Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis yang masih terus belajar agar menghasilkan tulisan yang baik dan menarik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wong Alas

24 November 2024   14:49 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:29 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepasang mata yang lebar mengintip dari balik rimbunnya gelagah arjuna. Jerome dan Serli segera saja berdiri, mengenakan kembali celana dan bajunya yang telah ditanggalkan selama lima belas menit terakhir. Gairah untuk meneruskan aktivitas tak senonohnya telah meredup. Mereka segera berjalan menuruni lereng bukit sembari menyibak gelagah dan semak belukar yang tumbuh subur di sekitarnya. Jika ada warga yang menangkap basah mereka, bisa panjang urusannya. Dan tujuan utama mereka datang ke tempat itu bisa-bisa tak jadi terlaksana.

Pagi menjelang siang, udara di Bukit Siregol begitu syahdu. Tidak panas, pun tidak hujan. Pepohonan dan berbagai macam vegetasi yang mengelilingi bukit tumbuh segar, hijau-hijau memanjakan mata. Sepasang julang emas terbang dari salah satu ujung bukit menuju ujung bukit lainnya. Sementara seekor elang jawa bertengger tenang di salah satu ranting pohon pinus.

Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara itu kembali melanjutkan perjalanannya dengan menaiki sepeda motor. Serli mendekap mesra Jerome dari belakang. Sampai di sebuah warung kopi sederhana yang berdinding kayu dan berlantai tanah, mereka singgah sejenak. Jerome memesan segelas kopi, sementara Serli lebih memilih segelas teh hangat. Sembari menunggu minuman dihidangkan, mereka mengambil mendoan hangat yang tersaji di hadapan mereka.

"Kalian dari mana?" tanya Bu Watimah, sang pemilik warung sambil membawa baki berisi segelas kopi dan teh hangat.

"Kulo dari Purwokerto, Bu. Kalau pacar saya dari Jakarta."

"Adoh temen sekang Jakarta."

"Ibu itu ngomong apa, Yang?" tanya Serli kepada Jerome, setengah berbisik.

"Kata ibu itu, jauh sekali dari Jakarta."

Warung Bu Watimah berada di ujung jalur Bukit Siregol menuju Desa Sirau. Menurut Bu Watimah, warungnya dulu ramai sebagai tempat persinggahan bagi orang-orang yang berjalan kaki dari dan menuju hutan. Namun, sekarang menjadi sepi sebab jalan menuju Desa Sirau telah diaspal dan banyak orang yang menggunakan sepeda motor.

Jerome dan Serli menikmati suasana khas pedesaan di dalam warung yang lebih mirip gubuk itu. Orang yang ramah, hidangan yang sederhana, udara yang dingin, dan cahaya matahari yang terasa hangat yang muncul dari balik dinding warung yang bolong.

Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan begitu kopi dan teh hangat yang mereka pesan telah tandas. Dan tak butuh waktu lama, dengan jalan yang tetap menanjak dan berkelok, mereka sampai di perkampungan Desa Sirau, perkampungan yang tersembunyi di balik Bukit Siregol, perkampungan yang dikenal dengan produksi sapu gelagahnya. Di sepanjang pinggir jalan depan rumah warga, berjejer gelagah yang sedang dijemur yang akan digunakan sebagai bahan untuk membuat sapu lantai.

Di salah satu rumah warga dengan gagang-gagang sapu bertumpuk di terasnya, Jerome dan Serli turun dari sepeda motor. Sang tuan rumah yang merupakan petani gelagah sekaligus perajin sapu menyapa dan bertanya hajat mereka datang ke rumahnya. Jerome menjelaskan jika ia sedang menemani Serli untuk melakukan wawancara kepada para petani gelagah di Desa Sirau guna memenuhi tugas akhir perkuliahannya. Mereka pun disambut dengan hangat oleh tuan rumah. Dipersilakan duduk di ruang tamu, serta dibuatkan kopi dan teh. Jerome sempat menolak sebab sudah mengopi di warung, namun sang tuan rumah tetap saja membuatkannya.

"Monggo unjukane diunjuk!" ujar sang tuan rumah.

"Nggeh, matur nuwun, Pak."

Setelah menyeruput sekadarnya sebagai simbol penghormatan terhadap hidangan dari tuan rumah, Serli segera memulai wawancara. "Perkenalkan saya Serli, mahasiswi jurusan diploma tiga penilai. Tujuan saya ke sini adalah untuk melakukan wawancara kepada para petani gelagah guna memenuhi karya tulis tugas akhir saya yang berjudul Analisis Penentuan Nilai Guna Langsung Gelagah Arjuna di Desa Sirau, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga dengan Menggunakan Teknik Real Market Price."

 Sang tuan rumah mengangguk, entah paham entah tidak. Serli mengajukan beberapa pertanyaan dengan sesekali dibantu oleh Jerome untuk menerjemahkan, baik dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, maupun sebaliknya.

"Selain warga Desa Sirau, apa ada juga yang memanfaatkan hutan di Bukit Siregol ini, Pak?" tanya Jerome basa-basi.

"Memanfaatkan bagaimana ya? Mungkin kalau untuk tempat tinggal, barangkali ada wong alas yang tinggal di dalamnya."

"Wong alas?"

"Ya. Tapi itu entah ada atau tidak keberadaannya, saya juga belum pernah bertemu."

"Siapa wong alas itu, Pak?"

"Sampeyan tahu Syekh Jambu Karang yang makamnya ada di Desa Panusupan?"

"Nggeh."

"Konon, Syekh Jambu Karang itu dulu namanya adalah Raden Mundingwangi. Dia adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Pajajaran yang sedang menyepi bersama rombongannya ke wilayah Pegunungan Ardi Lawet. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Syekh Atas Angin, seorang penyebar agama Islam. Mereka beradu kesaktian dan Raden Mundingwangi kalah. Atas kekalahan itu, ia memutuskan untuk menjadi seorang muslim dan berganti nama menjadi Syekh Jambu Karang. Namun, rombongan Syekh Jambu Karang ada yang enggan mengikuti keyakinan baru pemimpinnya dan memilih untuk tetap hidup di hutan belantara, dan bisa jadi mereka juga hidup di hutan sini. Kata orang-orang, mereka memiliki kemampuan linuwih untuk berubah menjadi macan."

Jerome penasaran, ingin mengajukan banyak pertanyaan terkait wong alas sebab kisah itu baru sekali ini ia dengar, namun Serli mendesaknya untuk segera berpamitan dan melanjutkan wawancaranya dengan petani lain.

Hingga mendekati asar, Serli telah berhasil melakukan wawancara kepada sembilan narasumber. Kurang satu narasumber lagi dari target awal. Namun, langit mulai gelap dan kabut mulai turun. Di penghujung tahun seperti ini, hujan hampir turun setiap sore. Apalagi mereka sedang berada di jalur perbukitan yang tidak memiliki penerangan. Jika tidak segera pulang, mereka akan terjebak dalam kegelapan di tengah hutan.

Setelah asar di langgar terdekat, mereka bergegas pulang. Namun, lima menit kemudian, hujan turun dengan deras disertai angin dan petir yang menyambar-nyambar. Jerome lupa tidak membawa mantel. Jalanan telah basah dan agak licin. Langit semakin gelap. Di sebelah kiri mereka ada lereng bukit yang sewaktu-waktu bisa longsor. Sementara di sebelah kanan mereka terdapat jurang dengan sungai di bawahnya.

Ketika menemukan sebuah gubuk di pinggir jalan, mereka mampir ke gubuk itu untuk berteduh di dalamnya. Jerome menyetel lagu Ande-Ande Lumut kesukaannya guna mengurangi suasana mencekam di dalam gubuk itu. Serli memeluk erat Jerome dalam kepasrahan. Dan pelukan itu cukup untuk membangkitkan kembali berahi di antara mereka berdua. Mereka kembali menanggalkan pakaian, tak peduli meski dingin menusuk ke dalam tulang sebab dingin itu telah takluk oleh panasnya gairah yang sedang mereka rasakan.

Dari balik jendela gubuk, Serli kembali melihat ada sepasang mata yang lebar sedang mengawasinya. Mereka segera mengenakan kembali pakaian yang tergeletak di meja. Jerome dan Serli yang memegang erat tangan kekasihnya sebab ketakutan, berjalan membuka pintu gubuk untuk memastikan sepasang mata yang mengintip aktivitasnya.

Dari arah samping gubuk, seorang pria dengan bertelanjang dada berjalan menghampiri mereka. Matanya lebar. Rambutnya tergerai panjang. Tidak memiliki gumun. Tidak memiliki tumit. Dan berjalannya jinjit.

"Nyong kencot," ujar pria itu.

"Dia bilang apa, Yang?" tanya Serli pelan dengan wajah menggigil ketakutan.

"Katanya dia lapar."

Tak berapa lama, pria itu menangkap seekor jago yang sedang bertengger di sebuah kursi kayu di depan gubuk. Jago itu berkeok-keok, lantas dicengkeram dengan kuat dan digigit bagian lehernya hingga membuat darahnya muncrat kemana-mana. Pria itu dengan beringas menghabisi santapannya layaknya macan yang sedang kelaparan.

Jerome dan Serli saling tatap dalam kengerian, lantas beringsut meninggalkan gubuk itu. Tak peduli meski hujan masih turun dengan deras dan jalanan semakin gelap tanpa penerangan.

***

Hasan Ali lahir di Purbalingga. Buku pertamanya Salahkah Aku Terlahir Introvert? (Guepedia, 2021). Menulis di aplikasi Kwikku dan Lentera. Cerpen-cerpennya terbit di Ruang Litera SIP dan golagongkreatif.com, serta dicetak secara antologi bersama penulis lain. Cerpennya "Momong Jimbrot" menjadi juara pertama dalam Sayembara Cerpen Pulpen XIX. Pembaca bisa menyapa penulis melalui instagram @hasan.ali.penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun