Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 merupakan salah satu jawaban dari fenomena perkawinan usia anak yang sebelumnya masih menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat karena adanya sudut pandang yang berbeda.Â
Di mana hukum legal secara undang-undang menyatakan sah untuk perempuan yang menikah di usia 16 tahun asalkan mendapatkan izin dari orang tuanya, dan hak anak yang menyatakan seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah statusnya adalah anak yang seharusnya masih memerlukan bimbingan, pendidikan dan pengawasan dari orang tua.
Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun."
Sementara itu di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan definisi "anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan."Â
Sehingga jika kita melihat dari kedua undang-undang ini bahwa perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah merupakan perkawinan anak.
Undang-Undang Perkawinan itu sendiri mengandung prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.Â
Menggarisbawahi kalimat "masak jiwa raganya" dan "untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat" maka jelas disini bahwa harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih di bawah umur. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) huruf (c) yang menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
Hak anak untuk bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, dan ketidakadilan seharusnya ditegakkan dengan juga memberikan kepastian hukum bagi tidak adanya perkawinan pada usia anak.Â
Dalam hal ini Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah membuka celah untuk dilakukannya perkawinan anak, selain itu norma tersebut juga memberikan kesempatan untuk terjadinya eksploitasi anak baik secara ekonomi maupun seksual.
Permasalahan Yang Menjadi Alasan Melangsungkan Pernikahan Usia Anak
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas) 2013 dan 2015 pada buku yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2017 menunjukkan kecenderungan anak yang kawin sebelum usia 18 Tahun tidak menamatkan pendidikannya hingga SMA, pada tahun 2015 hanya terdapat 8,88 persen anak perempuan Indonesia yang dapat menyelesaikan pendidikan hingga SMA,Â