Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sampah Kantong Plastik Mewarnai Tahun Politik

23 Desember 2018   13:17 Diperbarui: 24 Desember 2018   14:48 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sampah Kantong Plastik Konvensional Bernilai Ekonomi. Sumber: Pribadi

Jogja (23/12) Judul dan substansi artikel ini terinspirasi dari komentar Sahabat Om Willy Tandiyo Pembina Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) pada WAG Manajemen Plastik yaitu "Kantong Plastik Ramah Lingkungan lebih kearah compostable bags. Sedang satunya lagi saya sebut kantong Plastik Ramah Tamah, sering membonceng istilah "Ramah Lingkungan" dan menyesatkan publik karena non compostable. Sama halnya dengan istilah "Circular Economy" dibiaskan dengan "Circular" saja, Economynya diabaikan. Para Pendupin khususnya harus mawas dengan hal ini untuk melindungi stream DUP agar proses Circular Economy berjalan dengan baik" demikian Willy Tandiyo. 

WAG Manajemen Plastik tersebut banyak dihuni oleh elit birokrasi lintas kementerian, lintas asosiasi, LSM/NGO, praktisi daur ulang sampah, pengelola bank sampah, akademisi dan para penggiat serta pemerhati sampah di Indonesia.

Sebelum Om Willy mengomentari hal ini, Sahabat Saut Marpaung, mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI) yang saat ini membentuk dan memimpin Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) menshare link berita dari Kompas.Com dengan judul Pemkot Bekasi Kurangi Plastik: Siapkan Aturan hingga Kantong Belanja Ramah Lingkungan (19 Desember 2018)

Meluruskan Paradigma Stakeholder

Perlu diketahui bahwa dalam mengurai atau menyelesaikan masalah sampah, janganlah "produk" atau barang itu (baca: Kantong Plastik) yang dijadikan sasaran utama pembahasan solusi. 

Karena akan repot sendiri ahirnya dan pasti menjadi lingkaran setan. Jadi produk barang yang tersisa (Baca: Sampah) yang menjadi pokok pikiran dan bahasan untuk menemukenali masalah dan solusinya.

Termasuk pelaku industri, pedagang ritel toko modern dan terlebih masyarakat pengguna produk berbahan plastik utamanya kantong plastik, botol plastik dan sedotan plastik perlu waspada dengan tidak menelan bulat-bulat kebijakan yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah dan pemda yang dengan gencar mengkampanyekan untuk dikurangi sampai kepada kebijakan pelarangan penggunaannya.

Bahkan tidak segan-segan dan jelas tanpa pikir panjang, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengeluarkan peraturan gubernur untuk memberlakukan denda puluhan juta rupiah kepada pemakai dan produsen kantong plastik. Kebijakan ini sangat bombastis. 

Seharusnya Jakarta sebagai ibukota negara (panutan) perlu matangkan pikiran yang berbasis perundang-undangan yang komprehensif sebelum mengambil kebijakan. 

Karena sangat jelas kebijakan pemerintah dan pemda ini melarang plastik konvensional dan mengarahkan plastik ramah lingkungan itu keliru besar dan diduga berpihak pada produk perusahaan tertentu. 

Bisa merepotkan pemerintah dan pemda serta toko ritel dalam memenuhi kewajibannya dalam proses transaksi jual-beli untuk menyerahkan barang dagangannya kepada pembeli secara sempurna dengan membungkusnya pakai kantong, hal ini telah diatur dalam Pasal 612 KUH Perdata.

Ramah Tamah Bukan Ramah Lingkungan.

Dalam komentar Om Willy, disebut atau menyorot dua bagian kantong plastik. Yaitu Kantong atau kemasan dari BioPlastik Biodegradable yang terbuat dari sumber biomassa seperti minyak nabati, amilum jagung, singkong, klobot jagung, amilum ercis atau mikrobiota. 

Serta Kantong atau kemasan lainnya yang disebut "ramah tamah" adalah Oxodegradable (oxidatively degradable), dimana suatu bahan plastik bisa terdegradasi akibat kontak dengan cahaya, panas dan udara. Teknologi ini pada prinsipnya adalah melakukan penambahan zat aditif atau dengan kata lain ada tambahan zat tertentu yang akan menyebabkan proses penguraian menjadi lebih cepat dibandingkan dengan plastik biasa. 

Beberapa produk oxo yang beredar di Indonesia adalah : EPI, Clariant, Oxium, P-life, dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa fungsi dari teknologi ini hanyalah sebatas memecahkan dan menghancurkan bentuk plastik, bukan menguraikan secara penuh dan tetap mengandung mikroplastik. Para ahli menyebutnya bahwa jenis oxo ini sangat berbahaya masuk ke laut karena bisa tenggelam dan tetap mengandung unsur mikroplastik.

Circular Economy Tanpa Lupa Economy.

Penulis sependapat dengan Pembina Adupi tersebut, bahwa kedua produk berjenis "Biodegradable dan Oxodegradable" itu bukanlah ramah lingkungan tapi lebih merupakan hanya ramah tamah saja. 

Karena solusi berkedok ramah lingkungan ini tanpa memikirkan dari sudut pandang circular economi yang sesungguhnya, yaitu dari sudut ekonomi, sosial budaya, tenaga kerja, ketersediaan bahan baku dll. Jadi benar Om Willy bahwa solusi pemerintah saat ini hanya seputar "cyrcular atau lingkaran" tapi jauh melupakan nilai "economy" dan lainnya.

Kantong plastik jenis Biodegradable sendiri itu tidak ekonomis, karena berbahan baku yang masih bisa dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Jadi jelas harganya mahal dan sangat susah di produksi massal karena ketersediasn bahan baku yang berbenturan dengan konsumsi (pangan) langsung manusia. 

Setiap bahan baku memiliki nilai tertentu yang mesti ditentukan jenisnya, baik berdasarkan nilai ekonomis maupun ketersediaan dan kemampuannya dalam menghasilkan sebuah produk massal.

Keniscayaan Kantong Plastik Konvensional.

Sementara kantong plastik konvensional ini merupakan kebutuhan primer dalam setiap aktifitas, khususnya pada aktifitas perdagangan di pasar tradisional dan modern serta pasar lainnya. Maka untuk memenuhi secara massal kebutuhan primer atas aktivitas "jual-beli" ini dibutuhkan jenis plastik yang pada umumnya dipakai sekarang (plastik konvensional) yang berasal dari minyak bumi.

Jenis plastik konvensional ini murah dan terjangkau harganya dan pula masih bernilai ekonomis setelah jadi sampah karena akan menjadi bahan baku industri daur ulang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Bagaimana Solusi Sampah ?

Marilah berhenti beramah tamah atau bercengkrama dengan sikap "pembenaran" dan segera hijrah kepada "kebenaran". Percuma melakukan atau menciptakan skenario strategi pembenaran yang berpotensi merampok uang rakyat. Waktu tergerus lebih kurang tiga tahun hanya "ramah tamah" dalam sebuah pertemuan, seminar, FGF dll tanpa solusi kebenaran yang pasti. 

Memaksa sebuah pembenaran yang bertajuk "ramah lingkungan" padahal hanya ramah tamah diatas meja dan dibelakang layar demi bermaksud memenuhi syahwat materi yang semu itu. Ingat rakyat dan bangsa ini berbenah ke arah yang lebih baik, janganlah menambah beban yang semakin berat ditengah himpitan (daya beli melemah) terhadap ekonomi rakyat dan bangsa ini.

Ilustrasi: Penulis dan Sampah Kantong Plastik. Sumber: Pribadi
Ilustrasi: Penulis dan Sampah Kantong Plastik. Sumber: Pribadi
Kepada Pemkot Bekasi Jawa Barat dan pemkot lainnya termasuk Gubernur DKI Jakarta. Bahwa marilah berpikir komperehensif dalam menyikapi solusi sampah ini. 

Hentikanlah mencari celah untuk memaksa "monopoli" produk kantong plastik Biodegradable dan Oxodegradable, sebelum kerugian besar terjadi. Sesungguhnya semua ini tidak ramah lingkungan, kenapa:

  1. Biodegradable tidak ramah lingkungan dari sudut ekonomi (bahan baku) dan kantong plastiknya mahal serta tidak layak dipakai di pasar tradisional atau pasar basah. Tentu akan merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Inipun katanya masih mengandung mikroplastik. 
  2. Oxodegradable juga tidak ramah lingkungan karena mengandung unsur mikroplastik sebagaimana kantong plastik biasa alias konvensional. Juga terlebih plastik Oxodegradable ini tidak umum dibutuhkan oleh industri daur ulang. Malah jenis plastik Oxodegradable ini akan menjadi sampah di TPA karena pemulung tidak akan mengambilnya karena tidak laku di pelapak dan industri daur ulang. Bila Oxodegradable ini hendak dipergunakan, sebaikmya pihak produsennya dalam mengamankan sampahnya harus berkomitmen untuk menarik kembali sampah produksinya yang berahir di TPA.

Solusi Ramah Lingkungan

Kepada birokrasi, cerdik cendikia, pengusaha bahwa mari kita memberi pemahaman, pencerahan atau sosialisasi dan edukasi di masyarakat dan dunia industri dengan benar dan jujur demi tumbuh kembangnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Ramah lingkungan dalam urusan sampah itu sesungguhnya adalah model "circular economy" bukan model "linear economy". Circular Economy atau ekonomi melingkar ini titik starnya atau hulunya berada pada Pasal 13 dan Pasal 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. 

Sebagai penunjang pelaksanaan circular economy adalah laksanakan dengan baik PP. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (Penulis sudah menyurat kepada Presiden Jokowi untuk menerbitkan kembali regulasi ini setelah dicabut pada tahun 2016), Permen LH No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce , Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah, Permen PU No. 3 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan terbitkan atau revisi peraturan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) lalu arahkan penerbitan peraturan desa atau kelurahan tentang pengelolaan sampah, agar desa dan kelurahan memiliki kekuatan untuk berbuat dan bertanggungjawab. 

Tunjukkan hak desa dan masyarakat dalam tata kelola sampah atau waste management ini. Masalah sampah di Indonesia bukan soal teknologi tapi lebih kepada waste management yang tidak benar. 

Jangan hanya meminta tanggungjawab dari desa dan masyarakat tanpa memberikan haknya yang ada dalam regulasi sampah itu sendiri. Inilah hakekat dan makna komprehensif ramah lingkungan yang sehat, jujur dan berkeadilan.

Artikel Terkait:

  1. Indonesia Unik Sikapi Sampah Plastik
  2. Mendagri Harus Segera Terbitkan Pedoman Pengelolaan Sampah
  3. Presiden Jokowi Harus Stop Cukai Kantong Plastik

GIF Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun