Pada era 1915 dan 1917, Pasukan Jerman menggunakan bakteri untuk melakukan sabotase biologis terhadap Argentina, Rumania, Skandinavia, Spanyol, dan Amerika.
Â
D. B. Rao dalam Biological Warfare, menyebut, pasukan Jerman menggunakan bakteri untuk sabotase. Tujuannya mengganggu suplai hewan bagi musuh dengan menginfeksi kuda-kuda serta keledai-keledai militer, hingga hewan-hewan ternak.
Â
Di tengah berkecamuknya Perang Pasifik (1941-1945), Jepang juga mengembangkan bom-bom yang mengandung bakteri anthrax yang sudah diujicobakan dampaknya terhadap manusia. Konon, Jepang memanfaatkan sejumlah tawanan perang sebagai "kelinci percobaannya".
Bioweapon tersebut dikembangkan unit khusus militer dengan nama Manchuria No 731. Unit ini memiliki 8 divisi yang meneliti dan mengembangkan berbagai virus dan bakteri (pes, kolera, antrax, tipus, dan tuberculosis) sebagai bioweapon.
Unit Manchuria 731 adalah sebuah kesatuan di dalam militer Kekaisaran Jepang yang khusus disiapkan untuk membuat senjata pemusnah untuk mendukung kekuatan tempur utama. Â Sepak terjang Unit 731 turut mengantarkan Jepang ke panggung utama perang dunia II (PD II) di Asia Pasifik pada 1939 sampai 1945.
Â
Konon, selama beroperasi pada masa PD II, Unit Manchuria 731 sudah memakan korban ribuan orang sebagai kelinci percobaan. Â Korban terbanyak adalah tawanan perang. Saat itu, Jepang tengah berperang melawan Cina. (Insiden Nanking pada 1937).
Dalam bukunya Japan's Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan's Wartime Human Experimentation Program, Hal Gold menyebut, sampel manusia yang diambil oleh pasukan Jepang untuk kebutuhan Unit 731 kebanyakan berasal dari tahanan dan korban perang saat Jepang menginvasi Manchuria pada September 1931 dan perang besar di tahun 1937.
Sementara masa Perang Dunia II (1939-1945), bakteri anthrax (bacillus anthracis) dan glanders (burkholderia mallei) paling banyak digunakan untuk kepentingan perang.
Â
"Di Perang Dunia II Inggris mengujicobakan efektivitas bacillus anthracis di udara terbuka dengan domba-domba mereka di Kepulauan Gruinard. Mereka bermaksud menggunakannya sebagai langkah balasan jika Jerman menginvasi Inggris," sambung Rao.
Usai Perang Dunia II, pengembangan senjata biologis tetap eksis di negara-negara pemenang perang. Hanya saja, pengembangan nuklir lebih mengemuka.
Dari waktu ke waktu, pengembangan teknologi bioweapon semakin mengerikan. Itulah yang memunculkan kesadaran kolektif  akan bahayanya dimana saat itu situasi Perang Dingin makin intens. Penentangan penggunaan cacar sebagai senjata biologis semakin mengemuka pada 1967.
Pada 10 April 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi Konvensi Senjata Biologis. Konvensi itu tercatat sebagai perjanjian multilateral pertama untuk menghentikan produksi dan pelarangan penggunaan senjata biologis. Dari 183 negara yang mengikuti konvensi, hanya 109 negara yang ikut tanda tangan dan hanya 22 negara yang meratifikasinya.
Pada 1980, World Health Organization (WHO) menyerukan kepada seluruh dunia agar berhenti mengembangkan virus cacar sebagai senjata perang.
Â
WHO mengkampanyekan pemunsahan seluruh virus cacar pada Juni 1999. Negara-negara yang meneliti cacar sebagai senjata biologis diminta menyerahkan seluruh sampel virusnya  ke WHO atau mengirimnya ke lembaga yang ditunjuk, seperti Institute of Virus Preparation Laboratories di Moskow, Rusia atau Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta, Amerika Serikat.
Â
Memasuki abad ke 19, senjata biologis tetap ditemukan penggunaannya dalam perang. Contohnya adalah, penggunaan bakteri kolera pada Perang Kemerdekaan Zimbabwe (1964-1979). Saat Perang Teluk (1990-1991), PBB juga menemukan penggunaan senjata biologis.
Dalam sebuah investigasi, Irak mengakui kepada tim inspeksi PBB telah memproduksi 19 ribu racun butolinum sebagai senjata pemusnah massal.
Â
Seiring dengan  perkembangan sains dan teknologi yang semakin pesat, perang biologis, masih tetap menjadi ancaman utama selain perang nuklir.
Pada Juni 2021, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Nikolai Platonovich Patrushev memperingatkan semua umat manusia di Bumi untuk mewaspadai rencana negara tertentu yang ingin mengacaukan keamanan dunia. Ketika itu, mantan Direktur Dinas Keamanan Federal Rusia (penerus KGB) mengatakan bahwa keamanan dunia mau dikacaukan dengan menggunakan serangan patogen alias mikroorganisme parasit berbahaya.Â
Menurut Nikolai Platonovich Patrushev tujuan utama pihak yang mencoba menggunakan patogen berbahaya itu adalah mencari keuntungan politik dan militer. Dan kondisi ini jauh lebih berbahaya dari perkiraan, sebab percobaan ini merupakan proses kebangkitan dari senjata biologis yang membahayakan umat manusia di bumi.