Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis yang ingin membagikan pikiran aneh dan liarnya melalui kisah fiksi berbentuk cerita pendek :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Momong Jimbrot

15 September 2024   19:29 Diperbarui: 28 September 2024   08:52 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aaarrrggghhh...."

Teriakan itu menggema pada suatu pagi dengan kabut tipis yang masih menyelimuti kampung itu. Teriakan itu sudah cukup untuk membuat orang-orang yang mendengarnya segera berlarian menuju sumber suara. Mereka paham betul dengan teriakan semacam itu, sebab seminggu yang lalu teriakan semacam itu juga membuat geger warga kampung.

Anak-anak di kampung itu sudah berangkat ke sekolah. Sebagian besar lelaki sudah berangkat ke kebun atau sawah. Menyisakan ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang sudah tidak bersekolah yang berada di rumah, termasuk Parti. Begitu mendengar teriakan itu, Parti yang sedang sibuk memasukkan bongkahan kayu ke perapian segera berlari. Ia bukan berlari sebab mendengar teriakan itu, namun sebab tahu persis sosok yang berteriak. Barangkali jika teriakan itu bukan dari sosok yang ia kenali suaranya, ia akan tetap sibuk di depan perapian.

Persis di belakang rumah Parti, berjejer pohon kelapa yang menjulang. Pohon-pohon itu adalah sumber penghasilan keluarga kecil Parti. Dan pemandangan serupa juga ditemui di hampir separuh kampung itu. Dan pohon-pohon itu juga menjadi sumber penghasilan sebagian besar keluarga di kampung itu. Meski kini jumlah penderes di kampung itu mulai berkurang sebab banyak anak muda yang enggan meneruskan pekerjaan bapaknya, namun itu tidak lantas mengurangi jumlah keluarga yang hidupnya masih bergantung dengan nira yang dihasilkan dari manggar di pucuk pohon kelapa.

Parti segera menemukan sosok yang berteriak itu di bawah pohon kelapa. Posisinya telentang. Tidak salah lagi. Sosok itu berteriak sebab terjatuh dari pohon kelapa yang licin setelah diguyur hujan semalaman. Separuh punggung sosok itu terbenam pada tanah yang becek. Barangkali jika tanah itu tidak becek dan tidak ada rerumputan di tempat sosok itu terjatuh, mungkin ia telah mati. Atau, andai sosok itu jatuh di bebatuan, mungkin ia juga telah mati. Namun, yang paling beruntung adalah kudi yang digunakan untuk memotong manggar tidak menimpa dirinya. Andai kudi itu jatuh di kaki atau tangan, barangkali kaki atau tangannya telah patah. Andai kudi itu jatuh di perut, barangkali ususnya telah berhamburan keluar dari perutnya seperti tikus yang mati terlindas mobil. Atau, andai kudi itu jatuh menimpa kepala atau leher, barangkali nyawanya telah melayang.

"Paaak...," teriak Parti dengan pipi yang basah oleh guyuran air mata.

Namun, sebelum Parti menolong sosok yang sudah dapat dipastikan adalah bapaknya, terlebih dahulu ia mengambil kudi yang menancap di tanah, persis di samping perut bapaknya. Ia menarik kudi itu dengan tangan yang bergetar hebat. Dalam benaknya, ia tak dapat menolak bayangan kudi itu menimpa tubuh bapaknya. Sesegera mungkin ia melempar kudi itu ke sungai kecil yang mengalir tak jauh dari tempat bapaknya terjatuh. Ia menghela napas sambil memandangi pongkor yang isinya telah kosong melompong, sebab air nira di dalamnya telah tumpah.

Tak lama setelah kudi itu tenggelam di dasar sungai, orang-orang yang juga mendengar teriakan telah sampai di lokasi. Mereka bersama-sama dengan Parti menggotong sosok yang di kampung itu biasa dipanggil Daplun. Sesampainya di rumah, Daplun dibaringkan di atas risban. Sementara salah seorang di antara mereka segera memanggil mantri.

"Parti...."

Parti yang sedang membawa segelas air putih dari dapur, segera duduk di tepi risban, sementara segelas air putih yang ia bawakan untuk bapaknya, ia letakkan di atas meja, di dekat risban.

"Di mana kudi Bapak?"

"Oalah Daplun, Daplun. Baru jatuh dari pohon kelapa, eh... yang dicari malah kudi," ujar salah seorang di antara yang ikut membawa Pak Daplun.

"Bapak minum dulu ya," pinta Parti.

"Jawab pertanyaan Bapak dulu, Ti! Di mana kudi Bapak?"

Parti tak segera menjawab. Orang-orang, terutama ibu-ibu mulai mengerumuni Daplun.

"Alhamdulillah, rika esih urip."

"Lah iya, nembe bae Kang Tarman ninggal. Untunge rika selamet, Kang."

Daplun tak menghiraukan suara ibu-ibu itu. Ia masih ingin segera mengetahui kabar kudinya. "Di mana kudi Bapak, Ti?"

Parti paham betul dengan sifat bapaknya. Jika pertanyaan yang sama telah diulang lebih dari dua kali, berarti pertanyaan itu wajib untuk dijawab. Jika tidak, bapak tidak akan berkata apa-apa sampai pertanyaannya terjawab.

"Kudi Bapak sudah Parti lempar ke sungai, Pak," jawabnya dengan wajah menunduk. Ia tahu betul jika apa yang ia lakukan adalah sebuah dosa besar yang akan membuat bapaknya menderita. Barangkali menderitanya sebab kehilangan kudi jauh lebih sakit dibandingkan dengan menderitanya jatuh dari pohon kelapa setinggi sepuluh meter. Dan Parti paham betul apa yang semestinya ia lakukan. Tanpa diminta, ia segera berlari dengan terlebih dahulu mengenakan sandal jepitnya.

Di bawah pohon kelapa tempat bapaknya telentang tak berdaya, ia berhenti sejenak sebelum akhirnya kembali meneruskan langkahnya ke tepi sungai kecil dengan air yang mengalir cukup deras dan agak keruh. Matanya berkeliaran menyibak aliran sungai.

Tidak ada pilihan lain. Parti tetap harus mencari kudi bapaknya, bagaimanapun caranya, atau bapaknya akan mati dalam kemalangan yang begitu mendalam sebab kudinya tak dapat ditemukan.

Parti memberanikan diri untuk meloncat ke sungai kecil itu, tidak peduli meski ia tak bisa berenang. Meski kecil, sungai tetaplah sungai. Apalagi semalam hujan turun begitu deras. Air sungai itu setinggi leher Parti, namun arusnya cukup kuat untuk menghanyutkan tubuh Parti yang tak berisi.

"Aaarrrggghhh...."

Parti berteriak sebagaimana bapaknya berteriak, namun suaranya tak cukup kencang untuk didengar orang-orang. Malaikat pencabut nyawa telah bersiap melaksanakan tugasnya di tepi sungai, namun sebelum melompat ke sungai, seorang lelaki mendahului sang malaikat. Dan itu cukup untuk menunda kematian Parti.

Lelaki itu menyeret Parti ke tepi sungai.

"Terima kasih," ucap Parti dengan senyum yang mengembang dan jantung yang berdebar-debar seperti halnya orang-orang yang sedang jatuh cinta. Dan mungkin ia memang sedang jatuh cinta dengan Parno, sosok yang menolong dirinya. Ia tahu betul reputasi Parno di kampung. Ia adalah pendiri Kelompok Usaha Bersama yang berfokus untuk meningkatkan kualitas produksi gula di kampung itu. Gula yang berkualitas tinggi itu nantinya akan dieskpor ke luar negeri. Parno bercita-cita untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa tanpa meninggalkan identitas mereka.

Parti masih memandangi wajah Parno yang teramat manis, terutama pada kumis tipisnya yang melintang di bawah hidung.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Sudah cukup baik."

"Mari saya antar ke rumahmu."

Ajakan itu, tentu segera diterima oleh Parti. Ia dan Parno berjalan beriringan.

Orang-orang yang masih mengerumuni bapaknya, termasuk Pak Mantri yang telah datang, segera dibuat kaget dengan kedatangan Parti yang membawa kepucatan di wajahnya. Orang-orang semakin dibuat kaget setelah bapaknya sama sekali tidak menanyakan kondisi anaknya, tapi justru menanyakan kudinya.

"Gemblung!" ujar salah seorang di antara mereka.

"Bukan saya yang gemblung. Tapi gulanya yang gemblung, sebab sekarang lagi musim hujan," ujar Daplun mengelak, tanpa ada rasa penyesalan terhadap apa yang barusan ia ucapkan.

"Maafkan Parti, Pak. Kudi Bapak tidak ketemu."

"Kamu tahu, Ti. Kudi Bapak bukan sembarang kudi. Bapak sudah momong kudi itu selayaknya momong anak sendiri. Dan mungkin kamu juga belum tahu kalau kudi Bapak juga memiliki nama, layaknya kamu yang Bapak namakan Parti, kudi Bapak namanya Jimbrot. Aji-aji gembrot. Kamu lihat perut kudi itu maju ke depan kayak orang gembrot. Bapak momong Jimbrot sebelum lahirnya kamu, sebab Bapak mendapatkan benda itu dari ibumu yang itu juga berasal dari bapaknya ibumu dan seterusnya hingga pertama kali Jimbrot dibuat. Jimbrot adalah bukti cinta ibu kamu yang memercayakan aji-aji itu untuk dirawat oleh Bapak. Itu sebabnya Bapak menyayangi Jimbrot sebagaimana menyayangi ibumu yang telah meninggal dan juga seperti Bapak menyayangimu. Dan kini, barangkali sudah waktunya Jimbrot berpindah tangan. Jika nanti kamu berhasil menemukan Jimbrot, serahkan ia kepada lelaki yang kamu cintai dan layak untuk menjadi pendamping hidupmu."

Orang-orang mendengarkan ocehan Daplun kepada parti layaknya mendengar dongeng seorang bapak kepada anaknya sebelum tidur. Namun, kali ini bukan anaknya yang tertidur melainkan bapaknya yang tertidur. Tertidur untuk selamanya.

Orang-orang yang mengerumuni Daplun menangis berjemaah. Entah menangis sebab kematian Daplun, atau sebab belum ditemukannya Jimbrot, atau malah sekadar formalitas belaka.

"Apakah kudi ini yang dimaksud sebagai Jimbrot?" tanya Parno sembari memperlihatkan kudi yang ia letakkan di sebuah wadah di balik pinggangnya.

Parti tersenyum dalam tangisnya. "Benar. Dan kini Jimbrot telah bersama tuan barunya."

***

Hasan Ali. Buku-bukunya: "Salahkah Aku Terlahir Introvert?", "Berteman dengan Sepi", "InSTAN", dan "Cinta Tah Cita". Cerpen-cerpennya terbit di Ruang Litera SIP dan golagongkreatif.com, serta dicetak secara antologi bersama penulis lain. Pembaca bisa menyapa penulis melalui instagram @hasan.ali.penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun