Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Surat Terbuka buat Komika yang Masih Saja "Open Mic"

26 November 2018   09:15 Diperbarui: 25 Agustus 2022   14:24 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lucu juga baca tulisannya Ridwan Remin yang bilang kalau open mic itu masih penting buat komika. Apa, iya? Buat komika, betul; tapi buat yang menontonnya? Lantas buat yang ingin duduk-duduk santai di tempat para komika open mic bagaimana?

Begini. Begini lho, tahu apa itu open mic, kan? Buat yang belum tahu, sini biar tak jawab. Open mic itu, umumnya di Indonesia, digunakan oleh komunitas stand-up comedy sebagai tempat latihan. Apa yang dilatih? Semua. Yha, materi yang baru ditulis; bagaimana mesti menyampaikannya supaya pas; sampai melihat respon penonton atas materi tersebut.

Yha pokoknya seputar itu.

Laiknya pemain sepakbola, para komika juga mesti latihan. Sederhananya, semakin sering latihan maka akan berbanding lurus dengan hasilnya. Jika latihannya serius, besar kemungkinan hasilnya bagus. Paling tidak sesuai seperti yang diharapkan.

Anggaplah seorang komika ingin melatih materi yang baru ditulisnya. Satu malam dia mendatangi open mic dan mencobanya di sana. Berhasil, sesuai yang ia harapkan: pecah (istilah yang umum digunakan untuk menilai atau menggambarkan kalau berhasil membuat penonton tertawa). Materi itu ia simpan. Ditabung, kalau sewaktu-waktu dapat job untuk mengisi acara bisa ia gunakan.

Lalu bagaimana jika tidak berhasil? Tentu parameternya respon penonton, mereka tidak tertawa. Setelah open mic komika tersebut akan menulis ulang materinya, mengubah bagian-bagian yang dianggap tidak lucu dan mencobanya lagi di open mic lainnya.

Seperti yang ditulis Ridwan Remin, tujuannya open mic itu:

"... jadi tau tipe jokes kayak gimana aja sih yang lagi disukain sama penonton? Terus kira-kira kalau tipe jokes itu dicocokin sama karakter gua masih bisa gak nih gua bawainnya? Kalau gak bisa, gimana caranya gua gak ikut-ikutan ngebawain jokes yang sama kayak yang lain tapi masih bisa survive? Dan jawabannya cuma bisa gua dapet ketika gua dateng ke open mic."

Terus seperti itu. Dan itulah habit open mic. Itulah mengapa, menurut Ridwan Remin, open mic itu penting bagi seorang komika.

Namun, seperti pertanyaan pada awal tulisan ini, bagaimana dengan penontonnya? Bagaimana bagi seseorang yang sekadar datang ke sebuah tempat di mana tempat tersebut digunakan open mic?

Jawabannya sederhana: terima saja. Jika bisa menikmati komika yang sedang latihan, nikmati saja. Jika tidak bisa, ungkapkan langsung. Tidak apa-apa, itu hak setiap orang untuk tidak diganggu --jika memang yang latihan justru malah mengganggu, bukan menghibur dengan setiap joke yang dibawakan komika-- ketika sedang ada di tempat tersebut.

Sampaikan langsung kepada komika yang tampil, bisa. Mendatangi pelayan tempat tersebut, bisa. Yang terpenting: sampaikan dengan baik. Semua bisa dibicarakan asal baik dengan niat yang baik.

Adil, kan? Komika mendapat tempat untuk latihan, penonton untuk mendengar materi yang ingin disampaikan, tapi penonton juga berhak mendapat ketenangan --alias tidak diganggu ketika ada di tempat open mic; terlepas penonton itu datang dengan kesadaran untuk menonton open mic atau tidak.

Bahwa ada sebuah sudut di ruang publik, seperti cafe atau tempat makan, yang digunakan dan tidak didominasi oleh satu pihak --kecuali pemilik tempat tersebut.

***

Datang ke open mic itu seru. Aku sering melakukan itu. Dulu. Tapi, akhir-akhir ini, jika memang bisa datang ke open mic, pasti aku sempatkan datang. Open mic di Bogor, misalnya, oleh Komunitas Stand-up Indo Bogor.

Kini mereka menempati cafe baru pasca tur open mic di Bogor, Cafe D'Grounds namanya setiap Jumat malam. Tempatnya asyik. Khusus untuk open mic ada di lantai atas. Lengkap juga dengan peralatan band. Khas cafe-cafe era kiwari.

Jumat lalu aku ke sana. Ramai. Banyak yang menonton komika Bogor latihan. Meja yang tersedia terisi penuh. Beberapa pecah, sisanya tidak. Yang tidak lucu memang komika baru. Bahkan ada yang membawakan materinya Ridwan Remin. Beberapa meja tertawa puas, jelas, materi andalan Ridwan Remin: Mbak, duduknya bisa munduran? Cantiknya kelewatan.

Tapi, selain datang ke open mic Bogor, aku juga pernah datang ke open mic di dekat rumah. Supermic, begitu istilah yang digunakan oleh Komunitas Stand-up Bojonggede. Sebenarnya sama saja, hanya istilahnya saja yang beda. Mungkin begitu orang-orang Bojonggede memaknai "diferensiasi". Basic!

Supermic ada setiap Minggu malam di Cafe Senja. Dekat rumah. Tidak sampai 2 menit dengan motor --kecuali macet, karena memang dekat perlintasan pintu kereta.

Aku tahu komunitas ini sejak lama, hanya saja tidak sempat untuk mendatanginya. Setelah mereka pindah ke Cafe Senja, barulah aku mulai ke sana.

Seperti penonton stand-up comedy dan open mic pada umumnya, aku datang untuk menonton mereka latihan. Tidak lebih. Tidak ingin minta dihibur atau dibuat tertawa terbahak-bahak. Datang, pesan makanan dan minuman, lalu menikmati setiap komika menguji materinya. Niatku itu saja.

Namun, namanya niat memang kadang tidak sejalan dengan kenyataan. Berkali-kali host mempersilakan setiap komika dengan beban mental: komika selanjutnya pasti lucu atau komika ini lucu banget dan sebagainya. Aku yang menonton saja merasa terbebani, karena mesti menyiapkan kantung tertawa untuk mendengar komika dan ternyata tidak.

Oia, sekadar menggambarkan suasana Supermic, penonton yang hadir hanya aku dan (kadang) beberapa temanku saja; 2-3 orang. Sisanya, yha komika dari komunitas mereka sendiri --atau mungkin ada komika dari komunitas lain. Jadi setiap kali aku datang ke sana, tak ayal ruang audisi stand-up comedy saja. Setiap komika yang tampil berusaha membuat aku dan beberapa temanku tertawa.

Dan lagi berkali-kali oleh host diminta untuk mencoba open mic. Maksudnya aku paham: bahwa open mic memang untuk siapa saja yang ingin latihan stand-up comedy, tidak mesti mereka yang sudah gabung di komunitas. Tentu aku dan beberapa temanku tidak ingin. Awalnya menolak dengan halus sampai menghiraukannya sama sekali.

Pada titik itu aku masih paham: mereka kesal karena melulu gagal membuat tertawa yang menonton. Aku juga bisa jelaskan mengapa: karena tidak lucu. Tertawa adalah sebuah respon atau reaksi atas hal yang lucu, jika tidak lucu yha tentu tidak mendapat respon apa-apa.

Namun sayang, ada yang kerap kali mereka abaikan: penonton yang masih mau memerhatikan.

Aku tahu, betapa sulit menjadi seorang komika. Tidak usah tampil membuat orang tertawa, menulis materinya saja bisa mengurungkan niat menjadi komika. Makanya, bisa memancing penonton untuk bisa fokus pada apa yang mereka sampaikan, semestinya itu sudah nilai lebih. Bukan malah menyudutkan penonton yang tidak mau tertawa.

"Menarik perhatian penonton itu dibangun, bukan diminta," begitu kira-kira pesan Bang Rifky kepada komika-komika di Bogor.

***

Jujur saja, aku sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan stand-up comedy. Tapi faktanya adalah komunitas stand-up comedy terus bertambah atau paling tidak yang telah lama vakum kembali dihidupkan.

Komunitas stand-up comedy, menurutku, masih menjadi komunitas terbesar di Indonesia yang bisa menyaingin komunitas motor --dengan beragam jenis merek motornya.

Komunitas ini juga tidak sekadar kumpul-kumpul anggota yang dipersatukan hanya karena satu hobi yang sama. Lebih dari itu, justru kegiatan di dalamnya tentang bagaimana bisa berbagi wawasan dan belajar untuk tumbuh bersama. Dan open mic adalah salah-dua kegiatannya.

Jadi aneh saja kalau masih ada komika --atau komunitas secara keseluruhan-- yang masih memperlakukan penonton laiknya kendaraan yang ingin parkir di depan supermarket; diarahkan ini-itu.

Etapi kalau ada yang masih mau lanjut open mic juga tidak mengapa. Bagus malahan. Seperti halnya Ridwan Remin, Fajar Nugra, dan Dzawin, mereka bertiga adalah 3 dari puluhan komika yang lahir dari ribuan jam open mic -- dengan atau tanpa penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun