Akhir-akhir ini istilah disruption cukup bikin kacau dunia persilatan. Sesuatu yang telah berjalan dengan stabil dan konsisten, ternyata buyar karena inovasi baru. Alhasil, terjadi perubahan cukup mendasar di dunia bisnis.
Banyak toko konvensional yang tutup lantaran toko online. Usaha konvensional gulung tikar oleh geliat bisnis online. Namun dari sekian banyak perubahan-perubahan radikal yang terjadi, tampak bahwa yang mampu bertahan dan terus berkembang adalah mereka yang kreatif dan punya rencana jauh ke depan atau visioner.
Betapapun gangguan nyelonong dari kanan kiri atas bawah, mereka yang berani berkreasi radikal dan visioner adalah mereka yang ternyata mampu mengatasi kondisi. Dan memang bila dilihat dari sejarah-sejarah dunia yang besar, keberanian mengambil langkah radikal menjadi jawaban atas apapun situasinya.
Namun semua tergantung situasi dan kondisi di negara yang bersangkutan. Mungkin di negara Adikuasa, penerapannya beda dengan negara berkembang. Coba kita kembali telaah sekitar 25 tahun silam atau sekitar 1990-1991. Dunia cukup gempar dengan keputusan Amerika Serikat (AS) menyatakan perang lanjutan di kawasan Teluk Persia. Di AS sendiri, terutama di kawasan Wallstreet, New York, update situasi Perang Teluk II di televisi saban hari disiarkan.
Radikalisme Bush
Perang yang berlangsung sekitar 42 hari itu dinamai "Operation Desert Storm" yang pada akhirnya membuat Irak kewalahan. Serangan masif dari udara dan darat itu akhirnya berujung pada kesepakatan Irak terhadap AS pada 28 Februari 1991, yakni perjanjian bagi Irak untuk menghormati koalisi dengan Washington.
Serta syarat perdamaian dari PBB. Berdasarkan data Congressional Research Service, dikutip dari Sindo News pada artikel Lima Perang Termahal sejak Perang Dunia II biaya operasi yang dikeluarkan AS dalam Perang Teluk sekitar USD 102 miliar.
Pada 1991, bila ditilik dari kacamata ekonomi, negara Adikuasa tersebut sebenarnya sedang resesi. Presiden AS saat itu, George H.W. Bush -yang memimpin di periode 1989-1993 mendapat warisan kondisi perekonomian yang kurang bagus dari presiden sebelumnya, Ronald Reagan. Pada 1990 tepatnya per 1 Juli, Bush menyatakan negaranya resesi ekonomi.
Dalam hitung-hitungan defisit-surplus perekonomian Presiden Bill Clinton yang pernah dipublikasikan seorang ekonom AS Jim Luke pada kursus LCC Econ, 2013, tercatat bahwa defisit ekonomi di bawah kepemimpinan Bush dalam tahun fiskal federal AS 1991, menyentuh hingga USD 290 miliar. Kemudian oleh Clinton, kondisi berhasil berbalik hingga mencapai surplus USD 236 miliar, sepuluh tahun kemudian atau pada akhir 2000.
Namun yang patut dicatat dalam Perang Teluk Persia tersebut, upaya Clinton dipermudah oleh kemenangan Bush di perang tersebut. Dengan kemenangan AS di Perang Teluk, hegemoni AS di kawasan Timur Tengah -yang merupakan kawasan dengan 70% cadangan minyak dunia, menjadi luas. Disitu AS mendapat banyak keuntungan.
Jadi meskipun Perang Teluk menggerus perekonomian AS hingga nyaris sepertiga dari defisit keuangan negara, namun mereka mampu meraih keuntungan politik hingga perekonomian AS mulai menuai surplus pada 1997. Boleh juga radikalisme si Bush.
Lalu bagaimana Indonesia?Â
Saat ini befisit transaksi berjalan di Indonesia mencapai 1,65% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dengan cadangan devisa negara USD 127 miliar. Mungkin bila cadangan devisa tersebut dipakai untuk perang, bila AS pada 1991 bisa berperang hingga 42 hari, Indonesia hanya bisa bertahan seminggu atau mungkin kurang.
Cadangan devisa Indonesia ini diklaim Bank Indonesia cukup untuk membiayai hingga maksimal sembilan bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sehingga setelah sembilan bulan, Indonesia harus kembali berupaya mencari tambahan devisa lagi untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara ini. Dan mungkin ini pula yang menyebabkan Indonesia kerap kali harus mengalah bila dilecehkan negara tetangga.
Indonesia harus memiliki banyak cara untuk bisa mendapat keuntungan dari dunia. Bila dulu AS pasca Perang Teluk mendapat keuntungan dari hegemoni di kawasan raja minyak Timur Tengah dan juga dari berakhirnya perang dingin dengan Uni Sovyet, melalui pesatnya perkembangan dunia informasi, maka Indonesia harus punya keuntungan yang sama. Setidaknya yang bisa memberi negara ini pemasukan besar dan konsisten hingga beberapa dekade. Tapi keuntungan dalam bentuk apa?
CSR dan Syariah
Mungkin yang paling utama dapat dijadikan senjata ekonomi adalah sektor UMKM atau usaha kecil yang riil perputaran ekonominya. UMKM, seperti sudah diketahui secara umum, menjadi penolong pasca krisis moneter Indonesia 1998. Bahkan negara maju sendiri, menolong negaranya yang krisis dengan utang karena sektor riil mereka sangat lemah.
Namun konsep pengelolaan UMKM yang radikal pulalah yang harus dilakukan Indonesia agar mampu memasok kehidupan baru bagi negara. Beberapa konsep radikal pengelolaan UMKM yang dapat dilakukan saat ini, setidaknya, adalah melalui peran revolusi CSR (Corporate Social Responsibility) serta pengembangan keuangan syariah, dalam hal ini perluasan fungsi zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
Bahkan mengedepankan aspek governance dengan menjalankan proses survey dan penilaian kelayakan sebelum dijalankannya program CSR. Dengan kata lain, CSR saat ini sudah mampu dijadikan sistem untuk mengelola UMKM hingga tuntas. Mulai dari kualitas produk, pengembangan produk dan sumber daya manusia, hingga metode pemasarannya. UMKM pun bisa berputar lebih kencang dan berkesinambungan dengan suntikan modal dan pengawasan serta penyuluhan menyeluruh.
Cara lainnya, yakni dukungan perekonomian syariah. Pemerintah belakangan telah mengeksekusi pengembangan lembaga keuangan mikro berbasis syariah, dalam metode bantuan pendanaan yang digulirkan langsung secara tepat guna. Perguliran dana berbasis syariah secara tepat guna ini yang kerap diistilahkan sebagai pemberdayaan ekonomi umat. Yakni melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan pembinaan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Menurut Direktur Operations & Sharia Banking Bank Danamon Herry Hykmanto bila bank syariah mau besar, caranya bukan lagi bersaing dengan sesama perbankan syariah melainkan dengan konvensional. Dan optimalisasi ZISWAF merupakan potensi besar dalam mendorong usaha mikro rakyat.
Di Jawa Timur, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur telah memberikan dana hibah untuk Lembaga Keuangan Mikro berbasis fungsional, guna menjadi Koperasi Karyawan (Kopwan) Berbasis Syariah. Bahkan telah terbentuk hingga 2.307 Kopwan Syariah hingga tahun 2015 dan terus berkembang, dengan didukung pemanfaatan kemajuan teknologi informasi.
Koperasi ini pun membina berbagai UMKM sehingga produk-produk mereka memiliki kesempatan untuk berkompetisi secara global. Potensi ini, akan semakin kuat pengaruhnya bila diterapkan secara nasional, dengan dukungan yang menyeluruh. Selanjutnya, mungkin kurang dari satu dekade, seperti halnya yang terjadi di AS pada 1991 silam, bukan tak mungkin terjadi juga di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H