Penyisihan grup Piala AFF baru saja selesai. Kita baru saja menyaksikan betapa Timnas (Baca : Timnas Indonesia) sama sekali tidak menunjukkan kekuatan sesungguhnya. Kita semua terheran-heran dengan permainan Timnas yang tanpa pola, tidak ada greget sama sekali.Â
Timnas AFF 2018 yang diharapkan dapat mematahkan kutukan dengan menjuarai Piala AFF tahun ini, justru menunjukkan performa yang mengecewakan kita semua. Ini kah hasil selama 24 tahun PSSI memutar Liga Indonesia?Â
Sama sekali tidak menunjukkan kualitas Timnas yang sesungguhnya.Alhasil Timnas gagal total, tak lolos fase grup. Untuk kesekian kalinya hilang sudah harapan untuk merengkuh piala yang paling berpeluang kita rebut itu. Rasanya kita juga harus realistis untuk mendambakan trophy Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Jadi trophy Piala AFF-lah yang paling mungkin kita raih saat ini.
Tapi apa daya, perubahan sistem turnamen tanpa tuan rumah dimana setiap tim mendapat jatah 2 kali home dan 2 kali away pun tidak membuat Timnas beruntung. Juara 4 kali Piala AFF Singapura selalu main bagus di turnamen ini, terbukti Timnas dibekuk 0-1 di Singapura. Thailand pun masih begitu superior, di Jakarta saja mereka sulit dikalahkan, apalagi di Bangkok.Â
Akhirnya Timnas terbantai 2-4 di Rajamangala Stadium. Melawan Timor Leste Timnas juga tidak maksimal, bahkan sempat ketinggalan 1 gol meski akhirnya menang 3-1. Terakhir melawan Rising Star Philipina, dan pasukan Bima Sakti pun tertunduk, mesti tidak kalah, namun hasil imbang 0-0 seakan menambah rekor buruk Timnas.Â
Meski peluang lolos fase group sudah tertutup, masyarakat berharap laga terakhir menjadi laga hiburan dengan memperbaiki penampilan dan memenangkan laga. Harapan tinggal harapan, Timnas tak mampu mencetak gol pada laga yang dihelat di GBK.Â
Filipina berhasil mengimbangi dan bahkan mempersulit Timnas. Tim yang pada Piala AFF tahun 2002 pernah kita cukur 13-1, kini menjelma menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Filipina yang dahulu hanya sebagai pelengkap penderita dalam gelaran Piala AFF, kini menjelma menjadi kekuatan baru sepakbola Asia Tenggara.
Pada gelaran Piala AFF tahun 2018 ini perjalanan The Azkals sudah bisa kita prediksi dari awal bakalan mulus. Hal ini tentu berdasarkan performa tim yang sekarang diasuha Sven Goran Eriksson tersebut. Lolosnya mereka ke Piala Asia 2019 menyingkirkan Tajikistan tentu bukan hal kebetulan, hal tersebut mencerminkan kekuatan tim berperingkat FIFA 116 tersebut.Â
Menang melawan Singapura dan Timor Leste adalah modal yang sangat penting bagi mereka. Dan akhirnya mereka lolos ke Semi Final untuk keempat kalinya dalam lima kali penyelenggaraan AFF Cup terakhir.Â
Rasanya untuk masuk final hanya menunggu waktu saja. Dan saya kira itu adalah lompatan besar Filipina, negara dimana sepakbola bukanlah olah raga favorit. Sebagaimana kita ketahui basket adalah olah raga terfavorit di Filipina, mungkin pengaruh Amerika Serikat yang pernah menjajah negeri ini.
Jika kita flashback beberapa tahun lalu, tepatnya pada tahun 2010, Irfan Bachdim dan kawan-kawan sudah cukup kesulitan mengalahkan mereka di semi final Piala AFF kala itu. Selang 4 tahun kemudian, yakni pada gelaran Piala AFF 2014 di Vietnam, akhirnya kekalahan melawan Filipina terjadi. Kurnia Mega, Rizky Pora dkk seolah tak berdaya melawan Younghusband cs.Â
Timnas pun takluk untuk pertama kalinya melawan Filipina dengan skor mencolok 0-4. Pada Piala AFF 2018, meski kita tidak kalah dari mereka, namun hal ini tak kalah menyakitkan, karena mereka berhasil medampingi Thailand lolos ke semifinal. Filipina serasa 5 langkah ke depan, sedangkan Indonesia 3 langkah ke belakang.
Lalu kenapa mereka bisa sehebat itu ? Laman football-tribe.com pernah mengulas bahwa ada beberapa hal yang menarik terjadi pada sepakbola Filipina.
Bantuan FIFA
Filipina sudah mengenal sepak bola sejak tahun 1890-an dan diikuti dengan terbentuknya tiga klub di Manila. Akan tetapi permasalahan yang mereka hadapi tetap sama sampai era milenium baru, yaitu dana dan animo penonton yang minim.
Kedua permasalahan tersebut tidaklah sepele, sepakbola di Filipina kalah pamor dibanding bola basket, sementara mengelola sepak bola diperlukan dana yang cukup besar. Konon masalah finansial ini sampai membuat beberapa pemain timnas sepakbola menyeberang alih profesi ke basket, dan membuat Filipina kesulitan menggulirkan liga secara rutin.
Berbekal pengalaman tersebut, Filipina kemudian melakukan diplomasi ke FIFA, mereka mengajukan proposal bantuan pengembangan sepak bola pada tahun 2000. Mereka mengajukan empat tahap pembangunan yang terus dilakukan secara berkala selama 13 tahun. Proyek tersebut kemudian disetujui FIFA.
Dimulai dari tahun 2000, FIFA membangun 6 kompleks sepakbola di Iloilo, Laguna, Negros Ocidental, Cagayan de Oro, Zamboanga, dan Agusan del Sur. Enam tahun kemudian, dibentuklah kantor federasi sepak bola Filipina (PFF) di Manila, lalu dilanjutkan renovasi stadion timnas, Rizal Memorial Stadium, pada Agustus 2012.
Proyek FIFA kemudian rampung pada tahun 2013, dengan dibangunnya pusat latihan di Bukidnon, yang terdiri dari lapangan dengan rumput asli, asrama, kamar ganti, dan perkantoran. Dengan infrastruktur yang telah memadai, United Football League (UFL) yang sejak 2009 hanya terdiri dari satu kasta, dapat melahirkan divisi dua pada tahun 2014.
Dengan infrastruktur yang telah memadai, AFC kemudian mengikutsertakan Filipina ke AFC President Cup, kompetisi untuk negara-negara yang baru mengembangkan bibit sepak bolanya seperti Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Pakistan, Sri Lanka, dan Korea Utara. Dua klub Filipina yang bermain di ajang itu adalah Global FC (sekarang bernama Global Cebu FC) pada 2013, dan Ceres-La Salle (sekarang bernama Ceres-Negros FC) pada tahun 2014.
Naturasilisasi yang Tidak Asal-asalan
Kembali ke tim nasional. Bergulirnya liga secara rutin dan proses pembinaan pemain muda yang terus berlanjut, mereka berharap dapat membawa peningkatan signifikan pada timnasnya. Namun, karena kebangkitan sepak bola mereka masih seumur jagung, Filipina butuh sesuatu untuk mempercepat akselerasi perkembangan timnasnya. Cara yang ditempuh mirip yang pernah Indonesia lakukan yaitu naturalisasi, tapi mereka tidak asal menaturalisasi.
Ada kriteria-kriteria khusus yang diterapkan PFF untuk menaturalisasi pemain keturunan Filipina di luar negeri, terutama Eropa. Mereka tidak hanya sekadar tercatat sebagai pemain di klub itu, tapi juga harus memiliki etos kerja ala pemain Eropa. Ini yang saya kira penting dan berbeda dengan naturalisasi di Timnas kita.
Mantan pelatih kepala Kaya FC, Fabien Lewis, pernah berkata pada FOX Sports Asia, "Saya yakin Filipina bisa sukses di Asia Tenggara dan klub-klubnya meraih hasil positif di Piala AFC, karena para pemain naturalisasi di sini bisa ikut membangun sepak bola nasional. Mereka memiliki segudang pengalaman di Eropa, dan Filipina mendapat keuntungan besar dari kultur yang terbangun itu."
"Semua tim besar memiliki akademi, dan para pemain naturalisasi tersebut ikut menyalurkan pengetahuan mereka pada pemain junior. Patrick Reichelt misalnya, lahir di Jerman dan ditempa oleh pelatih-pelatih top di Bundesliga. Lalu ketika bergabung dengan Global Cebu, ia memberikan banyak ide pada klub dari apa yang didapatnya di Jerman," katanya lagi.
Contoh lainnya adalah Younghusband bersaudara yang sudah menimba ilmu di Chelsea selama 1997-2004. Mereka bukan pemain yang hanya satu-dua tahun berkarier di klub top Eropa untuk mempercantik rekam jejak, tapi sudah dilatih selama bertahun-tahun di klub tersebut, sehingga DNA sepak bola Eropa sudah mengakar kuat dalam diri mereka.
Dengan seleksi ketat untuk naturalisasi ini, Filipina bisa membentuk tim nasional yang kompetitif. The Azkals yang dulu pernah terperosok ke peringkat 195 FIFA, kini naik drastis melampaui rival-rivalnya yang lebih berpengalaman di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan Thailand. Kini berdasar rilis FIFA 25 Oktober 2018, Filipina bertengger diposisi 116 hanya kalah dengan Vietnam 102. Sedangkan Indonesia tercecer di peringkat 160.
Lalu mengapa para pemain keturunan tersebut mau membela Filipina yang sama sekali tidak ternama di percaturan sepak bola internasional? Rasanya penjelasan football-tribe.com ini sangat penting untuk kita ketahui
Ada faktor diplomasi Dan Palami di sana, yang akan kita bahas di bawah ini.
Faktor Dan Palami
Siapakah dia? Dan Palami adalah manajer timnas senior Filipina sejak 2009, dan ia juga diberi kewenangan untuk ikut membangun sepak bola Filipina. Ia terkenal sebagai negosiator ulung, yang menjadi aktor utama di balik kedatangan Michael Wei, pria Jerman eks pelatih Timnas U-17 Rwanda, yang menjadi tonggak awal dari kemajuan timnas Filipina.
Palami pula yang berjasa besar membawa Thomas Dooley sebagai pelatih timnas Filipina. Dooley merupakan mantan kapten timnas Amerika Serikat, dan pernah menjadi asisten pelatih Jrgen Klinsmann di tim berjuluk USMNT itu. Dengan kemampuan berbahasa yang baik, Dooley tidak kesulitan berkomunikasi dengan pemain-pemain Filipina yang mayoritas adalah naturalisasi, pun hidup di Filipina yang sedikit banyak menganut kultur Amerika Serikat karena pernah dijajah negara tersebut.
Meski demikian, Dan Palami tidak memulai kiprahnya dengan mudah untuk membangun timnas Filipina. Ia sempat gagal total saat timnas junior kandas di kualifikasi Piala AFC U-19 tahun 2010, dan di awal masa jabatannya memimpin timnas senior, ia banyak menggunakan uang pribadi untuk mendanai tim, karena kesulitan mendapat sponsor.
Dana Palami dulu didapat dari bekas perusahaan miliknya, Autre Porte Global, yang bergerak di bidang pembangunan rel kereta. Perusahaan tersebut juga menjadi sponsor utama Global Cebu FC, klub yang berada satu grup dengan Bali United di Piala AFC 2018 lalu.
Sebagai lulusan jurusan akuntansi, Dan Palami paham betul bagaimana mengelola keuangan, dan ilmunya tersebut dikombinasikan dengan pengalaman sebagai mantan bos perusahaan, diaplikasikan dengan sangat baik untuk membina timnas Filipina. Di awal masa jabatannya, ia mengumbar janji akan membawa Filipina menembus 100 besar ranking FIFA. DI Indonesia, adakah ketua PSSI yang berani memasang target dan mempertanggungjawabkannya ????
Kini di tahun 2018, Filipina semakin dekat dengan impiannya itu. Menempati peringkat 116 dan lolos semifinal Piala AFF 2018 serta lolos Piala Asia 2019, skuat asuhan Thomas Dooley berpotensi besar untuk menembus 100 besar jika meraih hasil positif.
Sebuah lompatan  pesat, dari negara yang 24 kali perjumpaannya dengan timnas Indonesia, hanya menang 2 kali, imbang 1 kali dan kalah 24 kali. Hanya memasukkan 20 gol, dan kemasukan 106 gol. Rasanya iri dengan mereka, hanya perlu 7 tahun sudah menjelma menjadi kekuatan baru di Asia Tenggara, tentu dengan etos dan semangat kerja yang konsisten. Saat usia Liga Indonesis 24 tahun, tak sekalipun Timnas mengangkat piala. Sepakbola memang kejam (kepada Indonesia), Jenderal !!
Referensi : football-tribe.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H