Saat ini, Pemerintah dan DPR berupaya mempercepat pembahasan revisi terhadap Undang-Undang Anti Terorisme No. Â 15/2003. Alasan peningkatan kerja pembahasan revisi berkaitan erat dengan serangkaian aksi terorisme di Indonesia saat ini.Â
Proses pembahasan tidak terjadi dengan cepat. Kondisi tersebut dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan persepsi antara DPR dan pemerintah. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi mulai dari definisi hingga isu pelibatan TNI.
 Perdebatan itu semua sepertinya memunculkan kegelisahan dari Presiden Jokowi. Kegelisahan beliau adalah hal wajar mengingat adanya dampak negatif terhadap keamanan nasional dari kejahatan terorisme. Kegelisahan tersebut mungkin menjadi alasan Presiden Joko Widodo menyampaikan wacana Perpu.
Berkaitan dengan Perpu, maka kita perlu memahami konstruksi politik hukum di Indonesia. Konstruksi politik hukum berkaitan dengan filosofis etika hukum dan paradigma operasional politik. Secara etika, semua produk hukum termasuk Perpu harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Â
Apabila kita melihat UUD 1945, maka kita perlu melihat keberadaan pasal-pasal dalam Konstitusi RI. Di dalam UUD 1945, satu-satunya rujukan mengenai Perpu ada dalam pasal 22 ayat 1 yang berbunyi:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang."
Apabila mengacu pasal di atas, presiden memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan Perpu selama ada hal mendesak atau darurat. Redaksi pasal di atas sejalan dengan undang-undang yang menjadi turunannya, yaitu pasal 1 ayat 4 dari UU No. 12 tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Â
Kemudian, pasal 7 ayat 1 juga menunjukkan poin menarik. Poin tersebut berkaitan posisi Perpu yang bisa setara dengan undang-undang namun di bawah Tap MPR, namun dalam posisi lain, Perpu berada si bawah UU. Perpu hanya akan menjadi setara dengan UU, apabila DPR mengesahkan Perpu sebagai UU.Â
Secara sederhana, kita bisa melihat bahwa secara definisi, Perpu memang bisa dikeluarkan oleh presiden. Namun, kekuasaan presiden untuk mengeluarkan Perpu membutuhkan otorisasi DPR dan harus memenuhi unsur kegentingan mendesak.
Berkaitan dengan unsur darurat, maka kita perlu memahami konstruksi politik hukum secara definisi. Definisi keadaan genting harus dipahami dengan baik, dan itu harus mengacu bahasa hukum yang jelas.Â
Untuk memahami makna keadaan mendesak, maka kita perlu mengacu pada konsep yang menjadi basis fondasi hukum. Fondasi hukum terkait bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.Â