Aku melihat Indonesia di wajah lelaki di hadapanku yang bertelanjang dada. Wajah yang menggambarkan kemiskinan, penderitaan, dan kebodohan. Keringatnya mengucur deras. Keringat yang menggambarkan kerja keras tanpa batas dengan hasil yang begitu terbatas. Bahkan, jika ia bekerja 24 jam pun, hingga keringatnya mengucur bagai aliran Sungai Bengawan Solo, itu tetap tidak bisa sebanding dengan penghasilan para wakil rakyat yang duduk nyaman di kursi mereka.
"Langganan di sini?"
"Iya, langganan siang malam, Pak. Eh, maksudnya langganan makan siang di sini. Mi ayamnya enak, murah, bisa ngutang pula."
Memang tak wajar rasanya jika warung mi ayam ini tidak menjadi langganan. letaknya strategis. Persis di depan pabrik kayu lapis tempat si lelaki di hadapanku itu bekerja. Di tepi jalan provinsi dengan hamparan sawah di belakangnya. Dulu, sekitar lima tahun lalu, pabrik kayu lapis itu juga masih berupa hamparan sawah, namun seiring berkembangnya kota, banyak sawah yang beralih fungsi menjadi pemukiman dan pabrik-pabrik. Barangkali lima sampai sepuluh tahun lagi, atau bahkan kurang dari itu, sawah di belakang warung ini juga akan beralih fungsi.
Meski murah, namun aku merasakan ada sesuatu yang ganjil dari warung mi ayam ini. Harga mi ayam di sini hanya empat ribu rupiah. Itu sudah porsi komplit. Potongan ayamnya cukup banyak, ada sawi hijau, sepotong bakso, dan dua ceker ayam. Di meja makan tersedia kecap, saus, dan sambal yang bebas diambil. Termasuk juga air putih yang gratis, bahkan bisa diisi ulang. Jika mau kerupuk, sebungkus kecil cuma lima ratus rupiah.
Dari mana si pemilik warung ini mendapatkan untung? Apalagi jika banyak yang berutang.
"Kamu tahu kenapa dinamakan Mi Ayam Burhan, Pak?" tanya lelaki di hadapanku memecah diam.
"Barangkali anak si pemilik warung namanya Burhan."
"Anaknya cewek, Pak. Namanya Mawar sama Melati. Burhan itu singkatan dari Buruh Harian, Pak. Mi ayam ini jadi langganan buruh harian macam aku ini."
Aku mengangguk saja, menghormati penjelasan dari si buruh pabrik yang tak lama setelah mi ayamnya tandas segera menarik kaki kanannya ke atas meja dan menyalakan rokoknya.
"Eh, password wifinya di sini apa ya?" tanyaku penasaran ketika kulihat ada jaringan wifi di warung ini.