Dalam perjalanan, kami saling diam. Seperti biasa. Dia cuma sekali bilang ke aku: cepat dikit sudah telat ini. Itu saja. Huft, seenaknya menyuruhku cepat-cepat. Ini motor-motorku juga. Aku meruntuk dalam hati.
“Mending aku yang depan deh, Ren. Pelan sekali kamu nyetirnya. Lagian kamu nyetirnya nyeremin amat. Takut nabrak aku.”
“Ini juga sudah cepat,” ucapku agak lantang. Kesal juga dikata-katain ama dia.
“Ini hampir jam 7, Ren.”
“Iya aku tau.” Aku melirik jam di tanganku. Memang hampir jam 7. Sesaat setelah mataku melirik jam tanganku, aku mendapati taksi yang berjalan di depanku berhenti mendadak.
Ciiiiitttttttttttttttttttttttttt…aku menekan rem mendadak. Motorku hampir menabrak bagian belakang taksi itu. Dadaku naik turun karena terkejut. Aku lebih terkejut saat menyadari tangan Landung sudah melingkar di pinggangku.
“Arghhhhhhh…..” aku menjerit di tengah jalan.
Kejadian itu membuatku jera jika harus berboncengan dengan Landung. Landung berulang kali minta maaf dengan alasan ‘tidak sengaja’, ‘kaget’, ‘terkejut’. Aku tak sepenuhnya marah padanya. Toh, itu juga karena kesalahanku. Tapi yang membuatku semakin tak enak dengannya, dia menjadi agak malu setiap bertemu denganku. Tak ada yang tau kejadian itu kecuali aku dan dia. Maksudku, si Bari, Aziz, atau teman-teman kampus tidak ada yang tau.
Pagi ini, aku bertemu dengan Landung di halaman belakang. Dia masih tinggal di rumahku. Dia baru akan pindah ke tempat kosnya sore nanti. Landung memakai celana pendek olahraga, kaos tanpa lengan yang membuat bulu ketiaknya sedikit terlihat, ada headset di telinganya. Sepertinya dia baru saja lari pagi.
Aku sendiri sedang menyirami bunga-bunga di pot, kebiasanku di pagi hari. Biasanya ayah juga sudah berada di halaman belakang pagi-pagi seperti ini. Beliau selalu menyemprot burung-burung peliharaannya dengan air, lalu menggantungkan kandangnya di pohon atau di tiang bambu yang sengaja beliau buat untuk menaruh kandang tersebut. Tapi sejak pulang kemarin sore, beliau sepertinya tidak enak badan. Kata ibu, malam hari ayah minta dikeriki. Badan sudah sepuh memang seperti itu. Dikit-dikit sakit. Aku berulang kali menyuruh ayah agar banyak-banyak istirahat dan tidak terlalu capek bekerja.
“Kamu ikut anak-anak ke Pantai Sundak?” tanya dia. Tumben berani menyapaku, batinku.