Mohon tunggu...
Suharti
Suharti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang Pasar/Ibu Rumah Tangga

Menulis apapun selama kau mampu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ternyata Kejujuran Penyampai Pesan Kasih Sayang Keluarga

22 Februari 2018   13:49 Diperbarui: 7 Maret 2018   11:09 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Doakan saja aku pergi, semoga pulang dompetku, terisi..."

Petikan bait lagu tadi, rasanya sudah melelehkan sedikit emosi jiwa di kepala, akibat macet  di jalan yang terjadi hampir setiap sore harinya, sehabis bekerja.

Hemm.. Berjalan pelan-merayap, menghibur diri sambil mendengarkan lagu pagi pulang pagi ini seakan kaya' mengundang vokalis Armada-nya, Rizal yang berwajah cool itu, tepat berada di samping saya, dan mengingatkan, bagaimana keadaan keluarga tercinta di rumah? Heduh kiraaiin...

Menyimak lagunya, rupanya cerita di lagu itu, bisa jadi sebelas-duabelas dengan kisah kita, iya kita sebagai orang tua khususnya. Dengan plus-plus kesamaan lainnya, yakni segudang tuntutan akan kewajiban membahagiakan keluarga, dari banyak sisi.

Sisi ekonomi bisa jadi diantaranya. Mengais sisi yang satu ini, bisa jadi memakan waktu dari pagi hingga pagi lagi, jika terus dituruti, sama seperti bait-bait di lagunya. Coba saja dengerin!


Masih terperangkap macet, dan mendengarkan musik Armada dalam mobil, sesekali saya melihat ke kanan dan kiri, lalu tersentak meliat-lihat  jam di pergelangan tangan saya. Ada apa?

"Astaga, udah jam 5 sore aja ternyata," Gumamku dalam hati.

Seketika saya ambil Hp saya, sembari mengecek lagi sms masuk yang belum  sempat terbaca sedari tadi.

"Mah, cepetan pulang, sepertinya mo' banjir, awannya item banget di rumah," kalimat yang tertera di sms yang dikirim oleh Melati, anak saya yang pertama.

"Segera say, ni mau deket lagi kok," rayu saya membalas sms-nya, sedikit white-lying padahal jarak yang tersisa lumayan masih jauh ke rumah.

Awal tahun, dari january sampai February selalu saja menyisakan  rinai hujan, yang bakalan mengundang banjir. Dan terkadang alasan banjir-pun terbukti selalu membuyarkan rencana saya dengan anak-anak untuk kemana-mana

Mengingat itu, saya menjadi banyak "berdosa" karena saya selalu menunda saja kebersamaan bersama kedua anak saya yang kini sudah duduk di bangku SMP. Ya apalagi alasannya kalau cuman karena sibuk bekerja, klasik!

"Semoga tidak turun hujan dong," pintaku dalam hati.

Tuhkan bener, rinai hujan mulai merintik, membelai kaca mobil saya, itu pertanda hujan akan segera turun. Alamat deh, turun hujan lagi!

*

Sayup-sayup suara adzan magrib berkumandang, menyambut saya, yang baru tiba di rumah, setelah berhasil berjuang menghindari aliran banjir di jalan raya. Lekas-lekas saya masuk dan berjumpa dengan anak-anak saya di dalam rumah.

"Duh, maaf, lama, mesti muter, banjir dek," jelasku kepada mereka, sambil mengusap kepala mereka. Mereka mengangguk saja, dan membalas dengan senyum polosnya.

"Ya udah, mama, magriban dulu ya," ucapku, sambil berlalu dari mereka.

Rupanya mereka telah cantik-cantik, dan telah bersiap untuk berangkat ke mall malam ini. Rencananya malam itu, kami akan dinner bareng sambil mencari koleksi buku sekolah buat Lani, adik Melati.

Selesai sholat, saya bergegas kembali menghampiri mereka, dan terkaget melihat penampilan mereka yang tampil rapih tadi. Ehh, iya saya baru sadar, harus menepati janji saya, iya janji untuk bareng-bareng ngumpul di suatu tempat yang sudah lama tidak terlaksana.

"Yah, sepertinya gagal maning kita ke mall malem ini, banjir dijalan-jalan sih," jelasku kepada mereka, sambil membuka gorden jendela, memastikan kondisi hujan masih terus turun dengan lebatnya.

Ilustrasi I Pexel.com
Ilustrasi I Pexel.com
"Oiya, mama bawaiin nasi goreng tu di dapur. Yukk kita makan," ajakku kepada mereka.

Seakan paham, merekapun juga lekas untuk menuruti ajakkan-ku untuk segera menikmati sajian nasi goreng yang saya beli di perjalanan menuju pulang, barusan. Menikmati nasi bungkusan sudah bisa menjadi menu lezat kami.

Ya maaf saja,  saya terbiasa membelinya langsung di resto atau PKL terdekat. Bisa dihitung dengan jari untuk meracik memasak menu keluarganya dan menghidangkanya kepada anak-anak ketika malam datang.

Nah, besok kebetulan hari libur panjang, jumatnya hari raya imlek, sabtu dan minggu weekend-an. Menjadi waktu yang tepat untuk mengikat janji kembali, bepergian bersama mereka lagi. Lagi-lagi, sayalah yang memulai untuk menawar ajakan bepergian bersama anak-anak besok malamnya dan menjelang week-end dengan mudahnya.

"Besok malam, semoga ga ujan lagi ya? Suer, kita bakal jalan bareng deh," janjiku lagi, kepada mereka.

"Kalau ujan, bearti ga jadi lagi deh," timpal Melati menyahutku.

Aku hanya tersenyum, dan mengajak mereka berdoa agar besok malam tidak hujan lagi.

"Ya sudah, sekarang boleh nonton tv terus tiduran ya, besok jangan lupa bangun pagi, tetap bersih-bersih dirumah meski libur, oke?," ajakku, sambil menutup percakapan dengan mereka.

"Sipp,deh," ujar Lana, mengiyakan, dan Melati beranjak berlalu ke kamarnya.

***

Ditemani rinai hujan, malam itu saya harus mengerjakan pekerjaan rumah yang sulit sekali, sendirian. Apalagi kalau bukan berfikir bagaimana bisa menepati janji kepada anak-anak. Sudah lama memang kami, iya saya dan kedua anak saya tidak kumpul bersama, seraya tertawa gembira tanpa batasan waktu yang cepat memisahkan kami, iya seperti malam ini.

Sebagai single-fighter, saya harus merangkap jabatan sekaligus sebagai ayah, karena 2 tahun lamanya, saya dan suami saya telah berpisah. Tapi saya anggap inilah yang saya sebut tantangan hidup, mengelola kebahagian tentu akan menjadi tantangan yang terasa indah.

Sebagai pedagang kelontong di pasar tradisional, guyuran keuntungan dari berdagang dirasakan ketika hari libur, dimana para pengunjung pasar banyak menghamburkan uangnya. 

Itulah sebabnya, buah simalakama saya slalu kecap, terkadang harus ingkar janji dengan anak-anak untuk berkumpul bersama di waktu week-end, untuk bercanda dan berbagi kebahagiaan  di sepanjang hari.

Yah, kebetulan akhir tahun 2017 dan awal 2018 lalu, kami melewatkan momen seru untuk itu. Obral janji yang sering saya berikan untuk mewujudkannya terkadang membut mereka 'kebal', bahwa hal itu juga awam untuk terwujud, karena mungkin mereka sadar, ibunya kini sibuk sebagai tulang punggung keluarga. Hingga hari ini, tetap saja, setiap janji saya menjadi tanda tanya, antara ada dan tiada.

Sisi finansial keluarga saya, yang maju mundur, selalu membayangi kecukupan ekonomi kami. Terkadang itu yang menghalalkanuntuk membatalkan janji-janji saya dan anak-anak. Selain kebetulan faktor alam, berupa hujan dan banjir yang terjadi bersamaan. 

Namun dimensi logika harusnya, tidak begitu-kan? mereka bukan anak-anak lagi, dan itu hal yang membuat PR ini harus saya kerjakan malam ini juga.

****

Pagi membelai, embun masih segar terasa, awan tebal masih menjuntai di langit. Saya telah merasa malam ini bakal hujan lagi deh. Ya, memang harus ada Plan B untuk mengganti malam ini, jika firasat itu benar.

Saya lalu melengok ke dapur, dan bergegas melihat perkakas lama yang tersimpan rapi belum terpakai. Ada fancy grill, itu loh panci yang bisa buat bakar-bakar dan memang belum terpakai.

ilustrasi I Pexel.com
ilustrasi I Pexel.com
Lani dan Melati suka banget ayam dan ikan bakar. Kami selalu menyantap menu itu di resto yang kami singgahi jika berkumpul dengan keluarga saya dulu, ketika masih komplit bersama ayahnya.

Jujur, untuk membakar sendiri menu itu, saya kurang bisa, membayangkan arangnya yang panas, asapnya yang menyebar dan resiko keselamatan ketika membakarnya menjadi momok yang menakutkan untuk bisa mandiri.

Tapi rasa takut coba saya kalahkan dengan tekad ini, iya Plan B tadi, yang akan mengganti Plan A untuk hang out dan dine-out, jika benar-benar malam ini turun hujan.

"Baiklah,saya akan coba," saya berbicara sendiri, dan lantas pergi.

*****

Akhirnya malam hari menjemput, dengan awan hitam dan hujan lebat yang berhasil mengepung kami. Kami akhirnya hanya terperangkap di rumah saja. Ujian itu memang harus dikerjakan malam ini,  iya dengan menghangatkan kembali kebersamaan keluarga yang terasa membeku oleh dinginnya malam akibat hujan bercampur rasa kekecewaan.

Ahh, tapi jangan khawatir, sedari siang saya berhasil mengalah untuk tidak berjualan di pasar, saya sibuk menyiapkan potongan-potongan ayam dan ikan yang telah stand-by di kulkas, untuk dibakar di fancy grill itu.

Ilustrasi Pembakar Seba Guna Fancy Grill Itu
Ilustrasi Pembakar Seba Guna Fancy Grill Itu
Pede saja, pakai resep dadakan, apaan coba? saya hanya melumurkan bumbu, dari bawang merah dan putih, cabe rawit, ketumbar lengkuas, jahe, kunyit garam dan gula, semua diblender-in aja, jadi satu.

Lalu setelah ayam dan ikannya basah terlumuri oleh bumbu itu, saya ungkep si ayam bersama daun salam , air asam dan kecap manis kental. Setelah empuk ditiriskan sebentar.

 Nah sudah, ayam dan ikan siap deh untuk dibakar. Saya kok optimis sekali, membakar potongan ayam dan ikan akan berhasil menghangatkan kebersamaan kami malam itu. Mungkin perasaan itu baru tersadar karena gampang atau apa ya?

Benar saja, Lani dan Melati menyambut dengan semangat, mereka mengambil peran masing-masing, Lani mengambil potongan ayam dan ikan tadi, lalu segera membakarnya tanpa rasa takut menggunakan Fancy-Grill yang terhubung langsung dengan sumber api kompor gas. 

Apalagi kompor gasnya menggunakan si-pink, tabung gas dari BrightGas. Duh kokjadi aman rasanya berkreasi dengan jilatan-jilatan apinya.

Sedangkan Melati, sibuk meracik sambel terdahsyat menemani si ayam bakar buatan Lani, yang segera akan matang. Nah, sedangkan saya menyiapkan piring-piring dan gudukan nasi yang seketika akan tersedia menggunakan Rice-cooker.

Huah, kenekatan malam itu, menjadi bukti jika dapur tidak sebuas yang saya pikirkan sebelumnya. Dapur benar-benar bisa membakar semangat kami untuk menghadirkan kehangatan keluarga kami.

Terlepas dari rasa ayam dan ikannya enak apa tidak, kebersamaan pada malam itu, menjadi titik awal, dimana kebahagian itu simple dan selalu ada terhampar di depan mata kita, untuk kita nikmati bersama. Itulah resep kenikmatan yang tiada-tara, yakni kebersamaan tadi.

 "Awas apinya kecilin sayang, nanti gosong tuh ikannya," ucapku kepada Melati yang terus serius memperhatikan bakarannya.

Satu persatu potongan ayam dan ikan matang dan berkumpul di piring besar. Saatnya menyantap hasilnya. Lani sudah siap dengan nasi, menunggu ikan bakar itu mendarat di atasnya.

"Wah kelihatannya enak ni mah," ujar Lani.

"Kalau tidak enak, uang kembali," sahut Melati.

Kamipun tertawa terbahak-bahak kemudian. Sambil mencolek dagingnya di atas sambal yang pedas itu.

"Huaah, pedassss, toolong," teriak Lani, sambil meminum air putih.

Ilustrasi Kebahagian Ketika Berkumpul Dengan Anggota Keluarga Di Rumah I pexel.com
Ilustrasi Kebahagian Ketika Berkumpul Dengan Anggota Keluarga Di Rumah I pexel.com
Keseruan ini tak habis-habis membakar waktu kami, menghangatkan malam itu. Entah bisa disebut momen valentine, karena waktunya mepet dengan hari 14 february, minggu lalu, atau apalah. 

Namun momen ini akan menjadi titik awal bagi saya, untuk dapat memelihara kejujuran dalam menjaga kebersamaan dari hal terkecil apapun di dalam rumah. Karena kejujuran akan menyampaikan kasih sayang kepada orang yang kita sayangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun