Mohon tunggu...
Haryo Utomo
Haryo Utomo Mohon Tunggu... Dosen -

S3 Ilmu Politik UI, Akademisi Universitas Bung Karno, Relawan Tzu Chi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PERPU Antiterorisme tidak Perlu

22 Mei 2018   22:42 Diperbarui: 23 Mei 2018   02:22 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini, Pemerintah dan DPR berupaya mempercepat pembahasan revisi terhadap Undang-Undang Anti Terorisme No.  15/2003. Alasan peningkatan kerja pembahasan revisi berkaitan erat dengan serangkaian aksi terorisme di Indonesia saat ini. 

Proses pembahasan tidak terjadi dengan cepat. Kondisi tersebut dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan persepsi antara DPR dan pemerintah. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi mulai dari definisi hingga isu pelibatan TNI.

 Perdebatan itu semua sepertinya memunculkan kegelisahan dari Presiden Jokowi. Kegelisahan beliau adalah hal wajar mengingat adanya dampak negatif terhadap keamanan nasional dari kejahatan terorisme. Kegelisahan tersebut mungkin menjadi alasan Presiden Joko Widodo menyampaikan wacana Perpu.

Berkaitan dengan Perpu, maka kita perlu memahami konstruksi politik hukum di Indonesia. Konstruksi politik hukum berkaitan dengan filosofis etika hukum dan paradigma operasional politik. Secara etika, semua produk hukum termasuk Perpu harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Apabila kita melihat UUD 1945, maka kita perlu melihat keberadaan pasal-pasal dalam Konstitusi RI. Di dalam UUD 1945, satu-satunya rujukan mengenai Perpu ada dalam pasal 22 ayat 1 yang berbunyi:

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang."

Apabila mengacu pasal di atas, presiden memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan Perpu selama ada hal mendesak atau darurat. Redaksi pasal di atas sejalan dengan undang-undang yang menjadi turunannya, yaitu pasal 1 ayat 4 dari UU No. 12 tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

Kemudian, pasal 7 ayat 1 juga menunjukkan poin menarik. Poin tersebut berkaitan posisi Perpu yang bisa setara dengan undang-undang namun di bawah Tap MPR, namun dalam posisi lain, Perpu berada si bawah UU. Perpu hanya akan menjadi setara dengan UU, apabila DPR mengesahkan Perpu sebagai UU. 

Secara sederhana, kita bisa melihat bahwa secara definisi, Perpu memang bisa dikeluarkan oleh presiden. Namun, kekuasaan presiden untuk mengeluarkan Perpu membutuhkan otorisasi DPR dan harus memenuhi unsur kegentingan mendesak.

Berkaitan dengan unsur darurat, maka kita perlu memahami konstruksi politik hukum secara definisi. Definisi keadaan genting harus dipahami dengan baik, dan itu harus mengacu bahasa hukum yang jelas. 

Untuk memahami makna keadaan mendesak, maka kita perlu mengacu pada konsep yang menjadi basis fondasi hukum. Fondasi hukum terkait bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. 

Putusan MK tahun 2009 menetapkan indikator-indikator kondisi genting, yaitu :

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

Kedua,    Undang-Undang yang dibutuhkan  tersebut belum ada sehingga terjadikekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

Ketiga,   Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berkaitan dengan wacana Perpu, jika hanya meninjau pasal pertama, maka akan ada ruang gerak bagi presiden untuk mengeluarkan Perpu. Namun, kita perlu melihat posisi lain. Poin kedua dan ketiga memiliki satu titik temu, yaitu bahw selama tidak ada aturan atau terjadi kekosongan hukum, maka silakan membentuk Perpu. 

Pertanyaan mendasar, apakah Perpu masih diperlukan jika masih ada proses politik untuk membentuk UU masih ada?. Perpu bisa dibentuk, jika memang ada kekosongan hukum. 

Walaupun demikian, itu perlu merujuk juga klausul bahwa ada faktor ketiadaan proses politik  di DPR. Hanya saja, dalam revisi UU anti terorisme, proses hukum sudah berlangsung. Itu bermakna, Perpu hanya akan lahir jika hanya ada aturan UU yang lama dan belum ada proses hukum. 

Tabik

Haryo K. U.

Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UI Angkatan 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun