“Ndung, neh si Erena gag suka ama lo. Inget ya, kalo dia suka lo tolak aja. Haha,”
Entah dari mana asalnya, Landung memang sudah berdiri di sampingku. Dia memakai celana pendek selutut, kaos oblong, dan handuk yang menggelantung di lehernya.
Ini seperti jebakan maut yang ditujukan padaku. Mukaku tambah memerah, malu. Landung hanya tersenyum-senyum saja. Tak menanggapi. Dia tau sahabatnya sedang bergurau padanya.
Kami menjadi canggung saat bertemu, maksudku Landung dan aku. Setelah peristiw sore itu. Sebenarnya sejak kali pertama, kami memang sudah canggung. Hanya bicara seperlunya. Standar orang yang baru saja kenal, malu-malu.
“Mau ke mana?” tanyaku suatu sore. Padahal aku tau, dia mau mandi.
“Mandi,” jawabnya, si Landung itu.
Sudah itu saja. Tak ada yang lain. Dia lalu berlalu, aku pun begitu. Begitu saja kalo bertemu. Di meja makan pun sama. Tak bicara bila tak ada topik yang memaksa kami untuk ikut bicara.
Namun entah, malam ini ada yang berbeda dengannya. Bukan karena dia memakai kaos warna merah marun dan jeans hitam, serta rambut yang digel rapi yang membuatnya menjadi sosok lelaki yang sempurna. Tampan. Sangat tampan. Tapi karena dia menyapaku, di ruang televisi. Lalu kami duduk berdua saja. Bari dan Aziz sedang pergi ke swalayan membeli cemilan. Rencananya malam ini kami akan nonton film bareng.
“Kau teknik industri juga?” tanya dia. Aku menggangguk. Berarti kita akan bertemu tiap hari, batinku. Aku tersenyum, senang.
Diam. Dialog yang terjadi hanya antara 2 tokoh pemeran utama sinetron di salah satu stasiun swasta. Si cewek berdialog dalam hati. Si cowok pun demikian. Lalu dua-duanya berdebat karena si cowok dituduh selingkuh. Tapi si cowok mengelak.
“Aziz sama Bari lama bener ya. Jauh apa?” dia bergumam sendiri.