Mohon tunggu...
Hartono
Hartono Mohon Tunggu... Penulis - Seorang yang suka sekali menulis

"Kurang Cerdas Dapat Diperbaiki Dengan Belajar. Kurang Cakap Dapat Dihilangkan Dengan Pengalaman. Namun Tidak Jujur Itu Sulit Diperbaiki." (Moh. Hatta)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Program Profesi Advokat

13 Mei 2019   08:14 Diperbarui: 13 Mei 2019   08:24 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari pinterest.com

Pinterest/Ashlee Rudnick

Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengakui Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) mengandung kelemahan yang menimbulkan polemik di kalangan advokat terkait pendidikan advokat. Karena itu, Kemenristekdikti berencana bakal merevisi Permenristekdikti yang terbit pada 22 Januari 2019. Demikian sekilas artikel yang ditulis oleh Rofiq Hidayat pada situs HukumOnline.com pada tanggal 5 April 2019 bertajuk "Kemenristekdikti Bakal Revisi Aturan Program Profesi Advokat."

Peraturan Menteri mengenai Program Profesi Advokat tersebut dirasakan oleh beberapa kalangan telah menghilangkan peran advokat dalam melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan pengangkatan advokat sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Advokat. 

Dimana dalam Permenristekdikti tersebut menjelaskan bahwa perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program profesi advokat dengan syarat yakni perguruan tinggi memiliki program studi ilmu hukum program sarjana, akreditasi minimal B dan bekerjasama dengan organisasi advokat.

Tentunya hal ini memberikan dampak positif dan juga dampak negatif bagi mereka yang bercita-cita ingin mengambil profesi yang terhormat (officium nobile) yang sering kita kenal dengan nama Advokat. 

Dengan berubahnya Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dari non formal menjadi formal yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi advokat maka pendidikan yang ditempuh paling cepat selama dua semester atau satu tahun diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan bagi Advokat dalam memberikan pelayanan jasa di bidang hukum.

Namun dampak dari diberlakukannya Permenristekdikti tersebut, dimana masa studi program profesi advokat ditempuh paling lama 3 (tiga) tahun akademik setelah menyelesaikan program sarjana dapat menjadi permasalahan tersendiri bagi mereka yang telah menyelesaikan program sarjana ilmu hukum melewati masa 3 (tiga) tahun tersebut. 

Aturan ini seakan menutup kemungkinan bagi mereka yang ingin menjadi seorang advokat seperti pensiunan PNS, kepolisian, kejaksaan, dan lainnya. Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mana tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Selain itu dampak yang dapat terjadi adalah berkurangnya ketersediaan advokat yang memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, hal ini dikhawatirkan akan semakin sulit diaksesnya keadilan bagi pencari keadilan atau masyarakat tidak mampu dan bagi advokat yang mendedikasikan jasanya untuk melayani masyarakat tidak mampu tersebut.

Hal ini juga berdampak pada Undang-Undang yang mengatur mengenai Bantuan Hukum dimana dalam hal ini pemerintah menyediakan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin di Indonesia sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. 

Yang dalam hal ini berarti negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak terhadap bantuan hukum khususnya bagi masyarakat tidak mampu.

Dengan melihat aturan yang termuat dalam Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat, sehingga perlu waktu kurang lebih sekitar 8 (delapan) tahun untuk menjadi seorang advokat, faktor biaya yang diperlukan seorang menjadi advokat menjadi cukup tinggi dan juga jangka waktu yang panjang akan dirasakan akan semakin mempersulit seseorang untuk menjadi advokat. Belum lagi apabila ditambah dengan masa waktu magang yang diberlakukan dalam organisasi advokat sebagai persyaratan seseorang dapat menjadi advokat.

Permenristekdikti tentang Program Profesi Advokat tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat pada Peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Program Studi dan Program Pendidikan Tinggi pada jenis pendidikan profesi dan spesialis diatur dalam peraturan menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi terkait. 

Secara formil, pemberian kewenangan dalam Permenristekdikti tersebut telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang-undangan, dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan undang-undang yang mendasarinya.

Sehingga tidak relevan apabila kita membandingkan antara Undang-Undang Advokat dengan Peraturan Mentri Ristekdikti yang merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan pemerintah terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pengelolaan perguruan tinggi tersebut. 

Hal yang keliru diperlihatkan dalam Permenristekdikti pada kosideran mengingat yang merupakan sebagai suatu landasan yang bersifat yuridis pada bagian pertama memasukkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagai dasar hukum, karena apa kita melihat di dalam Undang-Undang Advokat tidak ada satupun pasal atau alinea yang menjelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan khusus profesi advokat akan diatur lebih lanjut dalam sebuah peraturan menteri yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan tersebut, dalam hal ini adalah Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Advokat menyebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. 

Terhadap pasal tersebut, telah diajukan uji materiil pada Tahun 2013 dan Tahun 2016 dengan pertimbangan bahwa yang berhak menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) adalah organisasi advokat (putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 103/PUU-XI/2013), dan untuk menjaga peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan Undang---Undang Advokat, maka penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) memang seharusnya diselenggarakan oleh organisasi atau wadah profesi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum (putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016).

Undang-Undang Advokat secara jelas menyebutkan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. 

Apabila kita melihat lebih lanjut pada bagian penjelasannya maka yang dimaksud dengan advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. 

Sedangkan yang dimaksud dengan bebas adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Apabila kita melihat dari penjelasan di atas tersebut maka jelas bahwa advokat memiliki status sebagai penegak hukum sama dengan halnya polisi, jaksa dan hakim yang kita kenal dengan istilah Catur Wangsa Penegak Hukum. 

Jika demikian halnya menjadi pertanyaan bagi kita semua dengan diberlakukannya Permenristekdikti mengenai Program Profesi Advokat, apakah ini menjadi terobosan awal pemerintah mengambil alih pendidikan non formal yang dilaksanakan oleh Catur Wangsa Penegak Hukum menjadi pendidikan formal agar kualitas dan kemampuan para penegak hukum tersebut lebih baik pada masa depan dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat Indonesia. 

Tentunya langkah awal yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini di wakili oleh Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) adalah duduk bersama dengan pihak terkait baik perguruan tinggi dan organisasi advokat yang ada di Indonesia untuk meminta masukan dan pendapat terkait Program Profesi Advokat sehingga dapat merumuskan suatu kebijakan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Perlu dilakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, hal ini dirasakan sangat penting mengingat peran dan fungsi advokat dalam memberikan jasa pelayanan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) bagi masyarakat tidak mampu. 

Contohnya dengan melakukan revisi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Advokat yang mana menjelaskan "yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat", dapat dirubah dengan memasukan klausul "atau telah mengikuti pendidikan program profesi advokat yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi sesuai ketentuan yang diatur didalam Peraturan Menteri Ristekdikti." Dalam artian mereka yang ingin menjadi seorang advokat dapat memilih 2 (dua) opsi apakah itu melewati jalur non formal ataupun jalur formal.

Melakukan revisi terhadap Pasal 3 ayat (2) Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat yang menyebutkan "masa studi program profesi advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempuh paling lama 3 (tiga) tahun akademik setelah menyelesaikan program sarjana." Ketentuan ini dapat dibuat pengecualian bagi mereka yang memiliki pengalaman minimal 5 (lima) tahun pada bidang hukum dalam menangani perkara atau pernah ikut peran serta sebagai paralegal dalam sebuah lembaga bantuan hukum. 

Hal ini dapat memberikan peluang bagi mereka yang ingin menjadi seorang advokat namun telah melewati masa selama 3 (tiga) tahun setelah menyelesaikan program sarjana. Bagi mereka yang masih dalam masa waktu 3 (tiga) tahun akademik dapat melanjutkan program profesi advokat yang dikehendaki, bagi mereka yang lewat masa 3 (tiga) tahun akademik dapat menempuh jalur Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

Merevisi Pasal 5 ayat (1) Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat dimana menyebutkan "mahasiswa program profesi advokat yang dinyatakan lulus berhak memperoleh gelar advokat dan sertifikat profesi advokat". Dalam prakteknya apabila beracara di depan pengadilan, yang diperlukan selain Kartu Tanda Anggota sebagai seorang Advokat adalah Berita Acara Sumpah yang dimana pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat menjelaskan bahwa "sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya." 

Dari hal tersebut menjadi pertanyaan bagaimana fungsi dari "sertifikat profesi advokat" yang dikeluarkan oleh salah satu perguruan tinggi yang berakreditas minimal B. Apakah sertifikat profesi advokat itu nanti akan menggantikan sertifikat kelulusan ujian pendidikan advokat yang dikeluarkan oleh organisasi advokat sebagai persyaratan untuk dilakukan penyumpahan nantinya di Pengadilan Tinggi;

Polemik mengenai pendidikan profesi advokat hendaknya dapat disikapi secara positif yakni berguna untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan advokat dalam memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkannya, namun kiranya pemerintah dalam hal ini jangan diskriminatif hanya mengeluarkan peraturan untuk pendidikan Program Profesi Advokat saja. 

pPerlu dipertimbangkan pendidikan bagi program profesi hukum lainnya seperti yang telah diatur oleh pemerintah pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dengan perubahan yang dilakukan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun