Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis yang masih terus belajar agar menghasilkan tulisan yang baik dan menarik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melepas Rindu

21 Desember 2024   22:56 Diperbarui: 21 Desember 2024   22:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tinggal di sebuah kandang panggung, di belakang rumah seorang janda tua. Kandang tempat tinggalku itu begitu pengap dan bau tahi, sebab tahi hasil ekskresiku selalu saja ada yang menempel pada lantai. Padahal aku selalu berusaha supaya tahiku itu jatuh melalui celah di antara lantai yang terbuat dari potongan bambu, namun selalu saja gagal.

Aku sebagaimana ayam jantan pada umumnya, bangun setiap subuh untuk membangunkan para manusia, terutama untuk membangunkan tuanku yang tinggal seorang diri di rumahnya yang berada di depan kandangku. Suaminya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Sementara anak-anaknya pergi merantau. Dela, anak bungsunya, adalah yang paling terakhir pergi merantau. Tepatnya dua tahun yang lalu, setelah menikah dengan seorang anak pejabat di kota sebelah. Dela mengikuti jejak kedua kakak laki-lakinya yang sudah terlebih dahulu merantau. Koki, kakak tertuanya, merantau ke Jepang dan bekerja di salah satu perusahaan elektronik. Sementara Simon merantau ke ibukota dan bekerja sebagai ASN di salah satu kementerian. Mereka hanya pulang setahun sekali ketika hari Lebaran. Mungkin hanya Dela yang bisa pulang dua atau tiga bulan sekali. Namun, meski jarang pulang, ketiga anaknya tidak pernah lupa untuk mentransfer sebagian penghasilannya untuk tuanku.

Tuanku sangat perhatian dan sayang kepadaku. Setiap pukul enam pagi, dengan langkah yang begitu payah, dibantu sebuah tongkat kayu yang hampir patah, ia dengan membawa senyum di wajahnya yang keriput dan rambutnya yang memutih, selalu memberiku makan bekatul yang biasanya dicampur dengan sisa nasi dan lauk yang tidak habis. Terkadang dengan tumis kangkung, tumis bayam, tahu, tempe, dan yang menurutku paling enak adalah ayam goreng. Ya, daging saudaraku sendiri ternyata memang enak ketika digoreng. Setelah itu, aku akan dibiarkan bermain di luar kandang hingga petang.

Ketika aku bangun kesiangan dan lupa berkokok, tuanku akan bertanya-tanya tentang kesehatanku. Memastikan aku tidak sakit. Meski tidak bisa berkata-kata dengan bahasa manusia, namun aku berusaha meyakinkan tuanku dengan cara menghabiskan makanan yang ia bawa.

Kebaikan tuanku bukan hanya dengan memberiku makan dan menimang-nimangku selayaknya anaknya, namun ia juga memberiku tiga istri yang cantik. Loli, Aca, dan Putri. Aku merasa begitu beruntung memiliki tuan yang begitu baik sepertinya.

Setiap sore selepas asar, tuanku selalu memanggil-manggilku dan ketiga istriku. Memberi kami makan, lalu memasukkan kami ke dalam kandang. Bahkan ketika hujan deras pun ia tak lupa dengan kami. Dengan sebuah caping, ia memanggil-manggil kami untuk segera pulang.

Di dalam kandang, kami bersenda gurau sembari menatap senja di ufuk barat yang menyemburkan siluet jingga keemas-emasan. Jika sedang hujan, aku akan mendekap ketiga istriku dengan erat untuk memberikan kehangatan. Malamnya, kami akan beristirahat. Begitulah keseharianku.

Pada suatu malam, aku terbangun ketika Loli berkeok minta tolong sebab seekor ular piton dengan tubuh sebesar paha tuanku dan panjang sekitar empat meter sedang melilitnya. Aku bersama Aca dan Putri hanya bisa ikut berkeok di pojok kandang untuk meminta tolong kepada manusia.

Tak berapa lama, tuanku datang dengan membawa tongkat kayunya dan senter di tangannya. Begitu melihat ular piton itu, ia segera memukulinya sekuat tenaga. Namun, pukulan itu sama sekali tidak membuat ular piton itu bergeming. Ia tetap melanjutkan menelan Loli. Ketika seluruh tubuh Loli sudah masuk ke dalam perut, barulah ia merayap ke luar kandang tanpa rasa bersalah. Saat itu, aku dan kedua istriku merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Tapi tuanku terlihat lebih sedih lagi. Aku belum pernah melihat wajahnya tertekuk sedemikian lesu.

Duka sebab kematian Loli tak kunjung berangsur. Setiap hari setelah kematian Loli, tuanku selalu memasang muka murung. Tubuhnya semakin lama semakin kurus. Hingga pada suatu pagi, ia menceritakan apa yang sedang ia rasakan. "Aku kesepian. Aku merasa begitu kesepian. Setelah kematian Loli tempo hari, aku menjadi teringat dengan suamiku yang telah mati. Dan aku ingat anak-anakku. Mereka semua masih hidup, tapi hanya sekali dalam setahun saja aku bisa berkumpul bersama mereka, yaitu waktu hari Lebaran. Aku rindu bisa makan bersama dengan mereka di ruang makan. Sungguh, aku begitu rindu. Tapi Lebaran masih lama," ujarnya dengan wajahnya yang tampak begitu pasrah dan berlinang air mata.

Meski perasaanku tak sepeka manusia, namun aku tetap dapat merasakan kerinduan tuanku yang dipendam seorang diri. Kerinduan yang tidak bisa ia bagikan kepada siapa pun kecuali kepadaku.

Keesokan hari, tuanku datang dengan membawa segaris senyum di wajahnya. Aku agak heran, tapi juga senang. "Aku sudah punya cara. Ya, aku sudah punya cara supaya anak-anakku pulang. Jika aku menelepon mereka dan menyuruhnya pulang sebab aku rindu, mereka tak mungkin pulang. Mereka tidak seperti kamu yang selalu menurut pulang ketika kupanggil. Paling hanya sesekali saja kamu tak menurut sebab sedang mengejar betina lain."

Tanpa aku bertanya, tuanku kembali melanjutkan ceritanya. "Aku akan menyuruh salah satu tetangga untuk menelepon anak-anakku. Aku akan meminta tetanggaku untuk menyampaikan berita bahwa aku telah mati. Mereka tak mungkin tak pulang. Benar kan? Ide yang bagus bukan?"

Jujur, aku begitu kaget mendengar rencana tuanku. Itu rencana yang logis, namun menurutku kurang etis. Tapi apa boleh buat. Aku tak bisa melarang tuanku.

Sore harinya setelah mendapatkan kabar dari tetangga, Dela pulang bersama suaminya. Ia begitu kaget sebab tidak ada bendera kematian, tidak ada tenda di depan rumah, pun tidak ada tetangga yang berkerumun di depan rumah. Ia semakin terkejut ketika melihat ibunya berdiri di depan pintu rumah. Tersenyum dan segera memeluk anak bungsunya itu. Dela hendak berteriak, namun tak jadi sebab ia merasakan betul hangatnya pelukan seorang ibu. Sore itu, Dela pun tahu jika ibunya memang sengaja berbohong supaya ia dapat segera pulang.

Sore itu, tuanku lupa memberiku makan. Aku memakluminya. Aku mengajak kedua istriku untuk pulang sendiri sebelum azan magrib berkumandang.

Pukul enam pagi, seperti biasa, tuanku mendatangiku dengan membawa campuran bekatul dan sisa ayam goreng di sebuah wadah. Aku begitu senang sebab wajah tuanku semakin ceria. "Maafkan aku, sore kemarin tidak memberimu makan. Pagi ini aku membawa makanan dalam jumlah yang lebih banyak untuk mengganti yang kemarin sore," ujarnya.  "Kamu tahu? Rencanaku berhasil. Dela sudah pulang. Dan kini aku sedang menunggu Koki dan Simon. Koki sudah sampai Jakarta. Pagi ini Koki dan Simon akan pulang bersama. Ah, aku sudah sangat rindu bertemu mereka."

Aku hanya mengangguk-ngangguk saja mendengar ucapan tuanku. Setelah menghabiskan makanan, aku berkeliaran di luar kandang. Hari ini, kedua istriku tak ikut sebab mereka mulai mengerami telur-telurnya. Aku berkeliaran seekor diri di pekarangan belakang kandang. Terkadang aku mendapatkan sisa-sisa makanan manusia yang dibuang, terkadang mendapatkan cacing tanah yang sedang menyembul dari dalam tanah, tapi lebih sering tak mendapatkan apa-apa.

Pukul tiga sore, Koki dan Simon sampai ke rumah dengan sebuah mobil sedan hitam. Aku memperhatikannya dari samping rumah. Tidak jauh berbeda dengan Dela, mereka berdua juga keheranan dengan situasi yang ada, namun segera menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Aku merasa senang melihat tuanku dapat tersenyum bahagia. Tuanku akhirnya bisa melepaskan rindu yang begitu mengimpit hati. Rindu seorang ibu kepada anak-anaknya. Rindu yang tidak akan bisa diganti dengan uang sebanyak apa pun. Rindu yang hanya bisa terobati dari sebuah pertemuan hangat. Berkumpul bersama dan saling bercengkerama.

Pukul empat sore aku pulang ke kandang.

Ketika malam mulai datang dan kantuk mulai menyerang, Koki dan Simon berjalan mendekat ke kandang. Kupikir mereka akan memberiku makan sebab tuanku tak memberiku makan sore. Tapi aku sepertinya salah mengira. Koki justru menangkapku. Mencengkeram kedua sayapku dengan tangan kanan dan kedua kakiku dengan tangan kiri. Sementara Simon membawa sebuah pisau tajam. Aku hendak berkeok dan berusaha memberontak, namun Simon dengan segera memegang kepalaku dan menempelkan pisau yang ia pegang di leherku.

Di bawah cahaya rembulan dan gemintang yang menghiasi langit malam, aku hanya bisa berpasrah diri. Menerima takdir yang memang sepantasnya aku dapatkan. Aku terlahir sebagai ayam. Aku merasa mati secara terhormat jika menjadi santapan manusia. Ya, akan kupersembahkan diriku ini untuk tuanku yang selama ini telah berbuat baik kepadaku. Nikmatilah dagingku ini bersama dengan anak-anakmu yang amat kaurindu, wahai tuanku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun