"Apa semua sudah siap?"
"Sudah."
"Bagus! Sekarang saatnya kita bergerak."
Dibawah terangnya sinar bulan purnama. Tiga orang laki-laki berjalan dengan langkah lebar. Tanpa suara. Tak ada rasa takut, sesal, bahkan ragu sedikitpun. Yah! Aku ikut bersama mereka. Menjadi pelaku utama dalam rencana ini. Sebuah peristiwa besar yang akan dikenang oleh jutaan umat di belahan dunia.
Satu orang memberikan kode dengan melambaikan tangan ke atas, 'kita berpencar.'
Kami terpisah ke tiga titik. Suara musik DJ mengelam di seluruh ruangan. Orang-orang asik dengan aktivitas mereka. Berjoget, bercanda, bahkan bercumbu tanpa malu. Aku merekam seluruh perilaku mereka.
Pesta benar-benar telah dimulai. Semakin malam suasana semakin ramai. Aku tak sabar, kapan pesta sesungguhnya akan dimulai?
"Sepuluh menit lagi."
Yah, sepuluh menit lagi.
Aku membulatkan mata tak percaya. Sang waktu benar-benar berpihak padaku. Aku hanya perlu bungkam.
Sepuluh menit lagi!
Seorang bartender datang menawarkan minum.
"Terima kasih. Aku tidak ingin minum."
Sayang dia tidak minum.
Kenapa? Takut akan kutukan Tuhan?!
Waktu terus berjalan. Kenapa terasa lambat? Berkali-kali dia melihat jam ditangannya.
Apa dia gelisah dan mulai takut?
Tidak!
Dia tetap teguh dengan apa yang diyakini.
Aku bernafas lega. Bagus!
Diriku semakin puas saat dia tetap yakin dengan rencana ini. Bersikap tenang seolah tidak akan terjadi apa-apa. Aku tersenyum miris, sepandai apapun dia menyembunyikan kepanikan dalam tubuhnya. Aku tetap bisa mendengar jantungnya mulai berdetak dengan kencang mengalahkan suara musik dan orang-orang yang saling menjerit kegirangan. Yah, jeritan!
Apakah akan ada jeritan kebahagian setelah ini?
DUUAAARRRRR.
Suara bom terdengar di tiga lokasi. Aku hancur berkeping-keping bersama tiga orang yang menggunakanku layaknya perisai pelindung. Tiga orang itu telah menjadi mayat termasuk ratusan orang dari berbagai penjuru dunia.
Aku tercerai berai. Menghantam, menyobek, menyayat benda dan manusia di sekitarku tanpa ampun.
Asap hitam mengepul di udara. Darah dimana-mana, jeritan ketakutan dan tangisan penderitaan mengelam bagaikan musik gratisan yang masih nyaring ku dengar.
Semua orang terperanah dengan adegan ini. Mereka mengutuk, mencaci dan membenci orang-orang dibalik kejadian keji ini.
Dirikukah pelakunya?
Apakah mereka menyalahkan ku?
Tentu tidak?!
Mereka malah bingung mempertanyakan, kenapa ini bisa terjadi?
Bahkan Polisi tak kan sanggup memperjarakanku. Karena mereka hanya akan menjadikan ku sebagai alat bukti bukan saksi. Â
Diriku tidak akan pernah mati. Serpihan diriku masih ada di dalam jasad-jasad manusia itu.
Aku tak kan musnah?!
 Juga tak bisa melukai lagi!
Dan kini diriku tertawa layaknya iblis karena menjadi satu-satunya saksi bisu atas tragedi kelam itu. Inilah aku, Sang Bom Rakitan yang menjadi satu-satunya aktor utama dibalik "Tragedi Bom Bali Satu". Sebuah peristiwa yang mencoreng nama bumi Bali. Sebuah pulau dengan jutaan pesona, kebanggan Indonesia juga Turis Mancanegara.
Bali, 12 Oktober 2012
November 2017
Catatan Rena Siva
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI