra dengan pemerintah. Pemerintah dan pemda tidak boleh melepas seratus persen urusan sampah kepada swasta ataupun masyarakat.
Pemerintah dan pemda dalam urusan sampah tidak boleh mengedepankan keuntungan atas hasil pengelolaan sampah. Tapi harus mengedepankan kewajibannya sebagai penanggungjawab atau regulator yang harus senantiasa menjaga agar lingkungan itu bersih dan sehat.
Hanya yang perlu dipertimbangkan pemerintah dan pemda dalam tata kelola sampah adalah dahulukan pula azas manfaat dari setiap kegiatan yang dilaksanakannya termasuk harus mempertimbangkan azas kemanfaatan dari prasarana dan sarana serta teknologi yang tidak boleh diluar norma regulasi atau perundangan yang berlaku.
#GiF (24/2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H