Keesokan hari, tuanku datang dengan membawa segaris senyum di wajahnya. Aku agak heran, tapi juga senang. "Aku sudah punya cara. Ya, aku sudah punya cara supaya anak-anakku pulang. Jika aku menelepon mereka dan menyuruhnya pulang sebab aku rindu, mereka tak mungkin pulang. Mereka tidak seperti kamu yang selalu menurut pulang ketika kupanggil. Paling hanya sesekali saja kamu tak menurut sebab sedang mengejar betina lain."
Tanpa aku bertanya, tuanku kembali melanjutkan ceritanya. "Aku akan menyuruh salah satu tetangga untuk menelepon anak-anakku. Aku akan meminta tetanggaku untuk menyampaikan berita bahwa aku telah mati. Mereka tak mungkin tak pulang. Benar kan? Ide yang bagus bukan?"
Jujur, aku begitu kaget mendengar rencana tuanku. Itu rencana yang logis, namun menurutku kurang etis. Tapi apa boleh buat. Aku tak bisa melarang tuanku.
Sore harinya setelah mendapatkan kabar dari tetangga, Dela pulang bersama suaminya. Ia begitu kaget sebab tidak ada bendera kematian, tidak ada tenda di depan rumah, pun tidak ada tetangga yang berkerumun di depan rumah. Ia semakin terkejut ketika melihat ibunya berdiri di depan pintu rumah. Tersenyum dan segera memeluk anak bungsunya itu. Dela hendak berteriak, namun tak jadi sebab ia merasakan betul hangatnya pelukan seorang ibu. Sore itu, Dela pun tahu jika ibunya memang sengaja berbohong supaya ia dapat segera pulang.
Sore itu, tuanku lupa memberiku makan. Aku memakluminya. Aku mengajak kedua istriku untuk pulang sendiri sebelum azan magrib berkumandang.
Pukul enam pagi, seperti biasa, tuanku mendatangiku dengan membawa campuran bekatul dan sisa ayam goreng di sebuah wadah. Aku begitu senang sebab wajah tuanku semakin ceria. "Maafkan aku, sore kemarin tidak memberimu makan. Pagi ini aku membawa makanan dalam jumlah yang lebih banyak untuk mengganti yang kemarin sore," ujarnya. Â "Kamu tahu? Rencanaku berhasil. Dela sudah pulang. Dan kini aku sedang menunggu Koki dan Simon. Koki sudah sampai Jakarta. Pagi ini Koki dan Simon akan pulang bersama. Ah, aku sudah sangat rindu bertemu mereka."
Aku hanya mengangguk-ngangguk saja mendengar ucapan tuanku. Setelah menghabiskan makanan, aku berkeliaran di luar kandang. Hari ini, kedua istriku tak ikut sebab mereka mulai mengerami telur-telurnya. Aku berkeliaran seekor diri di pekarangan belakang kandang. Terkadang aku mendapatkan sisa-sisa makanan manusia yang dibuang, terkadang mendapatkan cacing tanah yang sedang menyembul dari dalam tanah, tapi lebih sering tak mendapatkan apa-apa.
Pukul tiga sore, Koki dan Simon sampai ke rumah dengan sebuah mobil sedan hitam. Aku memperhatikannya dari samping rumah. Tidak jauh berbeda dengan Dela, mereka berdua juga keheranan dengan situasi yang ada, namun segera menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Aku merasa senang melihat tuanku dapat tersenyum bahagia. Tuanku akhirnya bisa melepaskan rindu yang begitu mengimpit hati. Rindu seorang ibu kepada anak-anaknya. Rindu yang tidak akan bisa diganti dengan uang sebanyak apa pun. Rindu yang hanya bisa terobati dari sebuah pertemuan hangat. Berkumpul bersama dan saling bercengkerama.
Pukul empat sore aku pulang ke kandang.
Ketika malam mulai datang dan kantuk mulai menyerang, Koki dan Simon berjalan mendekat ke kandang. Kupikir mereka akan memberiku makan sebab tuanku tak memberiku makan sore. Tapi aku sepertinya salah mengira. Koki justru menangkapku. Mencengkeram kedua sayapku dengan tangan kanan dan kedua kakiku dengan tangan kiri. Sementara Simon membawa sebuah pisau tajam. Aku hendak berkeok dan berusaha memberontak, namun Simon dengan segera memegang kepalaku dan menempelkan pisau yang ia pegang di leherku.