Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masalah dalam Pernikahan Itu Sudah Dimulai Sejak Malam Pertama

5 Oktober 2019   01:26 Diperbarui: 5 Oktober 2019   21:21 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi melihat lukisan. (@kulturtava)

Malam setelah Bogor Hujan Tawa (BHT) volume 1, ketika sedang saling cerita dan ngopi-ngopi, Ridwan Remin menghampiri. Ia bilang belum punya set-list materi yang akan dibawakan untuk BHT berikutnya.

Arahnya pernyataan itu, yang kutahu, pasti sebuah pertanyaan: enaknya bawain materi apa ya?

Sepengetahuanku tentang Ridwan Remin, khusus urusan stand-up comedy, memang tidak punya masalah dalam mencari lucu akan suatu hal, tapi justru bahasannya yang ia cari. Keresahannya.

Beberapa jam sebelum BHT volume 1 dimulai, sorenya, Ridwan Remin sudah menjelaskan beberapa joke yang mungkin akan ia bawakan. Tentang komentar-komentar jahat di media sosial, misalnya. Hanya itu.

Lalu mau bahas apa lagi untuk show nanti?

Aku ditawarkan segelas kopi. Ia membakar rokoknya. Pedahal saat itu aku baru saja membaca esai Mbak Alisa Wahid tentang Papua di Harian Kompas. Dengan entengnya aku jawab: bahas soal pernikahan atuh.

"Gak ada masalahnya. Pernikahan gue baik-baik aja," kata Ridwan Remin.

"Lha iya. Bagus kalau gitu," sebab tidak jauh dari tempat kami ada istrinya Ridwan Remin. Masa mau menimpalinya dengan yang aneh-aneh, kan

Untuk lebih spesifik, aku coba kerucutkan lagi maksud bahasannya. Aku beri contoh, semisal, bedanya seorang Ridwan Remin sebelum dan sesudah menikah. Apa hal baru yang ditemukan setelah menikah dengan pasangannya. Semacam itu.

Sayangnya tanggapan Ridwan Remin masih sama. Tidak ada bedanya. Walau aku tahu, di dekat kami masih ada istrinya mendengarkan, sambil menunggu apa yang akan suaminya katakan~
***
Sebagaimana aku, mungkin Ridwan Remin juga merasakan, ketika menonton --kalau dia sih tampil-- Local Stand-up Day, tiba-tiba banyak komika yang membahas soal pernikahan. Hidup mereka setelah menikah seakan menarik untuk dibahas dan orang lain tahu.

Aku sekadar menyimpulkan, mungkin ini adalah fase di mana komika sudah masuk dunia baru. Fase di mana dulu mereka hidup dari satu tongkrongan ke tongkrongan lainnya. Lalu kini, dengan kemapanan buah hasil menjadi seorang komika, mereka masuk --atau terperangkap?-- ke dalam dunia pernikahan.

Sebenarnya aku sendiri tidak peduli dengan itu. Tidak penting-penting amat untuk tahu bagaimana mereka tidur dengan pasangannya lalu bercinta. Mau sambil jungkir balik atau jilat-jilatan. Bebas. Yang pasti, aku kadung membeli tiketnya, datang, dan mau-tidak-mau mendengarkan. Sial.

Buatku sendiri, hal yang menarik yang bisa dibahas dan mungkin bisa diperbincangkan adalah bagaimana kehidupan mereka, setelah menikah, dengan lingkungan sosial baru. Masalah sosialnya, bukan hal-hal privat.

Yang menjenuhkan nonton pertunjukan stand-up kiwari yha seperti itu.

Makanya ketika aku menawarkan bahasan soal pernikahan kepada Ridwan Remin, harapanku, ia bisa menyajikan hal lain dari kebanyakan komika-komika yang kini tengah memasuki fase tersebut.
***
Musdalifah dan pasangannya, Dian Iyoy --yang akan segera menikah, yang berarti akan ada tambahan komika membahas hal serupa soal pernikahan-- membuka Bogor Hujan Tawa volume 2.

Musdalifah cerita bagaimana nakalnya ia ketika dulu. Sebenarnya itu bisa menarik kalau ternyata dari beragam kenakalan perempuan bukan lagi objek, melainkan subjek yang punya kuasa atas kenakalan remaja tersebut.

Dan itu memang yang dicoba oleh Musdalifah. Sayangnya, karena tidak terlalu dalam, yang justru muncul adalah sikap nrimo-hayuk seorang perempuan diajak nakal. Dapat lucu, tapi tidak dengan sikap seorang perempuan.

Begitu juga dengan pasangannya, Dian Iyoy. Stigma-stigma yang belakangan hadir mengenai LGBTQ+ coba ia bawa ke panggung. Contohnya, ternyata lelaki meski ngondek, punya hasrat ingin menikah. Bukan hanya bisa, melainkan mau.

Posisinya jelas, siapa dan di mana Dian Iyoy. Tapi karena tidak terlalu dalam, jadi sekadar peluang-peluang yang ia dapatkan dari berperilaku ketika seperti itu. Bisa pelukan dengan perempuan mana pun dan cipika-cipiki. Lucu, tapi kalau sekadar hanya itu buat apa?

Setelah pasangan itu ada Fajar Nugra. Aku tidak ingin membahasnya dulu. Karena aku mesti verifikasi dan meminta Nugra klarifikasi. Aku tidak ingin berasumsi terlalu jauh.

Kalau ia membaca ini tolong segera wasap yha~
***
Ada benang merah dari penampilan Indra Jegel dan Ridwan Remin: keduanya membahas soal masalah dalam pernikahan mereka masing-masing.

Lupakan bagian di mana keduanya memanen tawa. Aku ingin fokus dari apa yang mereka bawakan.

Indra Jegel memberi disklaimer sebelum membahas pernikahannya: kalau ia baru pertama kali bercinta itu ketika malam pertama. Jadi, seumur-umur baru itu pengalaman pertamanya.

Ketika mendengar itu dan beragam permasalahannya ketika malam pertama, tiba-tiba aku ingat ucapan Mas Fahmi, teman kantorku.

Katanya, proses manusia dalam bercinta itu naluriah. Tanpa belajar dan menonton film porno, mereka bisa dan mampu. Berdua di kamar, tanpa pakaian, dan dorongan untuk melakukan itu muncul dengan sendirinya.

Jadi, sekagok-kagoknya sepasang kekasih ketika ingin ba-bi-bu pada malam pertama mereka, pasti bisa dan lihai melakukannya.

Pada saat itulah premis Indra Jegel saat malam pertamanya patah. Contohnya ketika ia baru mulai adegan, ternyata sudah "crot". Besoknya malamnya ia minum jamu kuat, ternyata yang ia masuki apitan di antara selangkangan. Itu saja. Yang ada hanyalah aksi komikal lucu.

Namun, yang menarik dari penampilan Indra Jegel adalah cara ia bertutur. Khas orang-orang Sumatra: enak untuk didengar dan jelas untuk dibayangkan.

Seorang komika di mana modal utamanya adalah verbal, maka bertutur adalah senjata andalan. Indra Jegel punya itu. Aku suka. Penampilannya jadi lengkap, teatrikal.

Sedangkan apa yang dibahas Ridwan Remin soal pernikahan adalah bagaimana masalah rumah tangga sendiri diketahui oleh tetangga lain. Sesuai seperti --walau ketika itu aku tidak bilang-- yang sudah kuharapkan sejak sebulan lalu.

Ada batas di mana tetangga atau orang lain bisa dan boleh tahu permasalahan rumah tangga kita. Ridwan Remin mencontohkan bagaimana orang lain bisa tahu kalau sebuah rumah tangga sedang ada masalah: tangisan seorang istri semalaman.

Apapun masalahnya, besar atau kecil, kalau nangisnya semalam suntuk tetangga pasti tahu. Pada posisi itulah sikap Ridwan Remin muncul. Jika diceritakan ke orang lain, justru itulah yang jadi masalahnya.

Lalu, urusan rumah tangga diketahui oleh mertua. Itu juga bisa jadi masalah kalau tidak bisa menyikapinya.

Sayangnya hanya itu, pedahal aku masih menunggu sudut-sudut lain dari masalah dalam pernikahan itu.
***
Kemudian aku jadi ingat sesuatu. Ketika  itu selesai aku main basket, temanku bilang, cerita hororku di kantor yang aku tulis di blog katanya masuk urutan ketiga di On The Spot. Lalu ia tanya, tebak urutan nomor satu apa, kataku: tinggal serumah sama istri. Itu horor lho~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun