Mohon tunggu...
Haryo WB
Haryo WB Mohon Tunggu... Penulis - Sinau Bareng
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis merangsang refleksi, jadi jika kamu tidak bisa mereflesikan sesuatu untuk ditulis, tetaplah mencoba untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Soal Senjata Biologis dalam Tatanan Dunia Baru

8 Desember 2021   09:53 Diperbarui: 8 Desember 2021   20:40 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://oiebulletin.fr/

Senjata biologi adalah senjata yang menggunakan patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Dalam pengertian yang lebih luas, senjata biologi tidak hanya berupa organisme patogen, tetapi juga toksin berbahaya yang dihasilkan oleh organisme tertentu. Dalam kenyataanya, senjata biologi tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman. Demikian mengutip artikel bertajuk Introduction to Biological Weapons, Rabu (8/12). 

Sejarah membuktikan penggunaan beragam patogen mulai dari virus, bakteri, racun, tanaman hingga binatang berbisa sebagai alat pembunuh massal dalam perang, sudah sejak dulu. Kisah kelam perang dengan menggunakan senjata biologis ini terus berkembang dari waktu ke waktu.
 
Mengutip pandangan Albert J. Mauroni dalam Chemical and Biological Warfare: A Reference Handbook, sebelum abad ke-20 jenis pun, senjata biologis telah digunakan dalam  memenangkan perang. Hanya saja, metode yang digunakan adalah meracuni makanan dan air dengan racun biologis atau bakteri dari hewan dan tanaman busuk.
 
Peperangan pertama yang memanfaatkan senjata biologis adalah saat pada Perang Troya (1260-1180 SM). Meski mungkin saja, jauh sebelum itu cara-cara serupa pernah digunakan.
 
Homer dalam karyanya Epos Iliad dan Odyssey menggambarkan, pada abad ke-8 SM pasukan Yunani yang dipimpin Raja Sparta Menelaus menggunakan anak panah dan tombak beracun yang berasal dari bisa ular. Musuh yang terkena senjata, mengeluarkan darah yang menghitam.

Kesatria Yunani terkenal, dysseus juga menggunakan ekstrak tanaman beracun untuk anak panahnya. Detail-detail dalam karya Homer itu menjadi penanda awal penggunaan racun untuk kepentingan perang.
 
Pada abad ke-6 SM, tepatnya pada Perang Cirraean (595-585 SM) pasukan Yunani menggunakan ekstrak racun dari tanaman helleborus untuk meracuni persediaan air kota Cirrha hingga kota itu akhirnya dihancurkan.

Pasukan Mongol pada Abad Pertengahan (Abad ke-5 hingga 15), memanfaatkan mayat yang terinfeksi pes dan bangkai hewan yang membusuk untuk menyebar wabah penyakit kepada musuhnya.  Hal yang sama dilakukan pasukan Inggris pada 1340 saat mengepung kota Thun-l'vque di awal Perang 100 Tahun.

Dalam Smallpox: a Disease and a Weapon, fisikawan Rusia Dr. Ken Alibek menyebut cacar dijadikan senjata biologis dalam perang antara Prancis dan Inggris di Amerika Utara (kini Kanada) pada 1754-1767.
 
Dalam perang itu, tentara Inggris yang kalah dalam jumlah pasukan, menggunakan selimut dan saputangan terkontaminasi cacar (yang saat itu belum ditemukan vaksinnya) dari  Rumahsakit di Benteng Fort Pitt sebagai alat perang melawan suku Indian Amerika yang mendukung Prancis.

Dampaknya sangat mengerikan. Wabah cacar menjadi teror mengerikan bagi suku Pontiac (Indian) dan membunuh hampir separuh populasi mereka.

Cacar juga digunakan sebagai senjata biologis selama Perang Revolusi Amerika pada 1775-1783. Pada musim dingin tahun 1775, tentara Amerika berusaha membebaskan Quebec dari pengaruh Inggris.
 
Setelah berhasil merebut Montreal, usaha Amerika hampir berhasil. Namun pada Desember 1775, pemimpin pasukan Inggris mengirim warga yang terkena cacar untuk menulari pasukan Amerika. Cara ini berhasil membunuh 10 ribu orang Amerika. Wabah cacar menimbulkan kekacauan besar.

Ancaman cacar sebagai senjata biologis baru bisa diredam ketika dokter asal Inggris Edward Jenner berhasil menemukan vaksinnya pada Mei 1796.

Donald A Handerson, dokter yang melakukan kampanye internasional pemberantasan cacar bersama rekan-rekannya, dalam Smallpox: a Disease and a Weapon, menyebut Uni-Soviet berusaha mengembangkan virus cacar selama 1930-an. Melalui serangkaian percobaan, pemerintah Uni Soviet mencanangkan program produksi virus cacar dalam skala besar. Mereka berencana membuat bom cacar atau misil balistik antarbenua. Program ini tidak berhasil karena kekurangan dana.

Memasuki abad ke-20, perkembangan teknologi bioweapon semakin berkembang. Agen biologis yang digunakan makin beragam. Saat ini meski banyak negara punya program senjata biologis, hanya sedikit catatan tentang penggunaan senjata pemusnah masal itu. Misalnya, penggunaan senjata biologis untuk misi-misi sabotase di Perang Dunia I (1914-1918).

Pada era 1915 dan 1917, Pasukan Jerman menggunakan bakteri untuk melakukan sabotase biologis terhadap Argentina, Rumania, Skandinavia, Spanyol, dan Amerika.
 
D. B. Rao dalam Biological Warfare, menyebut, pasukan Jerman menggunakan bakteri untuk sabotase. Tujuannya mengganggu suplai hewan bagi musuh dengan menginfeksi kuda-kuda serta keledai-keledai militer, hingga hewan-hewan ternak.
 
Di tengah berkecamuknya Perang Pasifik (1941-1945), Jepang juga mengembangkan bom-bom yang mengandung bakteri anthrax yang sudah diujicobakan dampaknya terhadap manusia. Konon, Jepang memanfaatkan sejumlah tawanan perang sebagai "kelinci percobaannya".

Bioweapon tersebut dikembangkan unit khusus militer dengan nama Manchuria No 731. Unit ini memiliki 8 divisi yang meneliti dan mengembangkan berbagai virus dan bakteri (pes, kolera, antrax, tipus, dan tuberculosis) sebagai bioweapon.

Unit Manchuria 731 adalah sebuah kesatuan di dalam militer Kekaisaran Jepang yang khusus disiapkan untuk membuat senjata pemusnah untuk mendukung kekuatan tempur utama.  Sepak terjang Unit 731 turut mengantarkan Jepang ke panggung utama perang dunia II (PD II) di Asia Pasifik pada 1939 sampai 1945.
 
Konon, selama beroperasi pada masa PD II, Unit Manchuria 731 sudah memakan korban ribuan orang sebagai kelinci percobaan.  Korban terbanyak adalah tawanan perang. Saat itu, Jepang tengah berperang melawan Cina. (Insiden Nanking pada 1937).

Dalam bukunya Japan's Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan's Wartime Human Experimentation Program, Hal Gold menyebut, sampel manusia yang diambil oleh pasukan Jepang untuk kebutuhan Unit 731 kebanyakan berasal dari tahanan dan korban perang saat Jepang menginvasi Manchuria pada September 1931 dan perang besar di tahun 1937.

Sementara masa Perang Dunia II (1939-1945), bakteri anthrax (bacillus anthracis) dan glanders (burkholderia mallei) paling banyak digunakan untuk kepentingan perang.
 
"Di Perang Dunia II Inggris mengujicobakan efektivitas bacillus anthracis di udara terbuka dengan domba-domba mereka di Kepulauan Gruinard. Mereka bermaksud menggunakannya sebagai langkah balasan jika Jerman menginvasi Inggris," sambung Rao.

Usai Perang Dunia II, pengembangan senjata biologis tetap eksis di negara-negara pemenang perang. Hanya saja, pengembangan nuklir lebih mengemuka.

Dari waktu ke waktu, pengembangan teknologi bioweapon semakin mengerikan. Itulah yang memunculkan kesadaran kolektif  akan bahayanya dimana saat itu situasi Perang Dingin makin intens. Penentangan penggunaan cacar sebagai senjata biologis semakin mengemuka pada 1967.

Pada 10 April 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi Konvensi Senjata Biologis. Konvensi itu tercatat sebagai perjanjian multilateral pertama untuk menghentikan produksi dan pelarangan penggunaan senjata biologis. Dari 183 negara yang mengikuti konvensi, hanya 109 negara yang ikut tanda tangan dan hanya 22 negara yang meratifikasinya.

Pada 1980, World Health Organization (WHO) menyerukan kepada seluruh dunia agar berhenti mengembangkan virus cacar sebagai senjata perang.
 
WHO mengkampanyekan pemunsahan seluruh virus cacar pada Juni 1999. Negara-negara yang meneliti cacar sebagai senjata biologis diminta menyerahkan seluruh sampel virusnya  ke WHO atau mengirimnya ke lembaga yang ditunjuk, seperti Institute of Virus Preparation Laboratories di Moskow, Rusia atau Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta, Amerika Serikat.
 
Memasuki abad ke 19, senjata biologis tetap ditemukan penggunaannya dalam perang. Contohnya adalah, penggunaan bakteri kolera pada Perang Kemerdekaan Zimbabwe (1964-1979). Saat Perang Teluk (1990-1991), PBB juga menemukan penggunaan senjata biologis.
Dalam sebuah investigasi, Irak mengakui kepada tim inspeksi PBB telah memproduksi 19 ribu racun butolinum sebagai senjata pemusnah massal.
 
Seiring dengan  perkembangan sains dan teknologi yang semakin pesat, perang biologis, masih tetap menjadi ancaman utama selain perang nuklir.

Pada Juni 2021, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Nikolai Platonovich Patrushev memperingatkan semua umat manusia di Bumi untuk mewaspadai rencana negara tertentu yang ingin mengacaukan keamanan dunia. Ketika itu, mantan Direktur Dinas Keamanan Federal Rusia (penerus KGB) mengatakan bahwa keamanan dunia mau dikacaukan dengan menggunakan serangan patogen alias mikroorganisme parasit berbahaya. 

Menurut Nikolai Platonovich Patrushev tujuan utama pihak yang mencoba menggunakan patogen berbahaya itu adalah mencari keuntungan politik dan militer. Dan kondisi ini jauh lebih berbahaya dari perkiraan, sebab percobaan ini merupakan proses kebangkitan dari senjata biologis yang membahayakan umat manusia di bumi.

"Ada tanda-tanda jelas bahwa mereka mencoba menggunakan patogen berbahaya untuk tujuan politik-militer. Faktanya, kami menyaksikan proses kebangkitan senjata biologis," kata Nikolai Platonovich Patrushev dalam Konferensi Moskow IX.

Pernyataan Nikolai tentu saja bukan suatu penyataan yang tidak berlandaskan fakta dan data. Berbagai temuan yang didapatkan kalangan intelijen Rusia memperkuat indikator tentang potensi serangan yang mematikan dari senjata biologis yang dikembangkan ilmuwan di laboratorium.

Hal tersebut diperkuat oleh ditemukannya sebuah dokumen rahasia yang diduga berisi rencana senjata biologis Cina oleh penyelidik Amerika Serikat dan dapat diakses oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Dalam dokuemen rahasia tersebut disebutkan, ilmuwan Cina telah mempersiapkan rencana yang disusun secara matang untuk membuka gerbang Perang Dunia 3 dengan senjata biologis dan genetik, termasuk virus corona selama 6 tahun terakhir.

Dokumen rahasia yang dibuat oleh para ilmuwan Tentara Pembebasan Rakyat  dan pejabat Kesehatan Cina memuat penelitian tentang manipulasi penyakit untuk membuat senjata dengan cara yang belum pernah terlihat sebelumnya. Juga bocornya email seorang ahli virus Tiongkok, dr. Li Meng-Yan yang dikirimkan kepada ahli penyakit menular Amerika, Anthony Faucy turut menggemparkan dunia. Dalam email tersebut disebutkan Covid-19 adalah senjata biologis tak terbatas yang menyelinap dari fasilitas laboratorium di Wuhan.

Di Indonesia, tentu kita masih ingat kasus NAMRU II sejumlah polemik di media massa, NAMRU 2 (The Naval Medical Research Unit 2) yang berada dibawah Angkatan Laut AS adalah sebuah proyek bergengsi dengan nilai investasi yang sulit dibayangkan, bila dikatakan alatnya miliran rupiah, maka sangat mungkin berpuluh kali lipat. Suatu investasi yang besar tentu mengharapkan hasil yang besar pula, apa bentuk hasil dari sebuah proyek penelitian tidak lagi tidak bukan adalah sampel virus dan antidote-nya, yang apabila sukses akan menghasilkan pemasukkan yang luar biasa, sehingga nilai investasi penelitian akan kecil dibandingkan dengan keuntungannya.

Keberhasilnya menanggulangi keganasan dan pola-pola serangan virus juga sangat penting dalam pengembangan senjata biologi rahasia, itulah sebabnya akses ke NAMRU 2 sangat dibatasi. Menarik untuk dikutip dan ditelusuri kebenaran fakta dan datanya, laboratorium NAMRU ketika masa terminasi kerjasama itu dilakukan pada akhir 1990-an dan awal tahun 2000. Rekomendasi dari berbagai pihak terkait adalah bahwa proyek itu selesai. Namun berkat kelihaian AS, bisa tetap eksis sampai sekarang. Terkait beragam sampel penelitian yang sangat penting dalam upaya pencarian anti virusya, ambil saja contoh malaria yang telah puluhan tahun tidak juga diumumkan kepada masyarakat Indonesia apa hasil kerja NAMRU, gagalkah mereka atau telah disembunyikan?

Belum lagi dengan kejanggalan Avian Flu yang  sebagian pendapat menyebutnya bukan wabah di Indonesia. Kejanggalan yang tidak mengikuti seluruh pola berjangkitnya sebuah wabah (natural virus outbreak) tersebut bisa diperhatikan dari jatuhnya kematian demi kematian orang Indonesia yang secara random terjangkit Flu Burung hingga saat ini. Ketika kasus Flu Burung meledak di China, pemerintah China sudah mendeteksi adanya unsur kesengajaan untuk menghambat laju pertumbuhan ekonomi China, hingga pada saat itu kasus Flu Burung ditutup-tutupi oleh Kementerian Kesehatan, hingga akhirnya dinyatakan sebagai keadaan darurat. Karena kewaspadaan China sangat tinggi dan operasi intelijen segera digelar, maka upaya teror terhadap rakyat China tersebut segera teratasi, bahkan langkah drastis berupa penghancuran industri ayam di China-pun ditanggungnya.

Apakah lantas kita menuduh Namru 2 itu sebagai suatu operasi intelijen? Tentu saja hal ini menjadi reaksi yang kurang elegan juga karena terlalu banyak pengamat yang entah mengapa berkicau memberikan komentar yang tidak bermutu. Seharusnya dalam kasus ini para ahli asal Indonesia segera dimintai keterangan karena para ahli asal AS pasti akan membantahnya habis-habisan.

Belajar dari kasus Namru 2 yang dipertahankan oleh AS bukan karena masalah atau kondisi politik di Indonesia, tetapi lebih kepada kekayaan sumber-sumber penelitian dan investasi biomedik yang sangat mahal. Tentunya Indonesia harus bisa menekan untuk dapat memperoleh atau menikmati hasil penelitian tersebut. Namun dalam prakteknya, sangatlah sulit karena keseluruhan kontrol kendali ditangan para ahli AS, sementara tenaga ahli asal Indonesia sebagian besar telah disuapi oleh AS sehingga wajar bila terjadi divided loyality. 

Kedua, merebaknya polemik Namru adalah kesungguhan pemerintah secara terpadu mengambil langkah yang tegas sekaligus juga tetap menjaga norma diplomasi dengan menyampaikan posisi dan sikap secara utuh. Apabila AS tetap ngotot untuk melanjutkan proyek Namru, maka harus ada keberanian untuk mengajukan persyaratan yang menguntungkan Indonesia. Syarat yang menguntungkan Indonesia itu juga harus dilengkapi dengan rencana dan program pengawasan penelitian Namru. 

Global Future Institute (GFI) dalam buku yang ditulis peneliti M. Arief Pranoto dan Hendrajit berdasarkan riset, "Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru," membahas tentang Indonesia  yang menjadi target Perang Asimetris tak terkecuali serangan Asimetris di bidang kesehatan.

Terbongkarnya manipulasi WHO terkait virus H5N1 yang kemudian dilawan oleh Menteri Kesehatan Dr. Siti Fadilah Supari pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memperkuat bukti adannya penetrasi politik yang dilakukan intelijen Amerika Serikat di bidang kesehatan.

Dalam buku tersebut dipaparkan, pada tahun 2007 di Gedung Laboratorium Mikrobiologi, berlokasi di jalan Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat milik Departemen Kesehatan terjadi ledakan dan ditemukan Nitrogen cair dan CO2. Di komplek gedung tersebut berkantor The Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) yang merupakan Unit-2 Penelitian Medis Angkatan Laut Amerika Serikat, sebuah badan yang mempelajari berbagai jenis penyakit di negara tropis.

Berdasarkan hasil investigasi GFI, sejak akhir 2006 hingga awal 2007  jatuh korban sekitar 25 orang meninggal dunia akibat virus yang tak dikenal dan merupakan hasil eksperimen biologis tertutup yang dikerjakan NAMRU-2. Anehnya insiden yang terjadi sepi dari pemberitaan media massa. Ternyata fakta lain yang cukup mencengang terungkap, NAMRU-2 melakukan penelitian aplikasi militer antara lain pembuatan senjata bio-terorisme, sejenis Weafon of Mass Destrction (WMD) kategori khusus senjata biologis.

Terakhir, dari edaran Departemen Luar Negeri AS, diakses pada Rabu (8/12), piramida adalah perlambang kekuatan dan ketahanan. Annuit Coeptis artinya '(Dia) Yang Menyetujui Usaha Kita'. Siapa yang menyetujui? Sang Maha Pemelihara yang disimbolkan dalam mata satu. Dokumen Departemen Luar Negeri AS itu menulis 'Yang Menyetujui Usaha Kita' sebagai 'Dia' dalam tanda kurung dimaknai sebagai Tuhan. Moto Novus Ordo Seclorum artinya 'Tatanan Zaman Baru', maksudnya adalah era baru sesudah kemerdekaan 1776.

Apa makna yang tersembunyi di balik teks narasi Novus Ordo Seclorum tersebut? Adakah kolerasinya dengan pandemi Covid-19 yang telah menciptakan kegelapan global dan kematian massal dalam sejarah peradaban umat manusia di abad 21?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun