Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Cetak Biru (Pe)Basket Indonesia Usia Muda

10 Oktober 2022   03:06 Diperbarui: 16 Oktober 2022   11:05 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Semua tim bermain full court defense. Pada akhirnya yang kita lihat bukan permainan bola basket, tapi sekadar upaya pemain merebut bola dan memasukan bola ke ring. Itu saja."

Entah itu kompetisi apa, yang jelas, itu diinisasi oleh Perbasi Kabupaten Bogor untuk kelas usia 14 tahun. Dan itu kompetisi basket pertama Peang.

Seingatku, baru seminggu sebelum kompetisi Peang baru memberitahu itu. Sejak saat itu juga, Peang jadi semangat latihan: di sekolah atau sendirian.

Sampai pada akhirnya hari itu tiba.

Aku mengantarnya 2 jam sebelum jadwal mainnya di GOM Kabupaten Bogor. GOM, seperti gelanggang olahraga pada umumnya, tapi ini mungkin untuk masyarakat.

Itu pertama kalinya aku datang ke sana. Pun, pertama kali juga menonton basket langsung untuk pertandingan kelas umur tersebut.

Untuk bisa menonton, ternyata penyelengara mematok harga tiket masuk (HTM) sebesar 10 ribu rupiah. Tanganku dicap, tapi tidak terlihat, dan diberikan minuman botol.

Aku diarahkan ke pintu samping gedung. Jalannya sempit, hanya muat satu orang. Jika ada orang yang sudah jalan terlebih dulu, maka arah sebrang mesti menunggu.

Peang menemui timnya dan aku mencari tempat yang enak buat nonton sembari leha-leha.

Ada tim (putri) yang sedang bertanding. Ke mana bola bergulir, di situ para pemain saling rebut bola. Begitu saja sampai akhir periode.

Periode selanjutnya masih seperti itu hingga satu pelatih berdiri dan berteriak ke satu pemainnya bernomor punggung 11: jaga yang bener, tempel terus lawannya!

Tim pemain nomor 11, Satria Karadenan, yang memakai konstum warna putih. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Tim pemain nomor 11, Satria Karadenan, yang memakai konstum warna putih. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

teal. Pemain nomor 11 berhasil merebut bola dari lawannnya. Coast-to-coast. Ia bawa bola tersebut sampai masuk paint area, pemain lawan menutup geraknya.

Nah, ini yang dilakukan pemain bernomor 11 tadi: Eurostep. Layup. Count-in, and-1. Seketika saja aku ingat Gianna Bryant. Gigi.

Permainan berlanjut. Ada satu kesempatan pemain bernomor 11 tadi melempar 3-point. Bola tidak menyentuh ring. Pelatihnya berdiri dan menggantinya.

Senang sekali melihat permainannya pada gim itu. Pada saat yang bersamaan pula, seketika saja aku (jadi) ingat Gianna Bryant. Gigi.

***

Beberapa bulan sebelum Kobe Bryant meninggal dunia, pernah pada satu waktu Michael Jordan menerima pesan dari Kobe Bryant pada pukul 2 dini hari.

Kala itu Kobe Bryant sedang bingung dan tidak tahu bagaimana ingin mengajarkan putrinya, Gigi Bryant, sebuah gerakan (bermain basket). Maka Kobe tanyakan itu kepada Mike --panggilan Michael Jordan.

"What where you thinking 'bout when you were trying to as you were growing up trying to work on your moves?"

Mike hanya menjawab: pada umur segitu (masih) mencoba bermain baseball.

Maksudnya, untuk apa bertanya seperti itu padanya, pukul 2 dini hari, toh ketika masih seusia Gigi ternyata Mike masih mencoba main baseball, bukan basket.

Kobe lalu membalas dengan tawa terbahak-bahak kepada Michael Jordan.

***

Aku tonton beberapa pertandingan sebelum timnya Peang bertanding. Dari semua yang kutonton, semua tim bermain sama: full court defense.

Sebenarnya lebih sering disebut full court press, tapi yang kulihat justru melakukan pertahnan sudah-sejak dari area bertahan lawan.

Bayangkan, pemain baru saja mencetak poin, lalu setelah itu kita langsung bertahan dari tempat lawan pertama mengoper bola.

Secara prinsip aku paham, harapannya adalah agar kita lebih mudah menjaga dan merebut bola dari lawan kemudian lebih secara cepat membuat peluang untuk mencetak poin.

Dan itu dilakukan sepanjang pertandingan oleh tim putra maupun putri.

Pada akhirnya yang kita lihat bukan permainan bola basket, tapi sekadar upaya pemain merebut bola dan memasukan bola ke ring. Itu saja.

Aku jadi berpikir: siapa yang memulai cara bermain seperti itu? Apakah itu jadi cetak biru (blue print) basket usia muda? Karena itu memang dilakukan oleh semua tim, yang mana dari arahan pelatih, kan?

Jika memang itu yang dilakukan sejak usia muda, aku jadi pesimistis bagaimana anak-anak muda ini, sejak dari kompetisi KU-14, malah tidak bisa menikmati senangnya bermain basket!

Dalam setiap pertandingan pasti ada yang menang dan tidak ada yang ingin kalah. Pragmatis betul cara seperti itu yang dilakukan agar bisa menang. Kasarnya: melihat cara Gautama yang stand-up pakai tebak-tebakan.

Cara seperti itu memang lazim dilakukan --di NBA, bahkan-- saat sebuah tim tertinggal 2-5 poin saja dari lawannya. Sedangkan waktu tersisa kurang dari 24 detik.

Bayangkan, gaya bermain yang biasa dilakukan untuk waktu sesingkat itu, kurang dari 24 detik, dimainkan oleh anak-anak usia muda sepanjang 4x10 menit.

Pertanyaan itu yang terus membuatku pusing: apakah itu cetak biru basket di Indonesia untuk usia muda?

Kalau memang timmu baru saja membuat poin atau kehilangan bola, maka balik bertahan; bukan menekan.

Jujur, aku kaget menonton semua pertandingan yang diinisasi Perbasi tersebut. Pasalnya tidak pernah sekalipun aku mengajarkan cara main seperti itu kepada Peang. Terpikir pun tidak.

Aku hanya ingin membuat Peang suka bermain basket, bukan main basket agar menang. Kurasa itu dua hal berbeda. Dan, kita tahu mesti bagaimana memilihkannya untuk anak-anak usia muda.

***

Tahu apa yang terjadi pada Peang saat timnya bertanding? Sini biar kuceritakan~

Peang mendapat total menit main yang cukup fantastis: 1 menit. Apa yang Peang lakukan sepanjang bermain: membuat 2 fouls. Itu saja.

Aku tidak peduli timnya menang atau kalah. Aku bahkan sangat tidak peduli bagaimana Peang bermain. Peang sudah ada di situ, di tim tersebut, dalam sebuah kompetisi, buatku itu yang jauh lebih penting.

Itu merupakan pertandingan pertamanya. Aku juga pernah mengalami hal serupa, meski tidak sama.

Bukan kompetisi besar, hanya lingkup sekolah saja: class miting.

Karena itu class miting, jadi setiap pertandingan hanya 1 babak saja. Kalah, langsung gugur.

Ketika itu aku masih kelas 1. Saat pembagian perlombaan class miting, aku diminta untuk ikut basket. Alasannya: pernah ekskul basket; padahal aku hanya ikut sekali dan tidak pernah lagi.

Lawanku ketika itu kelas 2. Badannya besar-besar. Kelasku kalah. Seingatku: 20-2. Dua poin yang kelasku dapat, itupun dicetak olehku.

Steal. Coast-to-coast. Aku bawa bola tersebut sampai masuk paint area, lawanku menutup gerak. Eurostep. Layup. Count-in, and-1.

Setelah kuingat-ingat, apa yang dilakukan pemain nomor 11 tadi ternyata pernah juga kulakukan. Dulu, mungkin pada usia yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun