Cara seperti itu memang lazim dilakukan --di NBA, bahkan-- saat sebuah tim tertinggal 2-5 poin saja dari lawannya. Sedangkan waktu tersisa kurang dari 24 detik.
Bayangkan, gaya bermain yang biasa dilakukan untuk waktu sesingkat itu, kurang dari 24 detik, dimainkan oleh anak-anak usia muda sepanjang 4x10 menit.
Pertanyaan itu yang terus membuatku pusing: apakah itu cetak biru basket di Indonesia untuk usia muda?
Kalau memang timmu baru saja membuat poin atau kehilangan bola, maka balik bertahan; bukan menekan.
Jujur, aku kaget menonton semua pertandingan yang diinisasi Perbasi tersebut. Pasalnya tidak pernah sekalipun aku mengajarkan cara main seperti itu kepada Peang. Terpikir pun tidak.
Aku hanya ingin membuat Peang suka bermain basket, bukan main basket agar menang. Kurasa itu dua hal berbeda. Dan, kita tahu mesti bagaimana memilihkannya untuk anak-anak usia muda.
***
Tahu apa yang terjadi pada Peang saat timnya bertanding? Sini biar kuceritakan~
Peang mendapat total menit main yang cukup fantastis: 1 menit. Apa yang Peang lakukan sepanjang bermain: membuat 2 fouls. Itu saja.
Aku tidak peduli timnya menang atau kalah. Aku bahkan sangat tidak peduli bagaimana Peang bermain. Peang sudah ada di situ, di tim tersebut, dalam sebuah kompetisi, buatku itu yang jauh lebih penting.
Itu merupakan pertandingan pertamanya. Aku juga pernah mengalami hal serupa, meski tidak sama.
Bukan kompetisi besar, hanya lingkup sekolah saja: class miting.